Adanya tren penurunan angka pengangguran sejak 2006 tentu menjadi suatu angin segar. Akan tetapi, masifnya perkembangan ojek online (ojol) yang disebut menjadi salah satu faktor terjadinya tren positif tersebut justru menjadi ancaman ekonomi tersendiri.
PinterPolitik.com
Dalam tulisannya di The Jakarta Post, Mike Rees mengungkapkan bahwa pengangguran adalah salah satu masalah terbesar – bahkan bagi negara maju sekalipun – setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda dunia. Selaku negara berkembang, Indonesia tentu saja tidak luput dari masalah ini.
Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari dalam acara Foreign Policy Community of Indonesia yang bertajuk Indonesia’s Economic & Political Outlook 2020 pada 13 Desember 2019 lalu, turut menyoroti masalah ini dengan menyebut tingginya angka pengangguran adalah salah satu masalah terbesar yang harus diselesaikan oleh Presiden Jokowi. Atas hal tersebut ia kemudian menyarankan agar sang presiden membuat kartu pra-kerja yang eksekusinya disebut pada 2020 mendatang.
Akan tetapi, melihat pada statistik angka pengangguran Indonesia yang mengalami tren penurunan sejak 2006, bahkan menurun dengan cukup drastis sejak 2015, tentu saja hal tersebut menjadi suatu angin segar tersendiri di tengah kekhawatiran berbagai pihak atas masalah sosial-ekonomi yang telah mengglobal tersebut.
Pada 2019, angka pengangguran diketahui sebesar 5 persen, yang mana angka ini mengalami penurunan lebih dari setengah angka pengangguran pada 2006 yang sebesar 10,3 persen.
Menariknya, penurunan angka pengangguran dalam beberapa tahun terakhir ini disebut terjadi bukan karena faktor kebijakan pemerintah yang gencar membuka lapangan pekerjaan, melainkan karena berkembang pesatnya perusahaan-perusahaan ojek online (ojol), seperti Gojek, Grab, dan Uber dalam menyerap tenaga kerja – perusahaan terakhir telah diakuisisi Grab.
Akan tetapi, di balik statistika gemilang tersebut, berbagai pihak justru melihat terdapat lampu kuning di balik peran ojol dalam menurunkan angka pengangguran ini.
Lantas, lampu kuning apa yang dimaksud?
Ojol dan Fenomena Gig Economy
Menurut keterangan Presidium Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Indonesia, Igun Wicaksono, disebutkan bahwa jumlah pengemudi ojol saat ini diproyeksikan mencapai 2,5 juta. Dengan jumlah unduhan aplikasi ojol di PlayStore per November 2019 yang mencapai 16 juta kali atau setara 6,1 persen dari jumlah penduduk Indonesia, bisnis ojol tentu saja dapat disimpulkan memiliki pasar yang sangat menggiurkan.
Menariknya, menurut Igun, pengemudi ojol di wilayah Jabodetabek bisa mencapai 50 persen dari total jumlah mitra ojol di seluruh Indonesia. Artinya, untuk wilayah Jabodetabek saja dapat mencapai lebih dari 1,25 juta pengemudi.
Dalam laman Indonesia-Investments, disebutkan bahwa Indonesia tengah mengalami proses urbanisasi yang cepat. Hal ini membuat angka pengangguran di pedesaan menurun, dan sekaligus mengakibatkan peningkatan angka pengangguran di perkotaan. Dengan kata lain, Faktor ini yang kemungkinan besar membuat tingginya pengemudi ojol di wilayah Jabodetabek karena para urban membutuhkan pekerjaan yang mudah dan cepat untuk didapatkan.
Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Onat Kibaroglu dalam tulisannya The Agile Perantau & The Perpetual Gig Economy: A Genealogy of the Pengojek, yang menyebutkan bahwa, bagi para urban menjadi ojol jauh lebih mudah daripada mencari pekerjaan formal di lingkungan yang baru.
Dengan adanya teknologi seperti GPS dan Google Maps, para pengemudi urban ini tidak membutuhkan pengetahuan geografis terkait seluk beluk jalanan yang dilalui. Tidak hanya itu, proses pendaftaran yang mudah dan lowongan yang selalu terbuka kemudian menjadi alasan menggiurkan utama bagi para urban untuk menjadi ojol.
Sama dengan kesimpulan Kibaroglu, Shah Suraj dalam tulisannya, The Gig Economy and Skills Traps In Indonesia, juga memberikan penjelasan bahwa keberhasilan perusahaan ojol dalam menarik mitra pengemudi ditengarai karena fenomena ekonomi yang disebut dengan gig economy.
