Isu radikalisme di kampus kembali muncul dengan ditangkapnya seorang dosen IPB yang diduga akan memprovokasi dan menciptakan kerusuhan di Jakarta. Beberapa kasus terorisme memang memiliki keterkaitan kuat dengan sivitas akademika kampus. Namun, isu radikalisasi kampus yang dikeluarkan oleh pemerintah justru menuai banyak kritikan dan berpotensi bertabrakan dengan prinsip kebebasan akademik. Lalu, seperti apa dinamika radikalisme kampus di Indonesia?
PinterPolitik.com
Bersama lima orang lainnya, Dosen IPB dengan nama Abdul Basith ditangkap oleh kepolisian karena diduga akan melakukan provokasi dan menciptakan kerusuhan dalam aksi Mujahid 212. Polisi juga mengklaim bahwa 28 bom molotov sudah diamankan sebagai barang bukti.
Merespon adanya penangkapan tersebut, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir menyatakan bahwa kasus yang menimpa dosen IPB tersebut merupakan bukti belum selesainya permasalahan radikalisasi kampus di Indonesia.
Ya, bukan kali ini saja isu radikalisme kampus ramai dibicarakan.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), radikalisme di kampus sudah terjadi sejak 30 tahun yang lalu. BNPT juga mengatakan bahwa semua kampus di Pulau Jawa sudah terkena paham radikal.
Kemudian pada November tahun lalu, Badan Intelijen Nasional (BIN) mengeluarkan hasil surveinya bahwa tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) dan 39 persen mahasiswa di 15 provinsi terpapar oleh paham radikal.
Sementara menurut penelitian Setara Institute, 10 PTN yakni UI, ITB, UGM, UNY, UIN Jakarta, UIN Bandung, IPB, UNBRAW, UNIRAM, dan UNAIR terpapar oleh radikalisme Islam.
Tidak Punya Definisi?
Ada berbagai pendapat mengenai penyebab masuknya paham radikal ke dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia.
Menurut BNPT, radikalisme kampus terjadi karena kurangnya pemahaman seputar agama dan wawasan kebangsaan.
Sementara, menurut Bagas Pujilaksono Widyakanigara, Dosen Fakultas Teknik UGM, pembiaran bibit-bibit radikalisme oleh rektor, dekan, hingga ketua jurusan menjadi penyebab menyebarnya paham radikal di kampus.
Sementara menurut Azyumardi Azra, guru bersar UIN Jakarta, ada empat hal yang menyebabkan dosen dan mahasiswa terpapar paham radikalisme.
Pertama, tidak adanya gerakan tandingan terhadap “organisasi kanan” seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Kedua, kecenderungan bahwa ilmu eksakta atau alam lebih mudah terpapar radikalisme. Ketiga, ketidakpahaman teruadap Islam yang komperhensif. Keempat, ketidakpahaman terhadap isu-isu politik Indonesia.
Namun, sepertinya menentukan faktor penyebab bukanlah permasalahan utama dalam isu radikalisme kampus di Indonesia.
Permasalahan utama justru terletak pada hal yang cukup mendasar namun sangat krusial, yakni apa sebenarnya yang dimaksud dengan radikalisme?
Kata “radikal” berasal dari bahasa latin radiks atau radix yang berarti akar.
Dalam konteks politik, radikal merujuk pada cara pandang atau seseorang yang ingin kembali ataupun mengganti sesuatu yang sifatnya mengakar alias mendasar seperti sistem atau ideologi negara.
Dalam arti etimolgis ini radikal atau radikalisme bukanlah suatu hal yang negatif.
Lalu, seperti apa radikal dipahami di Indonesia?
Hingga saat ini tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang mendefinisikan radikalisme termasuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme.
Namun, di beberapa website resmi pemerintah seperti kepolisian hingga Kemenristekdikti, radikalisme didefinisikan dalam konteks negatif yaitu “suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan dan aksi-aksi yang ekstrem.”
Stigma bahwa radikal merupakan suatu hal yang negatif juga menyebabkan kata ini sering melekat atau setidaknya berkaitan dengan aksi terorisme.
Selain memunculkan stigma negatif, kekosongan definisi juga menyebabkan pemerintah sering dikritik, khususnya oleh kalangan akademisi, ketika mengeluarkan isu radikalisme di kampus.
Terkait tujuh PTN yang pemerintah klaim terpapar radikalisme misalnya, Rektor Universitas Paramadina Firmanzah mengatakan bahwa definisi radikal yang digunakan pemerintah masih sangat ambigu.
