Site icon PinterPolitik.com

“Kurang NU”, Risma Mustahil Jatim-1?

risma khofifah

Khofifah Indar Parawansa dan Tri Rismaharini. (Foto: ANTARA)

Nama Tri Rismaharini menempel ketat sang petahana Khofifah Indar Parawansa dalam survei calon gubernur (cagub) Jawa Timur (Jatim) 2024. Namun, Risma yang kurang merepresentasikan kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dibanding Khofifah Indar Parawansa, misalnya, diprediksi sulit untuk menjadi Jatim-1 karena pengaruh sosio-politiknya yang signifikan di Jatim. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com 

Nama mantan Wali Kota Surabaya periode 2010 hingga 2020 yang kini menjabat sebagai Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini masuk dalam bursa kandiat calon gubernur (cagub) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur (Jatim) 2024 mendatang. 

Keberhasilan saat menjadi Wali Kota Surabaya tampaknya menjadi salah satu faktor dipilihnya nama Risma dalam bursa kandidat cagub Jatim 2024. 

Dalam hasil survei Indopol Survey & Consulting contohnya, Risma bersaing ketat dengan sang petahana Khofifah Indar Parawansa yang berada di posisi pertama dengan 30,8 persen suara. Risma sendiri berada di posisi kedua dengan 28,8 persen suara. 

Dengan melihat pemetaan pemilih di Jatim, warga Nahdliyin adalah salah satu basis massa terbesar. Warga Nahdliyin sendiri adalah sebutan bagi warga atau masyarakat yang berorientasi ke Nahdlatul Ulama (NU) dan mengamalkan apa yang menjadi amaliyah dari organisasi tersebut. 

Melihat fenomena itu, Risma diprediksi harus bekerja keras dalam meraup suara pemilih jika ingin menjadi Jatim-1. Sementara itu, Khofifah yang merupakan tokoh yang merupakan aktivis perempuan kalangan Nahdliyin jamak dinilai akan lebih diuntungkan. 

Hal tersebut dikarenakan pengaruh NU di Jatim masih sangat kuat untuk menentukan arah suara para pemilih dalam beberapa pilkada terakhir. 

Meskipun begitu, bukan berarti tidak ada kesempatan bagi Risma untuk menjadi Jatim-1. Perlu diketahui, partai politik (parpol) tempat Risma bernaung saat ini, yakni PDIP adalah parpol dengan perolehan kursi DPRD Jatim terbanyak dengan jumlah 27 kursi pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 lalu. 

Ini artinya, jika PDIP benar-benar ingin mengusung Risma sebagai cagub dalam Pilkada Jatim 2024 nanti, maka kesuksesan pada Pileg 2019 lalu harus diulangi oleh partai berlambang banteng tersebut. 

Namun, pertanyaannya, meskipun bukan organisasi politik, mengapa pengaruh NU dalam mempengaruhi arah suara para pemilih di Pilkada Jatim diangap masih cukup kuat? Dan, apakah NU dapat menjadi penentu kemenangan dalam Pilkada Jatim 2024? 

Hegemoni NU? 

Secara kasat mata, pengaruh yang cukup signifikan NU dalam aspek sosio-politik di tingkat Provinsi Jatim rasanya sudah tidak perlu diragukan lagi. 

Pengaruh sosio-politik itu muncul karena Provinsi Jatim merupakan daerah tempat lahir dan besarnya NU. Oleh karena itu, Jatim adalah daerah dengan basis massa NU atau kaum Nahdliyin terkuat. 

Fenomena ini juga bisa dilihat sebagai bentuk hegemoni NU di Jatim. Antonio Gramsci dalam bukunya Prison Notebooks menjelaskan teori hegemoni adalah suatu organisasi konsensus yang merupakan hubungan persetujuan dengan mempertimbangkan kepemimpinan dalam bentuk politik dan ideologis. 

Teori ini dibangun atas premis yang menyatakan pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik dalam kontrol sosial politik. Dengan kata lain, hegemoni dapat diartikan menguasai dengan kepemimpinan moral dan intelektual. 

Salah satu faktor hegemoni NU di Jatim bisa di lihat dari kandidat yang akan maju dalam kontestasi politik nyaris selalu membawa “embel-embel” NU dalam dirinya. 

Hegemoni NU di Jatim seolah membuat timbulnya persepsi yang menyatakan jika karisma NU harus melekat pada seseorang yang ingin meniti karier di puncak kekuasaan, seperti bupati, wali kota, atau bahkan ketika mencalonkan diri sebagai calon gubernur di Jatim. 

Dengan begitu, kaum Nahdliyin yang merupakan basis massa yang besar dan kuat di Jatim akan merasa bahwa kandidat tersebut sebagai saluran aspirasi yang mereka anggap paling representatif. 

Jika ditelaah lebih dalam, faktor lain yang mendasari kuatnya hegemoni NU di Jatim kiranya terkait restu atau dukungan para kiai dan ulama NU terhadap calon tersebut. 

Michael Maccoby dalam tulisannya yang berjudul Why People Follow The Leader: The Power of Transference menyiratkan restu atau dukungan para kiai dan ulama akan bertransformasi menjadi dukungan elektoral terhadap calon tersebut. 

