Site icon PinterPolitik.com

Labeling Luhut Temui Kegagalan?

Labeling Luhut Temui Kegagalan

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. (Foto: Antara)

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengekspresikan sikap skeptis dan sindiran terhadap resistensi penolakan UU Ciptaker dengan menyebut demo dalam kondisi sulit saat ini tidak jelas. Hal ini seolah menambah deretan bentuk semacam pelabelan tersendiri kepada para massa aksi. Namun dengan kecenderungan tersebut, mengapa protes massa tetap terjadi?


PinterPolitik.com

Seperti tak ingin menyerah begitu saja, berbagai aksi demonstrasi penolakan UU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) nyatanya masih terus berlangsung di beberapa kota besar.

Kemarin, di Jakarta, Surabaya, Makassar dan beberapa kota lainnya, elemen massa mahasiswa dan buruh tampak menampilkan sinergitas saat menyampaikan protes terhadap Ciptaker, yang kebetulan bertepatan dengan momentum satu tahun kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin.

Akan tetapi sehari sebelumnya, pemerintah sebagai subjek protes massa seolah kembali mengeluarkan pernyataan bernada memojokkan saat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa pihak pendemo sebagai orang tidak jelas dan bahwa dalam keadaan yang sedang sulit seperti saat ini malah melakukan demonstrasi.

Selain logika pernyataan yang agaknya membuat publik mengernyitkan dahi, di sisi lain argumen tersebut jika dimaknai juga seolah menjadi tendensi pelabelan dan generalisasi minor tersendiri pada aksi demonstrasi secara umum.

Daniel Arnon, Peace Edwards dan Handi Li dalam Propaganda as Protest Prevention: How Regime Labeling Deters Citizens from Protesting—Without Persuading Them menyebut bahwa salah satu strategi pemerintah atau sebuah rezim yang acapkali beriringan dengan represi adalah melabeli atau memberikan predikat negatif dalam upaya mendiskreditkan pihak yang berseberangan dengan mereka.

Analisa Arnon dan kawan kawan itu mungkin tidak bisa seketika dialamatkan dan dijustifikasi kepada bagaimana sikap pemerintah terhadap para pemrotes UU Ciptaker, namun sayangnya tendensi yang terjadi di lapangan dinilai memang mengarah pada yang demikian.

Hal ini disoroti misalnya oleh Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti, yang menilai terdapat kecenderungan pelabelan massa sebagai perusuh, meski aksi berjalan damai.

Lalu ada Tempo yang mengelaborasikan fenomena narasi-narasi pelabelan dan generalisasi dari pemerintah terhadap para demonstran seperti anarkistis, vandalisme, perusuh, ditunggangi dan sebagainya dengan sebuah kartun bernada satir dari majalahnya edisi pekan ini bertajuk “Penunggang Demonstrasi”.

Tak mengherankan memang ketika salah seorang politisi partai penguasa pemerintah, yakni PDIP, melalui Sekretaris Jenderal (Sekjen) Hasto Kristiyanto dalam sebuah pernyataan bahkan melabeli aksi unjuk rasa beberapa waktu belakangan sebagai aksi anarkistis dan meminta aparat memberikan tindakan hukum yang tegas bagi aktor yang berada di belakangnya.

Belum lagi yang secara langsung datang dari pemerintah. Seperti ketika Menko Perekonomian Airlangga Hartarto serta Menko Polhukam Mahfud MD mengklaim bahwa ada pihak dan aktor intelektual yang menunggangi aksi demonstrasi UU Ciptaker, namun sejauh ini pembuktiannya hanya terlihat berupa penangkapan sejumlah tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang bahkan masih diliputi kontroversi.

Pernyataan serta klaim yang bagaimanapun terinterpretasi sebagai sebuah bentuk pelabelan, seperti ditunggangi, anarkistis, hingga menjadikan preseden eksisnya upaya mendiskreditkan aksi demonstrasi dinilai tak terhindarkan.

Namun jika memang benar ada upaya-upaya labeling plus pendiskreditan itu, mengapa gelombang demonstrasi di sejumlah kota masih tetap membara dan terus berlangsung?

Strategi Yang Gagal?

Penafsiran akan adanya pelabelan tertentu yang telanjur mengemuka menjadikan sulit kiranya untuk mengesampingkan fokus dari dampak yang ditimbulkannya. Arnons, Edward dan Li sendiri menyebut strategi labeling sendiri bermuara dan bertujuan untuk meredam berbagai protes dan demonstrasi yang berseberangan dengan pemerintah.

Akan tetapi, demo resistensi UU Ciptaker yang tetap berlangsung pada Selasa kemarin di sejumlah kota, seolah menjadi penasbih bahwa kecenderungan dan hipotesa pelabelan yang mungkin dinarasikan pemerintah sebelumnya tidak berhasil.

Ya, Jakarta, Surabaya, hingga Makassar menjadi episentrum massa mahasiswa dan buruh yang seolah tak terpengaruh dengan tendensi pelabelan yang ada pada para demonstran yang menolak UU Ciptaker.

Lalu apa yang menjadikan aksi demonstrasi terkini seolah tak terpengaruh dengan predikat yang mungkin saja dapat sekali lagi mendiskreditkan gerakan mereka?

Agaknya terdapat beberapa postulat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Akan tetapi jika mengacu pada konteks tudingan dan pelabelan ditunggangi maupun anarkistis, massa tampaknya telah mengantisipasi hal tersebut dengan memaksimalkan identitas mereka, yakni dengan penggunaan atribut yang representatif dalam aksi.

