Hampir separuh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru disinyalir merupakan pengusaha – atau terafiliasi dengan korporasi. Beberapa rancangan undang-undang (RUU) yang sebelumnya dinilai bermasalah bisa saja menjadi ajang perebutan bisnis.
PinterPolitik.com
“I’m ‘bout my business on business” – Big Sean, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Mungkin, sebagian besar dari kita tahu bahwa menyerah bukanlah sebuah opsi ketika dihadapkan dengan tantangan sebesar apapun. Alangkah baiknya apabila tantangan-tantangan itu justru menjadi pembelajaran bagi langkah yang akan kita lakukan di masa mendatang.
Pesan semacam ini tak terkecuali juga ditujukan untuk para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 yang baru saja dilantik beberapa waktu lalu. Meski gelombang demonstrasi – baik dari mahasiswa, pelajar, maupun kelompok buruh – terus berjalan di sekitar Gedung DPR dan tempat menginap para tamu, pelantikan anggota-anggota itu tetap terlaksana dengan baik.
Pelantikan anggota DPR yang turut dihadiri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) juga menetapkan mantan Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani sebagai ketua DPR selama lima tahun ke depan.
DPR baru yang dipimpin oleh Puan ini bisa saja lebih mewakili aspirasi masyarakat dibandingkan periode sebelumnya. Setidaknya, janji itulah yang diungkapkan oleh beberapa anggota baru lembaga tersebut.
Terlepas dari janji tersebut akan ditepati atau tidak, para anggota DPR justru disinyalir rawan dipenuhi oleh konflik kepentingan. Pasalnya, hampir separuh penghuni Senayan ini merupakan pengusaha atau terafiliasi dengan perusahaan.
Tak hanya itu, sebagian rancangan undang-undang (RUU) yang bermasalah disebut-sebut menjadi medan perebutan bagi para pengusaha ini. Revisi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) misalnya, oleh John McBeth dalam tulisannya di Asia Times disebut sebagai wujud perebutan kontrol atas lahan-lahan konsesi pertambangan antara para pengusaha dan pemerintah.
Pasalnya, RUU ini dinilai dapat menghapuskan batasan luas lahan konsesi bagi pengusaha. McBeth menyebutkan bahwa anggota-anggota baru di Komisi VII DPR bisa saja memengaruhi isi RUU yang pengesahannya sempat ditunda ini. Komisi tersebut ke depannya juga akan melanjutkan kembali pembahasan RUU itu sesuai periode sebelumnya.
Pertanyaannya, mengapa RUU Minerba ini menjadi upaya perebutan bisnis di DPR? Lalu, mengapa laga perebutan ini dapat terjadi?
Nasionalisme vs Liberalisme
Adanya upaya saling berebut kontrol atas sumber-sumber bisnis ini mencerminkan persaingan dua pemikiran ekonomi yang berbeda. Di satu sisi, keinginan pemerintah untuk mengkontrol dapat berdampak baik bagi pembangunan nasional. Sementara, kontrol pemerintah yang minim juga diperlukan agar mekanisme pasar dapat berjalan.
Mengacu pada tulisan McBeth, keinginan pemerintahan Jokowi untuk mengontrol sumber-sumber ekonomi tersebut diperlukan dengan dalih bahwa agar pemanfaatannya dapat difokuskan bagi kemaslahatan masyarakat. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dalam suratnya kepada Sekretariat Negara menjelaskan bahwa pemanfaatan lahan konsesi lebih baik diberikan kepada BUMN guna memenuhinya.
Apa yang dijelaskan oleh Rini bisa jadi benar. Jeffrey D. Wilson dalam tulisannya yang berjudul Resource Nationalism vs Resource Liberalism menjelaskan bahwa nasionalisme sumber (resource nationalism) semacam ini diterapkan guna memberikan manfaat terhadap ekonomi nasional. Dalih utamanya adalah bahwa sumber-sumber ekonomi bersifat terbatas sehingga perlu difokuskan untuk kepentingan nasional.
Biasanya, penerapan nasionalisme sumber ini disertai dengan tujuan dan kepentingan politik tertentu. Michael Solomon dalam penelitiannya menyebutkan bahwa setidaknya terdapat tiga faktor yang mendorong negara untuk menerapkan nasionalisme sumber, yakni ideologi politik domestik, keuntungan ekonomi strategis, dan kesempatan untuk mendapatkan nilai ekstra atas sumber ekonomi.
Pengelolaan ekonomi dengan cara merkantilistik ini dilakukan dengan peran negara yang besar dalam ekstraksi, pemrosesan, hingga distribusi sumber daya alam yang ada di wilayah kedaulatannya. Lahan konsesi pertambangan batu bara misalnya, menjadi sasaran Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) Ignasius Jonan dengan menemui pebisnis-pebisnis batu bara agar mau melepaskan sebagian konsesinya.
Campur tangan pemerintah atau negara dalam ekonomi disertai dengan perilaku dan kepentingan untuk mencari keuntungan. Share on XTentunya, pendekatan merkantilistik ini turut dikritik oleh pendekatan-pendekatan ekonomi lainnya, terutama pendekatan liberal. Pendekatan ekonomi yang juga disebut sebagai pemikiran ekonomi klasik ini secara keseluruhan menolak campur tangan pemerintah dalam aktivitas ekonomi.
