HomeNalar PolitikLaki-Laki Takut Kuota Gender?

Laki-Laki Takut Kuota Gender?

Berbeda dengan anggota DPR perempuan, anggota DPR laki-laki ternyata lebih skeptis terhadap kebijakan kuota gender 30% untuk perempuan.


PinterPolitik.com

[dropcap]E[/dropcap]lla S. Prihatini menemukan sebuah fakta menarik saat meneliti anggota DPR RI dan relasinya dengan kebijakan afirmatif kuota gender 30% bagi perempuan. Ada perbedaan perspektif yang terjadi pada kelompok legislator ini.

Kebijakan kuota gender 30% untuk perempuan di dunia politik diatur oleh pemerintah dalam UU No. 2 Tahun 2008. Di dalamnya memuat kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat.

Angka 30% sendiri  didapat berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30% memungkinkan terjadinya perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik.

Aturan dan UU ini juga wajib dipatuhi oleh partai politik sebab berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008, partai politik baru bisa mengikuti pemilihan setelah memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.  Intinya, UU No. 2 dan 10 tahun 2008 ini memang memiliki tujuan menghindari dominasi dari salah satu gender dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan publik.

Selama satu dekade diberlakukan, kebijakan ini memang mampu memaksa keterlibatan dan partisipasi perempuan dalam politik. Bukan rahasia lagi jika politik bukanlah ranah yang bisa kapan saja dimasuki oleh perempuan. Maka dari itu dorongan melalui kebijakan kuota gender diberlakukan.

Walau hasilnya belum bisa benar-benar diapresiasi, sebab masih belum mampu memenuhi angka 30%, namun secara signifikan angka keterlibatan perempuan di ruang DPR RI meningkat sejak masa Reformasi.

Alih-alih memperbanyak narasi belum sempurnanya pemberlakuan kebijakan kuota 30%, Ella S. Prihatini menelaah, bagaimana anggota legislatif alias para anggota DPR RI memahami dan menerima kebijakan tersebut.

- Advertisement -

Sebanyak 11% anggota DPR laki-laki skeptis bahwa kebijakan kuota gender 30% akan memiliki dampak terhadap kemungkinan kemenangan perempuan. Kelompok ini melihat bahwa hambatan yang ditemui perempuan masuk ke politik adalah sulitnya partai politik menemukan perempuan yang memenuhi kualifikasi. Selain kungkungan budaya, agama, dan sosial, mereka juga menilai bahwa perempuan lebih memprioritaskan keluarga daripada karir politik.

Sementara itu, anggota sebesar 80% DPR RI perempuan lebih optimis melihat kebijakan kuota gender 30%. “Dorongan” tersebut dilihat sebagai ajang meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia dan membantu elektabilitas calon politisi perempuan.

Sedangkan dari segi hambatan, kelompok ini melihat kungkungan nilai sosial dan budaya yang masih mengistimewakan laki-laki untuk berada di dunia politik. Mereka juga berpikir bahwa ketiadaan pelatihan politik, modal sosial, dan dana kampanye menjadi kerikil yang menghalangi jalan menuju gerbang di dunia politik.

Namun begitu, kedua kelompok tersebut bersepakat bahwa partai politik harus lebih transparan dalam metode rekrutmen calon anggota parlemen dan membantu secara finansial perempuan yang berpotensi untuk menang, namun terhambat modal kampanye.

Bila melihat contoh di atas, menarik bila melihat sebuah kebijakan yang diterima secara makro, ternyata mendapat pemahaman dan penerimaan berbeda di tingkatan mikro.

Lantas, bagaimana dengan negara lain yang juga mendorong partisipasi perempuan dalam politik lewat kebijakan kuota gender 30%? Apakah sikap skeptisisme dari pihak legislatif laki-laki ini juga terjadi di tempat lain?

Lika Liku Kebijakan Kota Gender

Tak bisa dipungkiri, keberadaan kebijakan kuota gender 30% walau belum sepenuhnya dikatakan berhasil, namun mampu mengurangi The Glass Ceiling Effect perlahan. The Glass Ceiling Effect alias langit-langit kaca, memiliki arti sebagai sebuah hambatan yang tak terlihat dan terjamah, yang menyebabkan kelompok minoritas dan perempuan sulit keluar dari langit-langitnya, walau memiliki kualifikasi dan pencapaian mumpuni.

- Advertisement -
Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Bila disederhanakan, teori langit-langit kaca ini berbicara tentang diskriminasi dan ketimpangan terhadap perempuan, terutama dalam hal akses dan kesempatan di berbagai lini. Ketimpangan gender di bidang politik, pada permukaannya tercermin jelas dalam rendahnya keterwakilan perempuan di struktur lembaga perwakilan Indonesia.

