Jokowi nyaris selalu unggul dalam skenario melawan beragam figur. Akan tetapi, apa jadinya kalau figur-figur itu menyatukan kekuatan?
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]usahnya lawan Jokowi. Berbagai survei dari beragam lembaga sudah membuat sejumlah skenario jelang pilpres 2019. Sejumlah nama lawan dimunculkan untuk melawan kandidat petahana tersebut. Berdasarkan skenario-skenario survei yang ada, Jokowi selalu bisa mengungguli lawan-lawan yang disodorkan.
Sekilas, mantan Wali Kota Solo tersebut akan melenggang dengan mudah menuju kursi RI-1 di 2019 nanti. Lawan-lawan yang ada seperti Prabowo Subianto atau Gatot Nurmantyo tampak akan kesulitan jika harus menghadapi Jokowi satu lawan satu.
Meski demikian, apa jadinya jika semua poros di luar Jokowi berpadu untuk melawannya? Berdasarkan survei teranyar Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, jika persentase seluruh kandidat yang ada digabungkan melawan Jokowi, maka mantan Gubernur Jakarta tersebut hanya unggul tipis. Apalagi, menurut survei yang sama, sang petahana kini elektabilitasnya tengah goyah.
Menarik jika seluruh kekuatan di luar Jokowi mau menghimpun satu kekuatan. Jokowi akan terlihat seperti sosok tunggal melawan kekuatan yang berisi banyak tokoh. Jika sudah begini, apakah Jokowi masih bisa unggul?
Menyatukan Berbagai Poros
Sampai hari ini, belum ada figur yang resmi akan menantang Jokowi di Pilpres 2019 nanti. Sejumlah tokoh seperti Gatot, Prabowo, atau Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) kerap digadang-digadang untuk menjadi lawan kandidat petahana tersebut. Akan tetapi, sejumlah pertimbangan membuat mereka urung segera mendeklarasikan diri.
Kubu Prabowo menilai salah satu kendala mereka untuk segera mengumumkan pencapresan adalah soal koalisi yang belum juga terbentuk. Kondisi serupa kini dialami Gatot yang kesulitan mencari koalisi partai untuk mengusungnya.
Jika melihat survei LSI Denny JA, kelompok-kelompok di luar pendukung Jokowi bisa menyatukan poros baru untuk melawan kandidat petahana tersebut. Secara hitungan matematis, gabungan suara di antara mereka memiliki peluang lebih besar menang ketimbang terpisah-pisah.
Survei tersebut menunjukkan bahwa Jokowi memang masih menduduki posisi puncak dalam tangga elektabilitas. Meski demikian, keunggulan presiden ketujuh tersebut tergolong tidak aman. Persentase suaranya berada di angka 46 persen saja.
Di bawah mantan Gubernur Jakarta tersebut, ada banyak tokoh lain yang mengekor. Jika ditotal, persentase figur-figur tersebut dapat mencapai angka 44,7 persen. Jumlah ini hanya kalah tipis dibandingkan dengan perolehan Jokowi di posisi teratas. LSI Denny JA menilai bahwa saat ini Jokowi boleh jadi masih unggul, tapi keunggulannya tersebut masih goyah.
Peneliti LSI Adjie Alfaraby menilai bahwa jika seluruh kekuatan di luar Jokowi, yaitu poros Gatot, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Prabowo mau bersatu, maka kemungkinan Jokowi kalah akan menjadi lebih besar. Memang poros ini tidak otomatis menang, tetapi jalan mereka mengalahkan petahana akan jauh lebih lapang.
Ada banyak skenario pasangan yang bisa dimunculkan oleh bersatunya ketiga poros ini. Jika melihat posisi di tangga survei, Prabowo mungkin menjadi sosok yang paling dekat dengan popularitas petahana. Meski demikian, jika ingin memunculkan mentalitas kuda hitam, sosok baru seperti Gatot dan AHY dapat menjadi alternatif.
Konstruksi Musuh Bersama
Koalisi semacam ini bisa saja terwujud. Poros-poros tersebut memang tidak memiliki kesamaan ideologi atau platform sehingga tidak akan membentuk koalisi yang bersifat policy-seeking. Akan tetapi, tujuan dari koalisi ini lebih kepada penggabungan suara untuk mengalahkan kandidat petahana saat ini. Hal ini sejalan dengan vote-seeking yang dikemukakan oleh Kaare Strom.
Koalisi yang dibentuk tidak lain ditujukan hanya untuk memaksimalkan perolehan suara dari poros-poros yang ada. Dengan menggabungkan suara dari masing-masing poros, maka kemungkinan memenangi Pilpres lebih mudah ketimbang memaksakan koalisi lain yang bersifat policy-seeking.
Secara umum, jika poros Gatot, SBY, dan Prabowo mau menyatukan kekuatan, maka Jokowi menjadi lawan tunggal dari koalisi orang banyak. Hal ini dapat memunculkan wacana bahwa sang petahana adalah common enemy atau musuh bersama, setidaknya bagi koalisi tersebut.
