Gatot Nurmantyo mengaku sempat ditawari untuk mengambil alih Partai Demokrat, namun menolak karena menghormati jasa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam karier militernya. Akan tetapi, bertolak dari manuver politik Gatot selama ini, apakah mungkin penolakan itu hanyalah perkara moral semata?
“But (Gatot) Nurmantyo is one of a kind. Not since the birth of the democratic era has an Indonesian military commander so blatantly displayed his political ambitions while still in office.” – John McBeth, dalam Military Ambitions Shake Indonesia’s Politics
Pada 4 Juni 2018, Gatot Nurmantyo mengunggah foto sedang mencium tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Twitter pribadinya. Yang lebih menarik adalah caption yang dibubuhkan oleh mantan Panglima TNI tersebut.
Tulisnya, “Saya ini prajurit, lahir dari keluarga prajurit, dan kini, saya pensiun setelah melengkapi bakti saya pada negara. Orang yang saya cium tangannya ini sudah seperti orang tua saya, Pak @SBYudhoyono memimpin bangsa ini 10 tahun sebagai Presiden.”
Cuitan Gatot pada medio 2018 tampaknya bukan bualan semata. Saat ini, di tengah kisruh Partai Demokrat, Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ini memberikan pengakuan menarik.
Tegasnya, Ia sempat ditawari untuk mengambil alih tampuk kepemimpinan Partai Demokrat dari Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), namun menolak karena menghormati jasa-jasa SBY dalam karier militernya. Faktanya, jabatan Gatot sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) dan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) memang atas restu dari Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat tersebut.
Selain itu, kedekatan Gatot dengan partai mercedes juga terlihat pada medio 2018 ketika Ia intens menjalin hubungan dengan Partai Demokrat guna menjajaki peluang diusung di Pilpres 2019. Pun begitu pada Maret 2020, di mana Gatot juga disebut masuk dalam bursa calon pengganti SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Tidak heran kemudian di awal Februari, ketika isu kudeta dihembuskan oleh AHY, Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia’s Democratic Policy, Satyo Purwanto memberikan usulan agar AHY menggandeng Gatot masuk ke Partai Demokrat untuk membantunya mengonsolidasi internal partai. Terlebih lagi, selaku sama-sama mantan Panglima TNI, Gatot adalah saingan Moeldoko di kalangan mantan tentara.
Baca Juga: Tidak Tepat AHY Gandeng Gatot?
Akan tetapi, mengacu pada manuver politik Gatot selama ini, serta gestur syahwat kekuasaannya, mungkinkah penolakan Gatot atas tawaran mengambil alih Partai Demokrat bukanlah persoalan moral semata?
Patut Dipertanyakan?
Di titik ini, kita dapat menarik dua kesimpulan terhadap pernyataan Gatot. Pertama, Ia memang menolak tawaran itu karena secara ksatria menghormati SBY. Kedua, ada kemungkinan pernyataan terbukanya adalah half-truth atau setengah kebenaran.
Pada kesimpulan pertama, sekiranya tidak ada hal lagi yang perlu dibahas. Namun, ceritanya berbeda apabila Gatot tengah memainkan half-truth. Alfred North Whitehead dan Lucien Price dalam buku Dialogues of Alfred North Whitehead memberikan penegasan menarik terkait klaim atas kebenaran.
Menurut Whitehead, semua kebenaran yang kita ekspresikan sering kali merupakan half-truth. Uniknya, Whitehead menggunakan diksi devil (setan) karena menilai half-truth selalu mengintai pikiran manusia.
Terkhusus dalam konteks politik, William Safire dalam bukunya The New Language of Politics: An Anecdotal Dictionary of Catchwords, Slogans, and Political Usage mendefinisikan half-truth sebagai pernyataan atau klaim parsial yang semakin lama dengan penjelasannya, semakin besar kemungkinan reaksi publik untuk menerimanya.
Di tengah realitas politik ataupun realitas sosial secara umum, persoalan half-truth ini dapat disebut sebagai bayesian game atau games of incomplete information. Ini adalah salah satu game theory (teori permainan) yang menjelaskan kondisi ketika setiap aktor yang terlibat di dalamnya tidak memiliki informasi yang lengkap terkait aktor lainnya.
Mengacu pada lumrahnya half-truth dalam politik, pernyataan Gatot yang membawa narasi moral atas penolakannya untuk menggeser kekuasaan AHY patut pula dipertanyakan. Ini tentu bukan perkara postulat teori, melainkan juga terkait variabel-variabel yang ada, khususnya gestur syahwat kekuasaan yang ditunjukkan Gatot selama ini.
