Mendekati masa Pilkada 2018 di sejumlah daerah, isu mahar partai politik mulai marak kembali walaupun telah ada peraturan yang melarang pemberlakuannya.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]emilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 sudah diambang pintu, beberapa partai politik bahkan sudah siap dengan calonnya masing-masing. Namun di sisi lain, isu parpol meminta mahar dari bakal calon gubernur dan wakil gubernur agar dapat diusung, kembali mencuat. Bahkan kabarnya, mahar tersebut telah ditetapkan sejak pengambilan formulir sebagai syarat ‘uang pendaftaran’.
Pada salah satu parpol, ada selentingan kalau dana yang dikeluarkan oleh bakal calon hanya untuk mengambil formulir saja, minimal Rp 100 juta. “Memang tidak ada aturannya, tetapi minimal harus ada duit. Ini urusan dapur partai. Uang itu diperlukan untuk operasional. Misalnya, mulai dari pendaftaran, sosialisasi, hingga membayar jasa survei internal,” kata salah seorang sumber di Jakarta, Senin (4/6).
Ia mengatakan, partainya tidak membanderol harga formulir pendaftaran bagi bakal calon yang ingin diusung. “Tidak ada aturan tertulis. Ini lobi antara partai dan calon juga harus mempunyai kesadaran dan pemahaman bahwa untuk perjuangan kemenangan dalam Pilkada apalagi di lapangan, seperti di Jawa Barat, perlu biaya kampanye,” katanya.
PKB Ende Tarik Rp 10 Juta Untuk Mahar Politik: Berbagai kandidat sudah mendaftarkan diri pada sejumlah partai di… https://t.co/0mAh49LB7j pic.twitter.com/kFF7jp1sD3
— Hansen Pah (@hansen_pah) May 30, 2017
Menurutnya, biaya untuk kampanye dan kepentingan lain selama pencalonan akan dihitung bersama oleh tim partai, tim kampanye, tim pemenangan, dan tim calon. “Jadi calon diusung atas dasar kompetensi dan elektabilitas tertinggi atau paling berpeluang untuk menang. Setelah itu, kami berbicara biaya. Pasti besar biayanya. Kami mengumpulkan uang dari saweran kader,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan kalau partainya akan membicarakan langkah untuk mengatasi anggaran yang besar itu dengan calon. Cara seperti itu, katanya, berlaku di semua pelaksanaan Pilkada. “Di Jabar dan di daerah lain, tentu kader akan menjadi prioritas. Tapi, bisa jadi ada juga calon yang tidak harus mengeluarkan uang sepeser pun, terutama bila dalam pandangan partai, calon tersebut peluang menangnya besar. Kalau itu yang terjadi, partai kami akan membiayai seluruh anggaran.”
Menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Faridz, mahar politik menjadi cara instan parpol untuk mendulang dana dan mengisi kas. Mereka akan menjual tiket kandidasi atau pencalonan bagi orang yang mau menjadi kepala daerah atau legislator. “Mahar politik telah menjadi cara instan parpol mendulang dana untuk mengisi kas. Tak heran, jika Pilkada atau Pileg, parpol panen raya dana segar dari kandidat yang maju,” jelasnya.
Mahar politik, lanjutnya, bukanlah cara yang benar untuk mengisi kas partai. Bahkan, mahar politik sering dilakukan secara tertutup. Untuk mencegah praktik mahar politik, menurut Donal, pendanaan parpol harus berdasarkan sumbangan atau iuran anggotanya, bukan pemilik partai. Jika hanya berasal dari pemilik parpol, maka parpol akan didominasi oleh sekelompok orang saja.
Mahar Politik Marak, ICW Dorong Bawaslu Bergerak http://t.co/RDXLfysEnn pic.twitter.com/wMw8T7HaX5
— Okezone (@okezonenews) August 12, 2015
Merujuk UU No 2 Tahun 2011 tentang parpol, terdapat sumber pendanaan partai yang diperbolehkan, yakni iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum dan bantuan negara dari APBN atau APBD. Sementara, dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 5 Tahun 2009 mengamanatkan jumlah bantuan negara per partai dihitung sebesar Rp 108 untuk setiap suara yang diperoleh dari pemilu sebelumnya.
Donal menilai, subsidi negara terhadap parpol sekarang sangat kecil, hanya 0,006 persen dari APBN. Karena itu, ICW sempat mengusulkan penambahan angka subsidi negara bagi partai dengan angka yang realistis. Bantuan negara bagi partai tetap ditambah sesuai dengan perolehan suara partai. Angka bantuan negara yang layak, lanjutnya, sekitar Rp 1.080 untuk setiap suara yang diperoleh partai dalam pemilu atau sepuluh kali lipat dari sebelumnya.
“Namun, peningkatan bantuan negara perlu diimbangi dengan perbaikan dan tata kelola partai. Misalnya, partai mesti mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pendanaan keuangan partai kepada internal pengurus dan publik luas,” pungkas Donal.
(Suara Pembaruan)