Jokowi tetap yang terkuat. Tapi lima alasan berikut yang membuatnya bisa dikalahkan: Konf Pers LSI Denny JA hari ini pic.twitter.com/U387qCRu4x
— Denny JA (@DennyJA_WORLD) May 14, 2018
Secara sosiologis, seperti ungkapan Lewis A. Coser, kemunculan common enemy dapat memunculkan kohesi di dalam satu kelompok. Umumnya, kelompok ini akan bersatu untuk melawan atau meruntuhkan musuh bersama tersebut. Koalisi yang terbentuk melalui narasi musuh bersama ini secara aksi umumnya lebih kuat karena ada rasa saling melindungi dan saling menguatkan di antara anggotanya. Aksi kolektif dari anggota koalisi menjadi lebih gencar karena ada misi untuk mengalahkan suatu lawan bersama.
Menurut Coser, dalam politik, efek dari common enemy ini bisa dieksploitasi untuk menarik kohesi serupa dengan masyarakat. Berdasarkan kondisi tersebut, kontruksi musuh bersama yang dibentuk koalisi ini bisa saja menyebar di luar kalangan koalisi dan menyentuh masyarakat banyak.
Saat ini, mengonstruksi wacana Jokowi sebagai common enemy memang tergolong sangat mudah. Berdasarkan survei LSI Denny JA, salah satu penyebab goyahnya elektabilitas orang nomor satu tersebut adalah tagar #2019GantiPresiden yang menghiasi pembicaraan di media sosial. Tagar ini dapat menjadi basis pembentukan wacana Jokowi sebagai common enemy dalam wujud “asal bukan Jokowi”.
Poros baru Prabowo-SBY-Gatot bisa memanfaatkan tagar tersebut dengan menunjuk satu figur bersama untuk melawan Jokowi. Hal ini tergolong lebih efisien untuk mengkapitalisasi sentimen tagar tersebut, ketimbang memecah dukungan ke beberapa figur. Masyarakat pendukung tagar tersebut tidak akan terpecah untuk memberikan dukungan karena hanya ada satu figur alternatif selain Jokowi.
Belajar dari Malaysia
Berpadunya kelompok-kelompok ini tidak bisa dipandang remeh. Tentu, saat ini belum ada yang bisa membayangkan orang-orang seperti Gatot, SBY, dan Prabowo mau menurunkan ego masing-masing dan membentuk kekuatan bersama. Akan tetapi, potensi dari berpadunya tokoh-tokoh ini tergolong bisa membuat petahana khawatir.
Pemilu Malaysia beberapa waktu yang lalu menjadi bukti bagaimana berpadunya seluruh kekuatan oposisi dapat menumbangkan petahana yang sulit dikalahkan. Seluruh kekuatan mau melepas permusuhan mereka di masa lalu dan membentuk koalisi demi mengalahkan status quo UMNO, Barisan Nasional, dan tentu saja Perdana Menteri Najib Razak.
Idealnya, tidak pernah ada yang bisa membayangkan seorang Anwar Ibrahim mau bereuni dengan sosok yang menyingkirkan dan memenjaranya, Mahathir Mohamad. Meski begitu, kedua sosok ini mau meninggalkan masa lalu mereka untuk bersatu melawan satu sosok musuh bersama dalam wujud Najib Razak. Koalisi Pakatan Harapan kemudian mendapat kekuatan baru dengan bersatunya kedua tokoh tersebut.
Pakatan Harapan tidak hanya menyatukan Anwar dan Mahathir saja. Lim Guan Eng dari Democratic Action Party (DAP) dan Muhammad bin Sabu dari AMANAH juga ada di dalam koalisi ini. Padahal, kedua tokoh ini pernah menjadi korban dinginnya lantai penjara era Mahathir. Pakatan Harapan benar-benar menjadi rumah bersama bagi kelompok oposisi melawan Najib dan Barisan Nasional.
Bersatunya tokoh-tokoh tersebut ternyata berbuah hasil memuaskan bagi Pakatan Harapan. Untuk pertama kalinya, Barisan Nasional lengser dari kursi kabinet Malaysia. Terlihat bahwa mengumpulkan seluruh kekuatan oposisi di Malaysia berhasil membuat common enemy tumbang.
Meski demikian, tingkat common enemy Najib dan Jokowi masih tergolong jauh berbeda. Najib telah menjadi musuh bersama nyaris seluruh masyarakat. Dalam hal ini, tidak hanya koalisi Pakatan Harapan saja yang menginginkan PM baru asal bukan Najib. Mega skandal korupsi 1MDB membuat Najib tidak hanya dianggap musuh Pakatan Harapan, tetapi juga sebagian besar rakyat.
Sementara itu, setidaknya hingga saat ini, narasi “asal bukan Jokowi” melalui #2019GantiPresiden belum menyentuh keseluruhan rakyat sebagaimana yang dialami Najib di Malaysia. Belum ada bukti bahwa sang petahana melakukan praktik rasuah yang masif sebagaimana Najib di Malaysia. Untuk itu, jika koalisi ini terbentuk, ada pekerjaan rumah besar untuk mengonstruksi Jokowi sebagai musuh bersama di mata masyarakat, terutama dalam hal pemilihan isu kampanye.
Bagi Jokowi, situasi ini membuatnya harus berhati-hati. Tidak pernah ada yang menduga Anwar Ibrahim dan Mahathir Mohamad akan bersatu untuk menumbangkan Najib Razak. Bisa saja poros-poros di luar Jokowi membentuk koalisi bersama serupa di Malaysia. Strategi matang harus disiapkan sang petahana agar tidak kehilangan kursi di 2019 nanti. (H33)