Salah satu kritik Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP) yakni terkait adanya pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi jurnalis dan mempersempit kebebasan pers. Lantas, akankah kebijakan tersebut menjadikan Indonesia serupa dengan pembatasan informasi pers di Tiongkok?
Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi Undang-Undang (UU) menuai berbagai kontroversi dari berbagai golongan masyarakat. Salah satu permasalahan yang tampaknya menjadi perdebatan yakni terkait pasal yang berpotensi mengkriminalisasi kerja jurnalistik dan melanggar kebebasan pers.
Dewan Pers berpendapat bahwa pasal tersebut minim akan partisipasi dan cenderung mengabaikan masukan masyarakat, terutama komunitas pers.
Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Arif Zulkifli menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut bersifat krusial dan dianggap sebagai ancaman bagi pers dan wartawan.
Dirinya juga menilai bahwa UU KUHP yang baru saja disahkan akan mengancam kehidupan berdemokrasi dan dapat dianggap sebagai upaya pembungkaman.
Terlebih, pers dapat dianggap sebagai suatu media untuk memenuhi hak masyarakat atas penyebaran informasi dan mengkritik pemerintah. Oleh karena itu, pers merupakan salah satu instrumen utama dalam mempertahankan nilai-nilai demokrasi.
Kekhawatiran bahkan bukan hanya dinyatakan oleh Dewan Pers, melainkan juga dinyatakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Menurut pernyataan PBB KUHP berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik dan melanggar kebebasan pers. Keduanya masuk dalam ranah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dari segi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Kebijakan ini kemudian memicu munculnya pertanyaan, mengapa pemerintah seolah-olah berniat ‘memantapkan’ kekuasaan dalam ranah penyebaran informasi?
Kendalikan Informasi?
Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai permasalahan KUHP dari segi kebebasan, pers, dan berekspresi setidaknya fokus pada 17 pasal antara lain sebagai berikut:
- Pasal 188 tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
- Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 terkait tindak pidana terhadap penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden
- Pasal 240 dan Pasal 241 terkait tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah.
- Pasal 263 terkait tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.
- Pasal 264 terkait tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.
- Pasal 280 terkait gangguan dan penyesatan proses peradilan.
- Pasal 300, Pasal 301 dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.
- Pasal 436 terkait tindak pidana penghinaan ringan.
- Pasal 433 terkait tindak pidana pencemaran.
- Pasal 439 terkait tindak pidana pencemaran orang mati.
- Pasal 594 dan Pasal 595 terkait tindak pidana penerbitan dan pencetakan.
Kebijakan lahir dari suatu masalah publik. Nyatanya, media massa pun memiliki permasalahan terkait kepercayaan publik. Menurut tulisan Dampak Praktik Konglomerasi Media Terhadap Pencapaian Konsolidasi Demokrasi di Indonesia yang ditulis oleh Anggia Valerisha, pemberitaan seringkali cenderung membingkai suatu isu untuk menciptakan kesan bombastis.
Hal itu dituju untuk meraup rating dan klik dengan jumlah yang besar sehingga timbul konsekuensi terhadap penurunan kualitas berita. Adapun, faktor cepatnya penyebaran informasi menuntut jurnalis untuk mengejar berita yang memiliki nilai newsworthy yang bisa dijual.
Selain itu, Tom Nichols dalam bukunya yang berjudul The Death of Expertise menyatakan lebih lanjut terkait faktor penurunan kualitas berita saat ini yakni akibat adanya transformasi bentuk berita seiring dengan munculnya gelombang internet dan komunikasi digital sehingga mampu melahirkan media massa dalam jumlah yang banyak.
Kuantitas tersebut justru mampu mendorong isu untuk membatasi kebebasan berpendapat, namun uniknya mampu menjaga kualitas berita itu sendiri sehingga mereka mampu berpikir dua kali untuk memberitakan suatu berita.
Di titik ini, ketika media massa yang hadir sudah begitu banyak, persaingan utamanya hanya mengacu pada seberapa besar rating dan klik, bukan kepada kualitas berita maupun investigasi.
Adapun media massa saat ini seringkali digunakan untuk menjadi media yang mengutamakan keberpihakan terhadap satu pihak, terutama jelang pemilihan umum (pemilu).
Hal ini dipicu oleh jeratan ketidakjelasan model bisnis yang mengharuskan media massa untuk mengandalkan investor dan iklan melalui rating dan klik yang sebanyak mungkin.
Pada akhirnya, faktor kesulitan pendanaan terhadap media massa mampu menodai independensi yang akan berdampak pada penurunan kualitas berita serta kepercayaan publik.
Narasi ini kemudian melahirkan pertanyaan baru yang menuai pro dan kontra di masyarakat terkait pembatasan media atau menjadikan negara sebagai lembaga penjamin pendanaan media.