Maccoby menjelaskan hal itu terjadi karena budaya para santri di daerah memiliki sifat patuh terhadap para kiai dan ulama panutannya yang akan mempengaruhi alam bawah sadar mereka. 

Selain itu, dukungan kiai dan ulama juga akan turut memengaruhi kelompok masyarakat yang menaruh penghormatan pada mereka. Hal itu terjadi karena kelompok masyarakat itu memiliki tendensi “kepatuhan politik” yang serupa dengan para santri. 

Kiai dan ulama adalah tokoh yang sangat dihormati secara moral dan intelektual oleh para santri dan pengikutnya. Dengan relasi emosional itu, para kiai dan ulama NU di Jatim dapat memiliki akses dan kontrol akan aspek sosio-politik para pengikut mereka. 

Para aktor politik kemudian melihat peluang para kiai dan ulama tersebut dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam konteks elektoral jika sang ulama dan kiai tersebut mau mendukung atau hanya sekadar memberi restu pada kandidat tersebut.  

Maka, tak mengherankan jika para kandidat yang akan maju dalam kontestasi politik terlihat akan berbondong-bondong meminta restu kepada para kiai dan ulama NU, serta membuat citra mereka dekat atau bahkan berasal dari kaum Nahdliyin. 

Mengacu pada interpretasi itu, meskipun bukan sebuah organisasi politik, pola interaksi NU dengan dimensi sosio-politik dan electoral membuat mereka kemudian menjadi sangat berpegaruh di Jatim. 

Lalu, dengan hegemoni NU di Jatim itu, apakah PDIP yang merupakan petahana di level DPRD bisa membuat Risma maju dalam Pilgub di 2024? Serta, mampukah Risma yang bukan merupakan kandidat dari kalangan NU dapat membawa PDIP merebut Jatim di level Pilgub? 

Risma Butuh Kerja Ekstra? 

Melihat pengaruh NU yang begitu besar terhadap aspek sosio-politik di Jatim membuat parpol lain yang ingin mencalonkan kandidat yang bukan berasal atau terkait dengan NU membutuhkan kerja keras. 

Salah satu parpol tersebut disinyalir adalah PDIP. Partai besutan Megawati Soekarnoputri itu tampaknya akan mencalonkan Tri Rismaharini yang dianggap sukses saat menjadi Wali Kota Surabaya. 

PDIP yang merupakan petahana di level DPRD masih optimis hasil Pileg 2024 nanti membuat mereka dapat mencalonkan kandidat sendiri yang kemudian jamak dinilai sinyal kandidat cagubnya mengarah ke Risma. 

Namun, yang perlu diingat oleh PDIP adalah kesuksesan Risma di Surabaya didukung para pemilih Kota Pahlawan yang merupakan masyarakat perkotaan yang dianggap sedikit memiliki kedewasaan politik lebih baik dibandingkan dengan daerah lain di Jatim. 

Ulla Fiona dalam publikasi yang berjudul Investigating the Popularity of Surabaya’s Mayor Tri Rismaharini menjelaskan kesuksesan Risma di Surabaya menunjukkan kombinasi yang efektif antara pemilih yang paham politik dan pemimpin lokal yang berani dengan fokus yang jelas dan berkelanjutan dalam implementasi kebijakannya. 

Ini menandakan pemilih yang dewasa tidak hanya menyadari kebutuhan mereka dan apa yang dilakukan pemerintah, tetapi juga mampu mendorong para pemimpin mereka untuk mengembangkan kebijakan. 

Sedangkan di daerah lain di Jatim, kembali, pengaruh kiai dan ulama NU yang dinilai lebih konservatif tampaknya akan menjadi ganjalan Risma untuk maju dalam Pilgub Jatim 2024 nanti. 

Ditambah lagi, citra Risma saat menjadi Wali Kota Surabaya yang suka marah-marah tampaknya menjadi pertimbangan dukungan dari para kiai dan ulama NU. 

Filosofi NU ahlussunnah wal jamaah yang berarti mengutamakan persatuan umat dan perdamaian dinilai tidak cocok dengan gaya kepemimpinan Risma yang suka marah-marah dan dianggap berpotensi memecah belah. 

Melihat fenomena ini, “mesin partai” PDIP di daerah Jatim yang lain kiranya harus bekerja ekstra keras untuk meyakinkan pimpinan NU atau bahkan kiai dan ulama untuk mendukung Risma maju menjadi Jatim-1. Termasuk ketika bersaing memperebutkan dukungan itu dengan Khofifah. 

Kendati demikian, keberhasilan Risma membenahi birokrasi dan tata kota selama di Surabaya kiranya dapat menjadi senjata bagi aktor di balik layar PDIP di daerah lain di Jatim untuk meyakinkan para tokoh NU ataupun kaum Nahdliyin. Klaim sebagai cucu salah satu pendiri ormas Islam terbesar Indonesia itu pun mungkin saja dimainkan Risma untuk menutup celah kesan “kurang NU”.

Menarik untuk ditunggu apakah proyeksi pencalonan Risma dapat merebut simpati dari para tokoh NU Jatim dan kaum Nahdliyin untuk maju dan memenangkan Pilgub Jatim 2024 nanti. (S83) 

Exit mobile version