Padahal, jumlah penduduk perempuan Indonesia jauh lebih tinggi daripada penduduk laki-laki menurut data Proyeksi Penduduk Indonesia 2010 – 2035. Yakni, sekitar 49, 75 persen atau sekitar 130, 3 juta jiwa dari total penduduk 261, 9 juta jiwa.

Namun, banyaknya populasi perempuan tersebut tidak berbanding lurus dengan representasi perempuan yang duduk dalam parlemen. Di kursi DPR saat ini, yakni pada periode 2014 – 2019, jumlah anggota DPR perempuan adalah 97 orang atau 17, 86% dari total 560 orang. Angka ini turun dari periode sebelumnya, yakni 2009 – 2014, yang berjumlah 100 atau 17, 86 persen dari total 560 orang.

Tetapi bila dibandingkan lebih jauh, yakni di tahun masa Orde Baru, tepatnya di tahun 1995, anggota DPR perempuan hanya berjumlah 16 orang dari total 272 orang, atau 5,9% dari total keseluruhannya. Angka ini terus menanjak setelah masa Reformasi, walau tak stabil, hingga pemerintahan saat ini.

Jika membandingkan posisi Indonesia dengan negara lainnya di ASEAN pun, tak berbeda jauh. Bersumber dari Inter-Parliamentary Union (IPU), Indonesia menempati peringkat keenam terkait keterwakilan perempuan dalam parlemen. Posisi ini memang harus diterima sebab proporsi perempuan Indonesia dalam parlemen masih di bawah 20%, yakni 19,8%.

sumber: Tirto

Sementara peringkat pertama dipegang oleh Filipina dengan angka sebesar 29,5 persen atau berjumlah 86 perempuan dari total 292 kursi. Laos, sebesar 41 perempuan dari 149 kursi di parlemen. Lalu tempat ketiga diduduki Vietnam dengan 132 kursi dari total 494 anggota parlemen.

Walau masih menempati tempat keenam, stagnasi keberadaan perempuan dan efek langit-langit kaca, kini mulai bergerak maju. Sebagai kelompok yang dalam efek The Glass Ceiling, kesempatan memang harus terlebih dahulu dibuka.

Saat Indonesia bebas dari penjajahan dan kependudukan, Soekarno juga tak banyak menempatkan perempuan dalam parlemennya. Namun ia menggaet Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) untuk mendapatkan suara dukungan dari kelompok perempuan. Tetapi, saat Soekarno memilih berpoligami, Gerwani meninggalkannya dan berbalik mengkritik.

Namun begitu, ia menempati salah satu anggota kelompok perempuan tersebut, yakni SK Trimurti, sebagai menteri ketenagakerjaan pertama. SK Trimurti menjadi perempuan pertama dan satu-satunya di parlemen. Keberadaan perempuan dalam politik di masa Orde Lama, jauh lebih dinamis, terlihat dari berbagai organisasi perempuan yang ada, daripada di masa Orde Baru. Hal ini juga terlihat dari ruang parlemen Orde Baru yang hanya menempatkan 15 perempuan dari 200 lebih total anggota.

Kuota gender yang akhirnya memaksa dan membuat partai politik mengisi keberadaan perempuan menjadi salah satu penanda

Kuota Gender: Skeptisisme dan Penolakan Lelaki

Indonesia tentu bukan negara satu-satunya yang menghadapi skeptisisme dari kelompok legislator laki-laki terkait kebijakan kuota gender. Senegal, sebagai negara dengan partisipasi dan keterpilihan perempuan tertinggi di tahun 2017, yakni sebanyak 41,8%. Senegal juga memiliki jumlah populasi perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki, yakni 8,354 juta jiwa dari total 17 juta penduduk.

Sebagai negara dunia ketiga bekas jajahan Eropa dengan populasi Muslim terbanyak, Senegal mampu mengatasi minimnya partisipasi perempuan dalam politik kurang dari satu dekade. Seperti halnya Indonesia, Senegal juga mengalami proses penerimaan kebijakan dalam tingkatan makro dan mikro yang berbeda, terkait kebijakan kuota gender.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Langkah ini berawal di tahun 2012, bertepatan dengan pergantian presiden yang sudah 12 tahun memerintah, Abdoulaye Wade, kepada Macky Sall. Macky Sall lantas mengadopsi penelitian PBB untuk menyertakan keberadaan perempuan sebesar 30% di partai maupun parlemen.