Gig economy sendiri adalah suatu kondisi perekonomian di mana terjadi pergeseran status para pekerja perusahaan, yang umumnya merupakan tenaga kerja permanen menjadi karyawan kontrak sementara (short-term contract), pekerja independen (independent workers), maupun karyawan tidak tetap (temporary workers).
Di Indonesia sendiri fenomena ini banyak terjadi di perusahaan rintisan (start-up), khususnya pada perusahaan-perusahaan ojol karena dapat menekan ongkos produksi.
Suraj yang mengutip peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Rifki Maulana menyebutkan bahwa mereka yang tertarik pada gig economy sebagian besar adalah anak-anak muda – atau yang kerap disebut milenial – karena kurangnya peluang alternatif yang tersedia.
Ini kemudian menjawab perihal mengapa terjadi penurunan angka pengangguran di lulusan sekolah menengah atas (SMA) dan kejuruan (SMK) dari yang masing-masing 7,95 dan 11,24 persen menjadi 5,34 persen.
Ojol dan Tantangan Gig Economy
Di luar manfaat positif yang didapatkan dari gig economy, Suraj juga menyoroti bahwa fenomena ini juga dapat memberikan dampak negatif yang patut untuk diperhitungkan.
Menurutnya, para mitra ojol tengah terjerat skills trap atau jebakan keahlian. Para mitra ojol ini tengah menempatkan dirinya pada jenjang karier yang stagnan. Maksudnya adalah, sekeras atau selama apapun mereka bekerja, mereka tidak akan pernah diangkat menjadi manajer perusahaan misalnya.
Kariernya hanya akan selalu menjadi mitra pengemudi karena tidak akan pernah mengalami peningkatan keahlian. Bahkan statusnya sebagai gig employment atau pekerja tidak tetap, dapat membuat perusahaan terkait untuk memberhentikan kontraknya kapan pun secara sepihak.
Tsania Ysnaini Mawardi dari Universitas Airlangga juga turut menyoroti bahwa belum terdapatnya payung hukum yang melindungi para gig employment, sehingga pengakibatkan perusahaan terkait cenderung terkesan semena-mena dan sepihak atas keputusan kebijakan proyeknya.
Selain persoalan hukum tersebut, Suraj juga menyoroti bahaya pertumbuhan ekonomi semu yang dapat terjadi dalam fenomena gig economy, khususnya terkait profesi ojol yang banyak digandrungi oleh milenial.
Menurutnya, manfaat ekonomi ojol hanya bersifat jangka pendek, dalam jangka menengah ataupun jangka panjang, nyatanya ojol tidak menciptakan suatu kekuatan ekonomi baru yang dapat menggerakkan roda perekonomian ke depannya.
Artinya, dengan status para mitra ojol milenial yang minim keahlian tersebut, jika mereka tidak dapat meningkatkan pendapatannya karena kebutuhan yang terus meningkat, ataupun jika mereka nantinya diberhentikan baik karena alasan internal perusahaan ataupun karena ojol ternyata tidak digemari oleh masyarakat, akan terjadi ketimpangan ekonomi yang besar karena meningkatnya angka pengangguran.
Kekhawatiran serupa juga diungkapkan oleh mantan Menteri Keuangan periode 2013-2014, Chatib Basri. Menurutnya, cara perusahaan ojol dalam menarik minat masyarakat adalah dengan memberikan promo besar-besaran, seperti pemberian tarif yang murah.
Masalahnya adalah, dana untuk memberikan promo tersebut datang dari investor, dan bukan dari keuangan internal perusahaan. Lalu, jika para investor tersebut nantinya tidak lagi tertarik untuk menyuntikkan dana kembali, tentunya akan membuat kenaikan tarif menjadi tidak terhindarkan dan permintaan dari masyarakat akan menurun karenanya.
Belum lagi, ada pula proyek pemerintah yang tengah gencar membangun moda transportasi masal seperti LRT dan MRT yang dapat mendorong hal tersebut.
Pada akhirnya, di tengah tren positif penurunan angka pengangguran karena berkembangnya para perusahaan ojol, di sana sebenarnya terselip kewaspadaan yang harus diperhatikan serius oleh pemerintah. Tidak hanya itu, dengan adanya fakta bahwa ojol yang menjadi faktor menurunnya angka pengangguran, itu sebenarnya menjadi indikasi bahwa pemerintah boleh jadi telah gagal dalam menangangi salah satu masalah sosial-ekonomi tersebut. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.