Firmanzah juga mengatakan bahwa harus ada pembedaan antara radikal yang masih masuk dalam kategori sifat kritis di dunia pendidikan dengan radikal yang berencana melakukan kekerasan.
Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Dahnil Anzar, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Menurutnya, kata radikal tidak selalu berkaitan dengan tindak kekerasan ataupun terorisme.
Ia juga menambahkan bahwa pemikiran radikal baru berbahaya jika diikuti oleh tindak kekerasan. Sementara radikal dalam artian pemikiran mendalam atas berbagai hal justru dibutuhkan dalam dunia pendidikan.
Kritik juga datang dari Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI) yang berpendapat bahwa semua pihak harus berhenti mengaitkan suatu kampus dengan radikalisme sampai “radikalisme” itu sendiri memiliki definisi yang jelas dan terukur.
Menurut Iluni UI, pemberian label radikal pada suatu kampus justru membuat kegaduhan dan membuat banyak pihak, khususnya pihak kampus, tersinggung.
Ketiadan definisi ini berpotensi membuat kata radikal digunakan secara liar terhadap dosen atau mahasiswa yang berpikir kritis khususnya dalam hal politik dan pemerintahan.
Kebebasan Akademik Jadi Korban?
Bukan hanya berdampak negatif terhadap citra kampus, pemberian label radikal juga berpotensi menjegal prinsip kebabasan akademik, sesuatu yang sudah terjadi di perguruan-perguruan tinggi Inggris.
Sama seperti di Indonesia, radikalisme juga terjadi di kampus-kampus negara lain termasuk negara maju seperti di Inggris.
Di Inggris, lebih dari 30 persen terpidana teroris yang terafiliasi dengan Al-Qaeda pernah mengemban pendidikan di universitas.
Teroris-teroris ini terpapar oleh paham radikalisme baik sebelum, selama, ataupun sesudah mereka menyelesaikan pendidikan universitasnya. Sebagian dari mereka juga menggunakan ilmu yang dipelajarinya di kampus untuk melancarkan aksi terorisme.
Kondisi ini membuat pemerintah Inggris mengeluarkan kebijakan pencegahan radikalisme dan kontra-terorisme di perguruan tinggi yang kemudian menuai banyak kritik.
Kebijakan pemerintah Inggris dinilai menciptakan ketakutan dan kebingungan di universitas.
Hal ini disebabkan mahasiswa ataupun dosen harus meminta izin terlebih dahulu untuk mengakses bahan bacaan hingga video tertentu yang dinilai pemerintah memiliki keterkaitan dengan radikalisme.
Kondisi ini pada akhirnya membuat mahasiswa takut untuk membaca bahan bacaan atau melakukan penelitian yang berkaitan dengan kelompok-kelompok teroris.
Kebijakan ini bahkan membuat beberapa pihak menilai bahwa mahasiswa, staf, dan dosen di universitas Inggris dijadikan sebagai target dan informan oleh pemerintah.
Terkait hal tersebut, menurut beberapa pihak, terganggunya kebebasan akademik di Indonesia karena isu radikalisme sudah terjadi pada tahun lalu.
Pada sidang kasus pembubaran HTI, ahli hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra mengecam adanya ancaman pemecatan terhadap guru besar hukum di Universitas Diponegoro dengan tuduhan berafiliasi dengan HTI.
Menurut Yusril, ancaman pemberhentian tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan akademik di mana seorang akademisi memiliki kebebasan untuk berbicara sesuai batas tanggung jawab keilmuannya.
Sejauh ini Menristekdikti dan Jokowi sendiri menjamin bahwa kebijakan anti-radikalisme pemerintah di kampus tidak akan merenggut kebebasan mahasiswa.
Prinsip kebebasan akademik sebelumnya sudah terganggu dalam isu komunisme di mana dalam beberapa kesempatan terjadi pembubaran diskusi ilmiah hingga penjatuhan hukuman terhadap mahasiswa yang dituduh menyebarkan paham komunis.
Dengan semua permasalahan di atas, dalam usahanya memerangi radikalisme di kampus pemerintah harus terlebih dahulu membuat definisi yang jelas dan terukur mengenai apa itu radikalisme dan radikalisme seperti apa yang menjadi musuh negara.
Jika tidak, seperti di Inggris, kebijakan pemerintah untuk memerangi bibit radikalisme atau terorisme di kampus justru akan menghalau prinsip kebebasan akademik dan menargetkan mereka yang sebenarnya tidak radikal. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.