Tentunya, kedua opsi tersebut rawan akan pendapat pro dan kontra. Lantas, perlukah media massa dan informasi dibatasi?
Perlukah Pembatasan?
Pembatasan akan media massa dan informasi agaknya masih dinilai sangat berisiko untuk diimplementasikan saat ini mengingat banyaknya berbagai golongan masyarakat yang menentang pemberlakuan KUHP, termasuk kritik terhadap pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Pada titik ini, masyarakat dinilai masih memegang keniscayaan terhadap nilai-nilai positif demokrasi, bukan mengarah kepada sistem keteraturan yang seringkali dikait-kaitkan dengan sistem otoriter.
Persetujuan masyarakat akan berdampak pada keberhasilan kebijakan yang hendak diimplementasikan oleh pemerintah. Menurut Pengamat Politik Duke University Michael Munger dalam artikelnya yang berjudul Democracy is a Means, Not an End kebebasan berekspresi dianggap sebagai salah satu faktor penting demokrasi, meskipun demokrasi sesungguhnya tidak hanya tentang kebebasan berpendapat belaka.
Munger menekankan bahwa demokrasi memiliki “kiblat” untuk menciptakan cara untuk mewujudkan pemerintahan yang sistematis dan terstruktur sehingga suara rakyat menjadi suatu instrumen dalam menciptakan wawasan dan persetujuan akan suatu kebijakan.
Jika demokrasi tidak berjalan sesuai dengan kemauan masyarakat dan maraknya prinsip populisme, maka akan berdampak pada indikator kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi.
Fenomena itu dapat dilihat dari hasil survei tingkat kepercayaan publik pada sistem demokrasi Indonesia yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia (IPI) dimana demokrasi Indonesia dinilai sangat tinggi, yakni sebesar 77,2 persen pada Februari 2022.
Di samping itu, pada Januari 2022 tingkat kepercayaan hanya sebesar 73,5 persen sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan kepercayaan publik terhadap demokrasi Indonesia.
Namun, angka tersebut memiliki sebuah catatan penting dimana menurut hasil jajak suara IPI, terdapat 64,9 persen responden yang mengaku takut untuk menyuarakan pendapatnya.
Tentunya, angka tersebut bisa jadi merupakan “produk” dari munculnya upaya-upaya pemerintah yang secara terstruktur dan sistematis membungkam masyarakat, misalnya saja dari adanya narasi pembungkaman aspirasi masyarakat dari kasus mural pada tahun 2021 serta polemik UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Fenomena demikian agaknya terlihat familiar dengan negara-negara yang disebut-sebut terapkan sistem otoriter yang terstruktur dan sistematis dalam mengelola penyebaran informasi. Salah satunya yakni Tiongkok. Lantas, apakah Indonesia akan serupa dengan Tiongkok?
Serupa Tiongkok?
Tiongkok merupakan salah satu negara yang menerapkan sistem yang ketat terhadap penyebaran informasi oleh pemerintah.
Pada laporan yang dirilis oleh organisasi Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) yang berbasis di New York setidaknya hingga Desember 2021 terdapat sebanyak 50 jurnalis yang dipenjara karena hasil reportase mereka.
Angka tersebut menjadikan Tiongkok sebagai negara dengan peringkat teratas dalam daftar negara yang memenjarakan para jurnalis selama tiga tahun berturut-turut.
Tiongkok bahkan dijuluki sebagai penjara jurnalis dan blogger terbesar di dunia oleh organisasi Reporters Sans Frontières (RSF).
Salah satu jurnalis yang dipenjara akibat reportasenya yakni Jimmy La, seorang pendiri surat kabar pro demokrasi di Hong Kong bernama Apple Daily dan Zhang Zhan, seorang jurnalis media tertentu, berada di urutan pertama.
Zhang dikabarkan telah dipenjara sejak Mei 2020 akibat reportasenya yang membahas pandemi di Wuhan melalui kanal YouTube.
Kriminalisasi jurnalis yang terjadi di Tiongkok tidak terjadi akibat adanya aturan terkait penyebaran informasi belaka, melainkan tidak terlepas dari penerapan sistem otoriter.
Gambaran tersebut sekilas mengingatkan pada aturan-aturan lain di KUHP yang mengancam HAM masyarakat dan seringkali dinilai condong kepada sistem otoriter.
Membayangkan skenario paling radikal, jika Indonesia melangkah menjadi negara ‘otoriter’ secara de facto dengan kepercayaan bahwa kebijakan di masa lalu bisa jadi efektif pada waktu yang berbeda, narasi sistem otoriter yang agaknya menjadi konten utama dalam KUHP — yang tentunya selaras pula dengan prinsip populisme demi stabilitas politik — bisa jadi membuat Indonesia serupa dengan Tiongkok. (Z81)