Site icon PinterPolitik.com

Label Halal: Simbol Kemenangan Kemenag?

badan penyelenggara jaminan produk halal bpjph kementerian agama kemenag 220312131111 951

Label halal baru (Foto: Kemenag)

Kementerian Agama (Kemenag) merilis label halal baru yang akan menggantikan label halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Label tersebut menuai sejumlah pro dan kontra yang bisa kita tarik ke persoalan kewenangan sertifikasi halal yang kini dipegang Kemenag, bukan lagi MUI. Mengapa permasalahan sertifikasi halal bisa begitu diperdebatkan? 


PinterPolitik.com 

Kementerian Agama (Kemenag) kembali menjadi topik hangat pembicaraan masyarakat. Instansi pimpinan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas itu, pada pertengahan Maret ini, menetapkan label halal baru yang berlaku secara nasional, melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag.  

Yaqut menjelaskan, dengan adanya label baru ini, maka secara bertahap label halal yang sebelumnya menggunakan versi Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak akan berlaku lagi.  

Sejumlah kritik pun dilontarkan. Ada yang mengatakan label halal yang baru bentuknya menyerupai gunungan wayang, yang merupakan bagian kebudayaan Jawa, sehingga mereka berkesimpulan bahwa label tersebut tidak mencerminkan Indonesia yang multikultural.  

Namun, ada juga yang mempermasalahkan elemen-elemen yang luput dari label baru tersebut. Wakil Ketua MUI Anwar Abbas, misalnya, mengatakan bahwa dirinya sangat menyayangkan di label halal yang baru tidak tercantum logo MUI dan BPJPH. Padahal ia mengaku, ketika awal pembicaraan, unsur kata “MUI” akan dicantumkan. 

Ya, melihat panasnya kritik terhadap Kemenag, khususnya dari pihak MUI, menandakan bahwa di balik perdebatan mengenai logo halal yang baru, sesungguhnya terdapat isu mendalam yang menarik untuk diperbincangkan, yakni tentang peralihan kewenangan pemberian sertifikasi halal. 

Menag Yaqut mengatakan bahwa ke depannya, keseluruhan proses sertifikasi halal akan diselenggarakan oleh negara, bukan lagi oleh organisasi kemasyarakatan (Ormas) seperti MUI.  

Kepala BPJPH, Muhammad Aqil Irham, pun menegaskan bahwa alasan utama dari perubahan desain logo ini adalah sebagai bagian awal dari perpindahan wewenang sertifikasi halal dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI) ke BPJPH Kemenag. 

Menariknya, semenjak BPJPH diwacanakan untuk didirikan pada tahun 2014, melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), permasalahan pemindahan kewenangan sertifikasi halal telah menjadi topik perdebatan sengit antara MUI dan pemerintah. 

Dari sini kemudian kita perlu pertanyakan, mengapa perdebatan mengenai sertifikasi dan label halal begitu panas? 

Sertifikasi Halal, Ladang Bisnis Menggiurkan? 

Penting bagi kita untuk pertama-tama memiliki persepsi yang sama tentang kenapa sertifikasi halal merupakan suatu hal yang penting. Faktor keagamaan tentu menjadi variabel tak terbantahkan, tetapi, permasalahan sertifikasi halal bukan hanya soal agama. 

Sesuai perkembangannya, urusan sertifikasi halal tidak lagi hanya menjadi prioritas negara mayoritas Muslim seperti Indonesia. Saat ini, negara-negara maju yang tidak berpenduduk mayoritas Muslim pun mulai memberi perhatian serius pada pelabelan produk halal. 

Fenomena ini bisa dilihat dari berbagai perspektif, namun salah satu motivasi utamanya adalah kepentingan ekonomi. Mengutip hasil temuan lembaga riset market IMARC Group, pada tahun 2020 nilai pasar industri pangan halal global mencapai angka lebih dari US$ 1,9 triliun, dengan populasi penduduk Muslim dunia sekitar 1,9 miliar orang. Dan seperti yang kita tahu, mayoritas penduduk Muslim tersebar di bagian Bumi Tengah ke Selatan, seperti negara-negara Teluk Arab, dan tentunya negara Asia seperti Malaysia dan Indonesia. 

Karena itu, wajar bila banyak negara kini mulai memberi perhatian ke persoalan sertifikasi halal, sebab persoalan label halal kini telah menjadi komoditas dagang. Bahkan bisa dikatakan, sertifikasi halal sepertinya telah menjadi lahan bisnis global yang menggiurkan. 

Tantangan ekonomi modern ini kemudian membawa kita ke keadaan di Indonesia. Semenjak era reformasi, MUI adalah lembaga yang memiliki kewenangan penuh dalam sertifikasi halal. Sementara itu, pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) hanya bertugas dalam menempelkan label halal. 

Kenyataan ini seiring waktu menjadi permasalahan besar yang rumit diselesaikan. Karena MUI bukanlah lembaga negara, maka ia tidak memiliki payung hukum yang dapat memberikan kekuatan dalam mengontrol dan mengawasi proses pelabelan sertifikat halal.  

Sementara itu, sertifikasi halal sendiri ibarat primadona dalam urusan bisnis, karena jika suatu perusahaan ingin mencapai konsumen Muslim, maka mereka mau tidak mau harus mengurus label halal. Sebagai informasi, sebelum dialihkan ke BPJPH, kisaran biaya pelabelan halal disebut menyentuh angka Rp 2,5 juta sampai Rp 5 juta untuk satu produk. 

