Wacana pelarangan penggunaan cadar dan celana cingkrang bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) oleh Menteri Agama Fachrul Razi sontak mendapat berbagai kritik dan penolakan dari berbagai pihak. Secara implisit, pengangkatan kasus penusukan Wiranto sebagai alasan pelarangan menyebutkan bahwa cadar dan celana cingkrang adalah simbol dari gerakan-gerakan radikal yang membahayakan. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
Belum genap satu bulan menjabat, Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi sudah membuat pernyataan yang begitu menghebohkan. Bagaimana tidak, Menag eks militer pertama sejak reformasi ini memiliki wacana untuk melarang penggunaan cadar dan celana cingkrang bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di instansi pemerintahan.
Menariknya, sebagai dasar pelarangan, Menag Fachrul menyebut ini demi alasan keamanan karena berkaca dari kasus penusukan mantan Menko Polhukam Wiranto belum lama ini.
Dengan menjadikan kasus penusukan Wiranto sebagai dasar wacana, secara tidak langsung, pernyataan tersebut memiliki tendensi yang kuat untuk menyebutkan bahwa cadar dan celana cingkrang adalah simbol dari gerakan-gerakan radikal yang berbahaya.
Sontak saja, pernyataan Menag tersebut langsung dibanjiri berbagai kritik dan penolakan dari banyak pihak.
Salah satunya dari Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti yang menjelaskan bahwa memahami cadar sebagai teroris atau radikal merupakan penilaian yang sangat dangkal dan berlebihan.
Pun begitu dengan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Zulkifli Hasan yang menyebut wacana pelarangan tersebut tidak substansial. Lanjutnya, masih terdapat masalah lain yang harus lebih diperioritaskan Menag, misalnya menyelesaikan masalah kesenjangan pendapatan guru di sekolah agama dengan guru di sekolah negeri.
Melihat pada persoalan cadar dan celana cingkrang yang kembali diangkat sebagai simbol radikalisme, tentu melahirkan pertanyaan penting, yaitu mengapa Menag Fachrul memiliki tendensi untuk memahami cadar dan celana cingkrang sebagai simbol radikalisme? Lalu, mengapa negara merasa berhak untuk mengatur interpretasi simbol agama?
Transformasi Makna Cadar
Kasus pemaknaan cadar ataupun celana cingkrang sebagai simbol radikalisme pada dasarnya adalah fenomena lama. Misalnya saja pada saat peristiwa bom bunuh diri di Surabaya pada 13 Mei 2018 lalu.
Saat itu, salah satu pelaku bom bunuh diri yang ternyata menggunakan cadar membuat Menag waktu itu, Lukman Hakim Saifudin memberi imbauan bagi pengguna cadar agar dapat memahami situasi bahwa sebagian masyarakat akan memiliki semacam keresahan, kekhawatiran, ataupun kecurigaan terhadap para pengguna cadar.
Bak gayung bersambut, imbauan tersebut benar-benar menjadi kenyataan. Pada 14 Mei 2018 misalnya, seorang santri bercadar berinisial SAN terpaksa diturunkan dari bus umum di Terminal Gayatri, Tulungagung karena gerak-geriknya dinilai mencurigakan.
Merujuk pada Dreirdre Ruth Hayes dalam tulisannya yang berjudul Framing the Veil: From the Familiar to the Feared (2010), fenomena cadar sebagai simbol pelaku teror ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan telah menjadi tren umum di berbagai tempat.
Hayes kemudian menjelaskan bahwa pasca serangan atau teror yang membawa afiliasi agama Islam di dalamnya, akan mengubah makna penutup kepala dan wajah (cadar) menjadi sebuah ilusi, halusinasi, depresi, ketakutan, kesucian, hingga kematian.
Yang menjadi pertanyaannya tentu saja mengenai mengapa cadar ataupun celana cingkrang yang merupakan simbol seorang muslim bertransformasi menjadi simbol terorisme ataupun radikalisme?
Melihat pada perdebatannya, tentunya telah terjadi perbedaan pemaknaan di tengah masyarakat ataupun pemerintah terkait simbol dari cadar dan celana cingkrang itu sendiri.
Melacak secara mendalam akar masalahnya, ini sebenarnya adalah masalah perbedaan proses semiotika yang terjadi atau digunakan.
Semiotika sendiri adalah ilmu yang mengkaji tanda atau simbol dalam kehidupan manusia yang kemudian akan melahirkan makna.
Lalu proses semiotika apa yang melahirkan makna cadar dan celana cingkrang sebagai terorisme ataupun radikalisme?
Besar kemungkinan itu adalah semiotika pragamtis Charles Sanders Peirce. Semiotika Pierce, seperti namanya, lebih menekankan pada persoalan pragmatis atau kegunaannya. Ini cukup berbeda dengan semiotika Ferdinand de Saussure yang lebih bercorak idealistis.
Dalam prosesnya, semiotika Pierce melibatkan dua proses atau interpretasi ganda. Makna atas cadar dan celana cingkrang, tidak hanya didasari pada persoalan ideal terkait apa makna cadar dan celana cingkrang itu sesungguhnya, melainkan juga melibatkan bagaimana makna itu diterapkan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Maksudnya adalah pada proses pertama, cadar dan celana cingkrang memang telah dipahami sebagai penegakan syari’at Islam. Di titik ini, dipahami bahwa cadar dan celana cingkrang adalah simbol agama Islam.