Ihwal yang cukup mencolok terjadi di Surabaya. Mahasiswa dan buruh berfusi dalam sebuah gerakan di mana mereka berinisiatif tampil dengan atribut seragam serikat buruh dan almamater masing-masing dan melakukan sweeping kepada mereka yang ditengarai berusaha menyusup dan berpotensi memperkeruh aksi. Pun di Jakarta dan Makassar, terjadi sinergi dan taktik serupa tapi tak sama.

Hal tersebut tampak secara lebih luas dapat dimaknai sebagai taktik kontra narasi dari para demonstran UU Ciptaker untuk menghindari dan membalikkan preseden pelabelan tertentu yang dinilai jamak terjadi sebelumnya.

Selain itu, dalam The Color of Protest, Vannesa Friedman menyebutkan istilah “color of refusal” yang mendeskripsikan penggunaan atribut khusus yang mewarnai dan memberi makna tersendiri dalam sebuah protes.

Dengan mengutip Erin Vearncombe, seorang assistant professor di University of Toronto, dijelaskan bahwa pakaian atau atribut tertentu yang dikenakan para pemrotes menggambarkan simbolisasi yang kuat dalam sebuah demonstrasi.

Makna sebuah atribut dapat mencerminkan pemikiran yang independen hingga pembangkangan, dan revolusi, serta keunikan yang efektif, deklaratif, dan performatif yang memang telah lama berfungsi sebagai situs komunikasi sentral bagi aktivisme politik dan tuntutan reformasi sosial.

Friedman mencontohkan bagaimana signifikannya sebuah atribut “serba hitam” pada protes pro-demokrasi tak kenal lelah warga Hong Kong, yang sampai harus memaksa Tiongkok untuk menghentikan ekspor jenis pakaian tersebut ke negeri eks koloni Kerajaan Inggris itu.

Terdapat pula protes dengan semangat yang serupa pada aksi “rompi kuning” di Prancis, The Pink Pussy Hats di Amerika Serikat (AS), hingga penggunaan seragam sekolah oleh para pelajar dan mahasiswa pada protes pro-demokrasi terbaru Thailand, sebelum berganti serba hitam yang mirip dengan apa yang terjadi di Hong Kong.

Lantas, jika memang para demonstran UU Ciptaker “asli” telah mengetahui cara menghindari probabilitas pelabelan yang ada, apakah hal itu akan cukup untuk membuat gerakannya akan terus konsisten hingga menemui cita-citanya?

Aral Kompleks Lain Masih Melintang?

Dawn Brancati and Nathan Law dalam Why Have the Hong Kong Protests Lasted So Long? menyoroti demonstrasi Hong Kong sebagai protes massa yang tak kenal lelah. Bagaimana tidak, demo terkait hukum ekstradisi dan meneruskan semangat protes payung pada tahun 2014 lalu itu telah berlangsung lebih dari setahun terakhir.

Menurut Branati dan Law, terdapat ihwal esensial yang membuat protes berjalan dengan konsisten dan begitu tangguh berhadapan dengan perpanjangan tangan kepentingan Tiongkok di Hongkong, termasuk berbagai bentuk pendiskreditan, pelabelan, hingga represi.

Pertama, para demonstran dinilai lihai mempertahankan dukungan rakyat melalui strategi “be water” (tidak terlalu lama menduduki wilayah tertentu), menggunakan berbagai strategi untuk menekan pemerintah, dan terus menjaga solidaritas.

Kedua, ialah adanya dukungan internasional seperti yang datang dari AS melalui Hong Kong Human Rights and Democracy Act. Sebuah regulasi yang mengamanatkan peninjauan tahunan atas status khusus Hong Kong dan menetapkan proses untuk menjatuhkan sanksi dan pembatasan perjalanan pada mereka yang bertanggung jawab atas penahanan sewenang-wenang dan penyiksaan terhadap warga Hong Kong.

Pada konteks resistensi UU Ciptaker Indonesia, para demonstran dinilai masih cukup mungkin untuk mengadopsi visi demonstran Hong Kong yang pertama. Plus “dukungan” eksternal yang datang beberapa waktu lalu dari Konfederasi Serikat Buruh Internasional (ITUC) hingga 35 investor asing, di mana turut memberikan penilaian kurang positif pada UU Ciptaker.

Kendati demikian, dua faktor yang mungkin saja dapat memberikan energi dan nafas panjang bagi para demonstran itu tampaknya cukup sulit menemui tujuan klimaksnya pada konteks UU Ciptaker.

Hal ini sekali lagi terkait dengan hampir mustahilnya bagi pihak manapun untuk membatalkan atau menganulir regulasi yang telah diketuk palu parlemen itu secara politik, termasuk Presiden Jokowi.

Persoalan yang membuat tendensi pelabelan yang mungkin belakangan Luhut sematkan pada aksi demonstrasi sesungguhnya tak terlalu begitu berarti dan tak perlu dilakukan karena UU Ciptaker kemungkinan besar akan tetap melenggang.

Pada titik ini, memfokuskan kekuatan pada cara-cara yang lebih elegan seperti melalui mekanisme hukum secara lihai dan cermat untuk menggugat pasal kontroversial dan terus mengawalnya, memang pada akhirnya menjadi lebih masuk akal bagi pihak yang resisten terhadap UU Ciptaker. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version