Baca Juga: Penangkapan KAMI, Ujian bagi Gatot?
John McBeth dalam tulisannya Military Ambitions Shake Indonesia’s Politics memberikan penjelasan penting. Menurutnya, Gatot adalah satu-satunya Panglima TNI setelah reformasi yang secara terang-terangan menunjukkan ambisi politiknya saat masih menjabat. Secara spesifik, McBeth juga menyebut Gatot secara terbuka mendekati kelompok-kelompok agama dengan harapan meningkatkan keterpilihannya.
Menariknya, McBeth juga membandingkan Gatot dengan Moeldoko. Indonesianis asal Selandia Baru ini juga melihat Moeldoko memiliki ambisi yang sama sebelum Kepala Staf Kepresidenan (KSP) itu pensiun pada Juli 2015.
Selain faktor syahwat kekuasaan yang sudah terlihat sejak masih menjabat sebagai Panglima TNI, Gatot juga terlihat menempatkan dirinya sebagai tokoh oposisi, seperti bergabung dengan KAMI, dan kerap memainkan isu PKI untuk menarik perhatian.
Pengelolaan Isu Organik
Dalam tulisannya, McBeth melampirkan pernyataan dari analis militer Barat terkait Gatot yang tampaknya menjadi jawaban mengapa Gatot kerap memainkan isu PKI.
“He doesn’t have much in the way of personal charisma and he doesn’t have much political acumen,” atau “Dia (Gatot) tidak memiliki karisma personal dan kecerdasan politik yang besar.”
Jika analisis tersebut tepat, maka mudah memahami mengapa Gatot kerap memainkan isu PKI. Itu karena Gatot tidak memiliki kecakapan dalam memainkan dan membuat narasi. Oleh karenanya, Gatot memilih untuk memainkan isu yang telah ada dan mudah mendapat atensi publik, yakni isu PKI.
Dalam manajemen isu, terdapat dua kategori. Pertama, menciptakan isu baru untuk dimainkan. Kedua, mengapitalisasi isu yang telah ada untuk dimainkan. Terkhusus yang kedua, ini disebut sebagai pengelolaan isu organik.
Kategorisasi itu juga terlihat dari analisis pakar isu militer dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi yang membandingkan manajemen isu antara pemerintahan SBY dengan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Fahmi, berbeda dengan pemerintahan SBY yang lebih memainkan isu organik, pemerintahan Jokowi justru dinilai kerap membuat isu-isu baru.
Kembali pada Gatot, dengan kudeta Partai Demokrat yang saat ini menjadi headline pemberitaan dan top of mind masyarakat, Gatot tampaknya mendapatkan durian runtuh karena Ia memiliki kesempatan emas untuk memainkan isu organik.
Mengacu pada asumsi Gatot tengah melakukan half-truth, ada kemungkinan Gatot sedang bermain peran sebagai ksatria dengan menunjukkan dirinya menolak tawaran tersebut dengan alasan moral. Padahal, ada kemungkinan lain yang dapat menjadi alasan Gatot untuk menolak.
Bertolak dari “menghilangnya” Gatot setelah suara KAMI diredupkan dan Front Pembela Islam (FPI) dibubarkan, ada kemungkinan Gatot tidak memiliki keberanian yang cukup untuk menerima tawaran tersebut.
Baca Juga: Tenggelam, Bendera Putih Gatot Nurmantyo?
Nah, karena kebetulan menolak, sekarang Gatot memiliki rasionalisasi mumpuni untuk memainkan peran ksatria, mengeratkan hubungan dengan Partai Demokrat, serta menampilkan diri sebagai tokoh oposisi yang berkarakter kuat.
Dan yang lebih menarik adalah, mengapa Gatot baru bersuara secara terbuka baru-baru ini. Mengapa Ia tidak berkomentar sejak awal Februari? Keanehan ini yang membuat beberapa pihak memiliki dugaan bahwa Gatot tengah menunggu momentum untuk bermain.
Akan tetapi, seperti yang pernah ditegaskan, sekelumit penjelasan terkait Gatot tengah bermain peran sebagai ksatria hanya dapat valid apabila Gatot sedang melakukan half-truth. Jika Gatot benar-benar secara tulus menolak tawaran tersebut, tulisan ini akan gugur dengan sendirinya. (R53)