Lalu, ketika terdapat pelaku bom bunuh diri yang menggunakan cadar atau celana cingkrang, maka akan tercipta pemaknaan atau interpretasi selanjutnya yang memahami bahwa mereka yang menggunakan cadar atau celana cingkrang adalah pelaku bom bunuh diri. Praktis, cadar dan celana cingkrang kemudian akan dimaknai sebagai simbol terorisme atau radikalisme.
Dalam semiotika Pierce, makna ideal dari cadar dan celana cingkrang akan tergantikan oleh makna praktis atau tindak laku dari para pengguna cadar dan celana cingkrang itu sendiri.
Dengan kata lain, bukannya Menag Fachrul tidak memahami cadar dan celana cingkrang sebagai bentuk ekspresi agama ataupun penegakan syari’at Islam, melainkan karena pada tataran praktis atau kehidupan sosial, para pengguna cadar dan celana cingkrang kerap kali mencirikan mereka yang merupakan para pelaku teror ataupun yang memiliki pemahaman radikal berbahaya.
Melihat pada pertautan historisnya, pemaknaan cadar dan celana cingkrang lekat dengan terorisme tidak hanya soal semiotika semata, melainkan melibatkan pertautan historis antara kelompok Islam konservatif yang karena memakai celana cingkrang disebut sebagai Cingkrangan dan kelompok Islam tradisionalis yang disebut dengan Sarungan – identik dengan kelompok seperti Nahdlatul Ulama (NU).
Kemudian, pemetaan ini terlihat jelas pada kontestasi Pilpres 2019 lalu, di mana kubu Joko Widodo-Ma’ruf Amin lebih mengakomodasi kelompok Sarungan seperti NU. Sedangkan kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno lebih condong pada kelompok Cingkrangan seperti Front Pembela Islam (FPI).
Menimbang pada hal tersebut, kita dapat menilai bahwa persoalan pemaknaan cadar dan celana cingkrang yang lekat dengan kelompok Cingkrangan juga memiliki muatan politik atau tabrakan identitas.
Absolutisme Leviathan?
Setelah memahami mengenai bagaimana makna cadar dan celana cingkrang bertransformasi dari simbol penegakan syari’at menjadi simbol terorisme dan radikalisme ataupun terkait motif politik di balik pemaknaan tersebut, ini kemudian melahirkan pertanyaan lanjutan terkait mengapa Menag Fachrul ataupun pemerintah merasa berhak untuk memberlakukan interpretasinya terkait cadar dan celana cingkrang kepada warga negara, yang dalam konteks ini adalah ASN.
Untuk menjawab hal tersebut, terlebih dahulu harus diketahui mengenai asal usul bagaimana negara memiliki hak untuk mengatur warga negaranya, yang tentunya melalui instrumen-instrumen hukum.
Penjelasan atas hal tersebut didapatkan melalui teori “kontrak sosial” yang pionirnya adalah tokoh seperti Thomas Hobbes dan John Lock.
Kendati keduanya menjelaskan mengenai kontrak sosial, yaitu konsensus masyarakat yang menyerahkan hak atau wewenang kepada negara untuk mengatur warga negaranya, nyatanya keduanya memiliki perbedaan yang tajam terkait kontrak sosial yang dimaksud.
Pasalnya, dalam teori kontrak sosial Lock, warga negara hanya menyerahkan sebagian haknya kepada warga negara, sehingga negara tidak boleh mengatur atau mengganggu tiga hak individu, yaitu life (kehidupan), liberty (kebebasan), dan property (properti).
Artinya, dalam kontrak sosial Lock, peran negara adalah untuk menjamin agar tiga hak individu atau hak dasar tersebut tidak dicabut, diganggu, direpresi, atau dihilangkan oleh individu lain ataupun oleh negara.
Sedangkan dalam teori kontrak sosial Hobbes dalam bukunya Leviathan, warga negara justru menyerahkan seluruh haknya kepada negara, sehingga setiap tindak laku warga negara akan diatur ataupun ditentukan oleh negara.
Dalam Leviathan, kontrak sosial yang digagas Hobbes menuju absolutisme negara atau yang kerap dikenal sebagai negara otoriter.
Absolutisme yang digagas Hobbes bertujuan agar tidak terjadi pertumpahan darah, perseteruan, ataupun chaos dalam masyarakat. Oleh karenanya, di sana negara harus berperan absolut untuk mengatur setiap tingkah laku warga negaranya.
Melihat pada konteks Menag Fachrul yang mengatur urusan privasi beragama, yaitu wacana pelarangan penggunaan cadar dan celana cingkrang untuk alasan keamaan, suka tidak suka, ini jelas mencirikan kontrak sosial ala Hobbes dalam Leviathan.
Dalam kontrak sosial Hobbes, negara dipahami memiliki hak untuk mengatur urusan privat individu dengan dalih demi menciptakan ketertiban sosial. Atas dasar ini, dikenal suatu paradigma dalam hukum bahwa negara dapat membatasi atau mengurangi kebebasan warga negara, misalnya demi keamanan dari warga negara itu sendiri.
Pada akhirnya, atas fenomena wacana pelarangan cadar dan celana cingkrang dari Menag Fachrul, ini memberikan indikasi bahwa besar kemungkinan sang menteri memiliki pandangan yang condong ke arah kontrak sosial Hobbes. Hal ini menimbang pada dirinya yang merasa memiliki hak untuk mengatur urusan individu demi terciptanya keamanan.
Tidak hanya itu, pelarangan cadar dan celana cingkrang yang merupakan simbol dari kaum konservatif, dapat pula dimaknai sebagai persoalan politik identitas, di mana pemerintah lebih mengakomodasi kelompok Sarungan daripada kelompok Cingkrangan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.