Road to 2024: The Next Panglima TNI #1
Ditunjuknya Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres) pertama dari matra udara tampak menjadi impresi fairness jelang pergantian Panglima TNI. Lantas, apakah itu dapat bermakna bahwa Laksamana Yudo Margono dipastikan menjadi suksesor Jenderal Andika Perkasa?
Pergeseran jabatan yang tampak menarik baru saja terjadi di tubuh institusi kepercayaan rakyat, TNI. Melalui surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/558/VI/2022 tertanggal 27 Juni 2022, Jenderal Andika Perkasa melakukan sejumlah rotasi jabatan strategis perwira tinggi.
Satu di antaranya adalah penggeseran Mayor Jenderal (Mayjen) Tri Budi Utomo dari jabatan Komandan Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres) menjadi Panglima Kodam (Pangdam) VI/Mulawarman.
Komando pertahanan wilayah yang diampu Mayjen Tri sendiri meliputi Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Utara (Kaltara), dan Kalimantan Timur (Kaltim). Provinsi terakhir menjadi esensial dikarenakan telah diproyeksikan menjadi lokasi Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang tengah dalam proses pembangunan.
Penempatan “perwira lingkaran istana” itu kemudian terasa kental dengan korelasi bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali memberikan posisi strategis kepada orang kepercayaannya, sebagaimana disiratkan Nicollo Machiavelli dalam Il Prince.
Di dalam karya yang dipublikasikan pada tahun 1532 itu dijelaskan bahwa keberadaan orang-orang kepercayaan di lingkar kekuasaan cukup penting agar seorang penguasa dapat melakukan kendali dan melaksanakan kebijakan dengan lebih mudah.
Hal tersebut secara spesifik senada dengan respons pengamat militer dari Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas, yang menyebut rotasi Mayjen Tri memiliki keterkaitan erat dengan pengamanan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).
Ya, meskipun berada di bawah kewenangan Panglima TNI, rotasi jabatan strategis perwira tinggi TNI agaknya tak dapat dilepaskan dari restu sang panglima tertinggi, yakni Presiden Jokowi. Relevansinya boleh dikatakan paralel dengan apa yang dikemukakan Machiavelli atau bahasa kekiniannya, chemistry.
Tak hanya itu, pengganti Mayjen Tri sebagai Danpaspampres juga tak kalah menarik untuk diperhatikan. Marsekal Pertama (Marsma) Wahyu Hidayat Sudjatmiko dari Korps Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI AU memegang kehormatan istimewa karena menjadi orang pertama dari matra udara sebagai Danpaspampres.
Jika dimaknai, torehan sejarah itu secara tidak langsung turut mengesankan bahwa Presiden Jokowi sedang mengimplementasikan prinsip fairness atau keadilan rotasi matra di tubuh pasukan yang dahulu bernama Resimen Tjakrabirawa.
Satu yang menarik adalah impresi pergeseran berbasis prinsip keadilan itu ditunjukkan bersamaan dengan semakin dekatnya masa purna tugas Jenderal Andika sebagai orang nomor satu di TNI.
Lalu, mengapa kesan fairness rotasi matra seolah ingin ditunjukkan saat ini? Benarkah hal itu berkorelasi dengan rotasi matra jelang pergantian Panglima TNI?
Urgensi Matra Laut
Secara momentum, kesan rotasi matra berimbang posisi Danpaspampres agaknya dapat mengindikasikan impresi tidak langsung atas pergantian Panglima TNI yang akan terjadi lima bulan lagi.
Apalagi, tidak ada alasan lain kiranya bagi Presiden Jokowi untuk tak menyerahkan tongkat estafet pimpinan tertinggi angkatan bersenjata ke matra laut, yang terakhir kali diemban Laksamana Agus Suhartono pada September 2010 hingga Agustus 2013 silam.
John Rawls mengemukakan konsep fairness atau keadilan dalam publikasinya yang berjudul Theory of Justice. Secara garis besar, Rawls mengatakan bahwa demi menciptakan kondisi yang memuaskan, diperlukan adanya skema kerja sama dengan pembagian sama rata di mana kerja sama tersebut melibatkan semua pihak.
Fairness juga disinggung oleh Andi Tarigan dalam Tumpuan Keadilan Rawls. Salah satu kategorinya, yakni keadilan distributif, disebutnya membicarakan mekanisme atau prosedur pembagian sesuatu secara proporsional, termasuk yang intangible seperti otoritas.
Selain itu, Presiden Jokowi juga dikenal memegang teguh filosofi politik Jawa. Agaknya, hampir dapat dipastikan bahwa mantan Wali Kota Solo itu cukup memahami filosofi kepemimpinan Hasthabrata yang mana di dalamnya menekankan pentingnya asas keadilan.