Di tengah naiknya angka kuota gender, protes justru malah datang dari rekan sesama partai sekaligus anggota DPR Senegal Pape Diogaye Faye dari Senegalese Democratic Party (SDP). Faye berkata bahwa kebijakan kuota gender hanya asal merekrut perempuan tanpa memperhatikan kualifikasinya demi mengisi kuota 30%.

Pernyataannya ditimpali oleh El Hadji Diouf politisi Senegal yang juga anggota legislator Senegal, bahwa kebijakan kuota gender 30% hanya membuat perempuan berpolitik makin malas karena jalan yang sangatlah mudah. Baginya, kebijakan tersebut hanya akan memperlambat pembangunan Senegal.

Perempuan Senegal mencoblos (sumber: The Guardian)

Pernyataan dan sikap beberapa anggota DPR Senegal yang cenderung sinis, tentu jauh bila dibandingkan dengan sikap anggota DPR RI yang masih dalam nuansa skeptis. Walau skeptis, anggota laki-laki DPR RI sepakat untuk mempermudah jalan perempuan maju ke ranah politik serta keterbukaan rekrutmen. Sementara di Senegal, penolakan yang datang dari anggota legislatornya dilindungi oleh sang presiden.

Tak hanya itu, dengan histori budaya Senegal yang mengenal matriarki, di mana wewenang kekerabatan dan kekuasaan berada di garis perempuan, membuat rakyat Senegal terbuka dengan pembicaraan keterlibatan perempuan dalam ranah politik. Jadi, tak hanya dukungan presiden, ketertarikan rakyat juga yang akhirnya bisa sedikit menutupi “kekhawatiran” anggota legislatornya.

Seperti yang dilansir dari The Guardian, protes yang datang dari politisi laki-laki dari kursi DPR Senegal terhadap kebijakan kuota gender, memang diakibatkan karena ketidaksiapan Senegal memiliki perempuan yang berkecimpung dalam politik.

Amadou Diop, salah satu anggota legislatif laki-laki lainnya berkata sama sekali tak masalah dengan keterpilihan perempuan dalam partai atau parlemen, selama hal itu dilandasi dari kualifikasinya. Jika perempuan juga mendapat pendidikan sebaik dan setara laki-laki, maka keberadaan politisi perempuan yang sesuai kemampuan akan muncul. Namun Diop berkata saat ini hal dasar itu saja belum terpenuhi.

Sementara di Norwegia, sebagai negara kedua dengan keterpilihan dan partisipasi politik perempuan, pun tak luput dari hal serupa. Salah satu anggota legislatornya bernama Mai Lill-Ibsen berkata bahwa kebijakan kuota gender dianggap malah merendahkan perempuan.

Politisi cum pengusaha ini juga menganggap perempuan sama sekali bukan kelompok minoritas yang terperangkap dalam langit-langit kaca. Ia menganggap perempuan punya otoritasnya sendiri dan keberadaan kuota gender hanya menguatkan stereotip bahwa perempuan lemah dan harus dibantu.

Bila melihat paparan di atas, mau tak mau teringat pula perkataan Angela Ahrendts, wakil senior CEO Apple, yang berkata dirinya lebih baik memasukan orang-orang kompeten dari segi kepemimpinan, visi, dan pengalaman, bukannya gender. Sebab, menurutnya, kualitas tentu akan jauh lebih bermakna dibandingkan dengan kuantitas (quota) gender.  

Tetapi dalam politik, keterwakilan perempuan dalam parlemen tetap harus menjadi perhatian penting. Sebab bagaimana pun juga, kehadiran perempuan di parlemen memberikan otoritas pada perempuan untuk membuat kebijakan yang berkontribusi pada pencapaian hak-hak perempuan. Sebab, seringkali anggota laki-laki tak dapat sepenuhnya mewakili, karena perbedaan pengalaman dan kepentingan antara keduanya. (A27)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

More Stories

Jangan Remehkan Golput

Golput menjadi momok, padahal mampu melahirkan harapan politik baru. PinterPolitik.com Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 tunai sudah. Kini giliran analisis hingga euforia yang tersisa dan...

Menjadi Pragmatis Bersama Prabowo

Mendorong rakyat menerima sogokan politik di masa Pilkada? Prabowo ajak rakyat menyeleweng? PinterPolitik.com Dalam pidato berdurasi 12 menit lebih beberapa menit, Prabowo sukses memancing berbagai respon....

Kompetisi Antar Saudari Ala Rachmawati

Tak hanya menempati gerbong kelompok oposisi pemerintah Jokowi, Rachmawati juga ‘memecah’ hubungan antar saudari trah Soekarno. PinterPolitik.com Nama Rachmawati Soekarnoputri barangkali akan sulit dilepaskan dari sosok...