Wilson dalam tulisannya menjelaskan bahwa liberalisme sumber (resource liberalism) lebih memercayakan kinerja ekonomi pada mekanisme pasar. Dalam kata lain, pasar akan mengatur kinerjanya sendiri agar dapat tetap berjalan.
Pemikiran ekonomi klasik semacam ini berasal dari ekonom sekaligus filsuf Adam Smith. James A. Caporaso dan David P. Levine dalam bukunya yang berjudul Theories of Political Economy menjelaskan bahwa Smith melihat bahwa campur tangan pemerintah atau negara dalam ekonomi disertai dengan perilaku dan kepentingan untuk mencari keuntungan (profit-seeking).
Kontrol pemerintah atas sumber-sumber ekonomi seperti lahan konsesi bisa saja memunculkan kecenderungan perilaku koruptif. John Kurtz dan John van Zorge dalam tulisan opini mereka di Wall Street Journal menjelaskan bahwa sinyal nasionalisme sumber di Indonesia membuat iklim bisnis menjadi rentan terhadap korupsi dengan adanya kerumitan birokrasi pemerintah.
Upaya nasionalisasi sumber pemerintahan Jokowi tidak hanya terjadi dalam industri batu bara. Dalam industri minyak dan gas misalnya, pemerintahan Jokowi kerap mendorong BUMN seperti Pertamina untuk mengambil alih sumber-sumber minyak dan gas, seperti Blok Mahakam. Padahal, banyak pihak menilai Pertamina belum tentu mampu mengoperasikan semua sumber tersebut.
Namun, di tengah peran BUMN yang besar dalam berbagai proyek pemerintah, para pimpinan perusahaan-perusahaan milik negara justru terjangkit dalam perilaku-perilaku koruptif, dari Angkasa Pura II, Pelindo, hingga PLN.
Di sisi lain, penerapan pendekatan liberal dalam kebijakan ekonomi dalam beberapa kesempatan justru dapat berdampak baik bagi pertumbuhan modal di suatu negara. Caporaso dan Levine dalam bukunya menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi banyak digunakan pada tahun 1980-an guna meningkatkan investasi.
Terlepas dari pendekatan mana yang lebih baik bagi ekonomi Indonesia, bagaimana perbedaan pendekatan ini memengaruhi dinamika politik antara pemerintah dan pengusaha? Lalu, bagaimana dampaknya terhadap komposisi lembaga legislatif?
Respons terhadap Pemerintahan Jokowi?
Seperti yang dijelaskan oleh Caporaso dan Levine sebelumnya, pendekatan ekonomi liberal lebih menekankan pada mekanisme pasar bagi jalannya ekonomi. Dalam tulisan tersebut, dijelaskan bahwa asumsi pendekatan ini juga berhubungan dengan konsep civil society – menjelaskan bahwa peran negara di masyarakat juga perlu dikurangi.
Dalam arti lain, pendekatan ini lebih menyerahkan mekanisme pasar kepada kepentingan-kepentingan swasta (private interests). Pengaturan pasar akan berjalan dengan adanya private interests tersebut.
Bisa jadi, nasionalisasi sumber ekonomi yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi memunculkan kepentingan-kepentingan swasta – atau pengusaha – untuk membatasi kontrol sumber ekonomi tersebut. Mungkin, DPR pun menjadi instrumen bagi pemenuhan kepentingan tersebut.
Upaya semacam ini setidaknya pernah terjadi di Amerika Serikat (AS). Di negeri Paman Sam itu, para pengusaha sebelumnya memiliki pengaruh yang terbatas terhadap Kongres pada tahun 1950-an dan 1970-an.
Pada tahun-tahun tersebut, kelompok-kelompok lain – seperti serikat pekerja dan kelompok kepentingan – lebih mendapatkan perhatian dari Kongres. Fokus ini setidaknya membuat pengaruh pebisnis semakin kecil. Akibatnya, pada tahun 1972, kondisi perekonomian yang melambat, naiknya upah minimum, dan regulasi pasar membuat para pebisnis mencari akal untuk meningkatkan pengaruh politiknya.
Kini, perusahaan-perusahaan di AS memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap lembaga legislatif melalui para pelobi (lobbyists). Para pebisnis AS akhirnya dapat memengaruhi kebijakan pemerintah, seperti dengan revisi aturan terkait buruh, regulasi pasar, hingga penurunan pajak.
Lalu, bagaimana dengan pengusaha-pengusaha di DPR? Apakah berbagai RUU juga menjadi perwujudan kepentingan pebisnis?
Seperti di AS, pengusaha-pengusaha di Indonesia dinilai menggunakan pelobi-pelobi guna memengaruhi DPR. McBeth dalam tulisannya menjelaskan bahwa DPR periode baru ini akan tetap didorong oleh pelobi-pelobi perusahaan batu bara.
Selain itu, layaknya pebisnis-pebisnis di AS, pengusaha-pengusaha Indonesia bisa saja merasa frustrasi atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang nasionalistik. Meningkatnya representasi politik para pengusaha di DPR bisa jadi merupakan salah satu upaya untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan bagi sektor swasta.
Pada intinya, perseteruan antara dua pendekatan ekonomi yang berbeda ini turut terefleksi dalam upaya pemenuhan kepentingan para pebisnis di DPR. Layaknya lirik rapper Big Sean di awal tulisan, bisnis pun tetap berjalan meski turut dijalankan melalui bisnis lainnya. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.