Tak hanya dari segi pertimbangan keadilan sebagai prioritas dalam pergantian Panglima berikutnya, urgensi kepemimpinan TNI dari matra darat pada pesta demokrasi 2024 agaknya membuat penunjukkan Laksamana Yudo – yang pensiun pada 2023 – semakin menemui relevansinya.
Sementara dari sisi teknis, mantan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) I itu agaknya dapat memperkuat lini plus antisipasi ancaman iminen terhadap pertahanan Indonesia di sektor laut.
Ancaman yang utamanya yang berasal dari manuver agresif Tiongkok di Laut China Selatan (LCS), bahkan sempat disinggung oleh sejumlah tokoh.
Terhitung mulai dari Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo, Gubernur Lemhanas Andi Widjajanto, bahkan hingga sebuah analisis dari Sekolah Staf Umum dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) yang terekspos ke publik pada Desember 2020 lalu, membicarakan ancaman yang berasal dari proyeksi peningkatan ketegangan di LCS.
Terlebih, letak IKN Nusantara yang semakin dekat dengan episentrum ancaman membuat referensi konsep pertahanan berdasarkan pengalaman dan kemampuan Laksamana Yudo kiranya cukup dibutuhkan.
Selain deretan faktor tersebut, ada sejumlah aspek non-teknis lainnya yang kemungkinan dapat memperkuat daya tawar Laksamana Yudo sebagai Panglima TNI penerus Jenderal Andika. Apakah itu?
Laksamana Yudo Lebih Bersahabat?
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhamad Haripin mengingatkan kembali bahwa angkatan bersenjata Indonesia hingga kini tak dapat dilepaskan dari politik.
Dia mengatakan sistem presidensial yang dianut Indonesia saat ini cukup erat dan bersinggungan dengan dinamika multi-partai di parlemen.
Hal itu kemudian dinilai membuat TNI, meski telah dua dekade lebih melepas karakteristik Dwifungsi ABRI, tetap menjadi bagian dari pengungkit politik.
Satu hal yang membedakan Laksamana Yudo dibandingkan calon Panglima TNI lainnya, yakni Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurrahman, adalah sosoknya yang tak kontroversial serta tidak memiliki tendensi apapun secara politik.
Kendati begitu, Laksamana Yudo tampaknya telah memahami prasyarat “adat istiadat politik” dengan dua pendekatan yang apik.
Paling tidak itu dapat terlihat melalui penamaan kapal kepresidenan baru KRI Bung Karno-369 serta membangkitkan memori legacy Presiden RI pertama Soekarno saat hari ulang tahun (HUT) Penerbal pada 17 Juni lalu.
Signifikansi untuk menetralkan politik de-soekarno-isasi plus korelasinya dengan Megawati Soekarnoputri dan Presiden Jokowi sendiri sebelumnya telah dijelaskan dalam artikel Pinter Politik yang berjudul Jenderal Dudung Panglima Selanjutnya?.
Eric Posner dalam publikasi berjudul Symbols, Signals, and Social Norms in Politics and The Law menyebutkan bahwa aspek sejarah merupakan salah satu faktor yang memengaruhi makna dan sinyal politis tertentu.
TNI AL sendiri memiliki kenangan manis di saat kepemimpinan Presiden Soekarno. Dalam rangka Operasi Trikora merebut Irian Barat, Bung Karno berhasil menasbihkan angkatan laut Indonesia menjadi yang terkuat di Asia dengan alutsista termutakhir sokongan Uni Soviet.
Kedigdayaan TNI AL kala itu seolah menjadi politik mercusuar Soekarno, baik di level domestik maupun internasional, terutama saat berbuah penyerahan Irian Barat oleh Belanda.
Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL) – yang kini bernama Korps Marinir – juga memiliki reputasi loyalitas terhadap Soekarno. Pada masa ketegangan politik 1965-1966, Letjen Hartono disebut menjadikan KKO sebagai benteng pelindung Bung Karno dari serangan politik Soeharto.
“KKO selalu kompak di belakang Bung Karno,” menjadi pekikan ikonik pidato Letjen Hartono saat demonstrasi pro-Soekarno pada tahun 1966.
Dengan setting politik saat ini, penunjukkan Laksamana Yudo sebagai Panglima TNI kiranya dapat pula merepresentasikan kembali romansa kedekatan dan loyalitas tersebut.
Eksistensi Laksamana Yudo sebagai orang kepercayaan baru Presiden Jokowi kelak agaknya juga bisa melengkapi jejaring koordinasi yang lebih kuat di bidang pertahanan dari tiga matra.
Tentu dalam rangka menghadapi dua tantangan pamungkas pemerintahan Jokowi yakni pembangunan tahap awal IKN Nusantara dan jelang tahun politik 2024.
Di atas semua itu, jika skenario Laksamana Yudo sebagai Panglima TNI benar-benar terjadi, dampak signifikan akan hadir di matra darat dan akan cukup menarik untuk dianalisa. Bersambung. (J61)