Tidak heran bila kemudian ada oknum yang mengeksploitasi celah payung hukum sertifikasi halal. Peneliti The Wiratama Institute, Lies Afroniyati dalam tulisannya Analisis Ekonomi Politik Sertifikasi Halal Oleh Majelis Ulama Indonesia, mengutip laporan yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) pada tahun 2009, mengatakan bahwa MUI adalah salah satu lembaga yang paling sering menerima suap. Manajer Riset dan Kebijakan TII, Frenky Simandjuntak menyebutkan, dugaan suap-menyuap ini lebih banyak dilakukan untuk pengurusan sertifikasi halal. 

Kita pun tidak bisa melupakan berita heboh yang sempat melanda MUI pada tahun 2019, yakni tentang dugaan suap sertifikasi halal yang dilaporkan oleh seorang warga negara Jerman bernama Mahmoud Tatari. Ketika itu, Tatari mengaku diperas uang sebesar Rp 780 juta untuk kemudahan sertifikasi halal.  

Kuasa hukum Tatari, Ahmad Ramzy, menduga pemerasan itu diatur oleh Direktur LPPOM MUI pada saat itu, yaitu Lukmanul Hakim. Tapi pada akhirnya, Lukmanul tidak jadi tersangka karena bukti yang disampaikan dianggap tidak cukup. 

Well, kita tidak perlu membahas tentang apakah dugaan-dugaan yang disampaikan tadi adalah benar atau tidak. Intisari yang perlu kita soroti adalah, banyaknya desas-desus tentang dugaan kasus suap kepada MUI menjadi bukti bahwa urusan sertifikasi halal adalah urusan yang sangat money-oriented, dan karena itu, wajar bila sertifikasi halal begitu kental dengan sejumlah kepentingan ekonomi, serta politik. 

Lies juga mengatakan bahwa tidak bisa dipungkiri area sertifikasi halal adalah area “lahan basah”, dan selalu diperebutkan oleh banyak pihak, tidak terkecuali Kemenag.  

Dengan demikian, kita perlu menyadari bahwa di dalam segala polemik tentang sertifikasi halal, termasuk label halal yang baru, terdapat perseteruan kepentingan ekonomi dan politik yang kuat dari berbagai pihak. 

Lantas, bagaimana kemudian kita memaknai polemik label halal yang baru dirilis oleh Kemenag? 

Peralihan Kewenangan, Peralihan Kekuasaan 

Melihat perkembangannya, terutama setelah Kemenag memiliki BPJPH sebagai lembaga negara yang berkewenangan dalam memberikan sertifikasi halal, jelas bahwa pengumuman tentang label halal baru bukan saja merupakan tanda peralihan kewenangan, tetapi juga sebuah upaya untuk berbicara kepada publik bahwa kekuasaan sertifikasi halal saat ini sudah tidak lagi dipegang oleh ormas, melainkan oleh pemerintah. 

Label halal versi Kemenag sepertinya bisa kita maknai sebagai simbol politik. Rozann Rothman dalam tulisannya Political Symbolism, menjelaskan bahwa pemerintah merupakan aktor utama yang paling berperan dalam membentuk persepsi masyarakat, dan salah satu caranya adalah dengan simbol politik. Suatu simbol politik, menurut Rothman, berfungsi sebagai kendaraan komunikasi, sekaligus sebagai sarana untuk memperkuat kohesi kelompok. 

Dari sini, bisa kita artikan label halal yang baru tidak hanya menjadi bukti bahwa kewenangan sertifikasi halal telah berpindah, tetapi juga menjadi alat politik pemerintah untuk menyatakan bahwa logo ini seharusnya menyatukan kegundahan tentang siapa yang berwenang memberi label halal, karena itu merupakan hasil perundingan bersama antara Kemenag, MUI, dan beberapa pihak terkait lainnya. 

Namun, dari fenomena yang muncul, kita bisa melihat sendiri pihak MUI tampak masih mempermasalahkan label baru tersebut. Kalau kita mengacu pada konsep dramaturgi dari sosiolog Erving Goffman, kita bisa memahami bahwa dramatisasi suatu isu politik yang dipertontonkan di panggung publik (frontstage) bisa jadi merupakan indikasi dari adanya ketidak sepahaman para pemegang kepentingan di panggung belakang (backstage). 

Sepertinya bisa kita yakini bersama bahwa interaksi politik sebagian besar terjadi di belakang layar, bukan terang-terangan kepada wartawan. Seorang politisi berkoar di publik hanya jika perundingan di backstage sudah mencapai kesepahaman atau justru tidak berjalan dengan semestinya. Karena itu, untuk mendapatkan perhatian sang lawan bicara, pihak yang melempar kritik pedas bisa dimaknai sesungguhnya telah melempar gertakan agar negosiasi bisa dijalankan kembali. 

Melihat sifat persoalan sertifikasi halal yang diselimuti unsur ekonomi dan politik, tidak heran bila suatu kesepahaman sulit tercapai, karena semua orang yang terlibat pasti memperjuangkan kepentingannya dengan kuat.  

Well, bagaimanapun akhirnya, MUI dan Kemenag harus menyadari bahwa perseteruan mengenai sertifikasi halal tidak boleh mempersulit proses transisi kewenangan yang berlanjut lama, dan tidak selesai. Karena di balik politik perpindahan kewenangan tersebut, terdapat sejumlah aspirasi bisnis dari para pelaku usaha kecil yang hanya ingin usahanya bisa dijalankan dengan lancar dan sesuai aturan agama. (D74) 

Exit mobile version