Site icon PinterPolitik.com

Kudatuli, Jenderal ABRI, dan Megawati

andika puan

Jenderal TNI Andika Perkasa dan Puan Maharani (Foto: sumselpost)

Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) agaknya hanya menjadi salah satu jawaban mengapa Megawati Soekarnoputri dan PDIP bisa begitu kuat. Intrik penunjukkan Soedharmono sebagai Wakil Presiden (Wapres) dan perseteruan ABRI vs Soeharto agaknya juga memiliki keterkaitan. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Presiden ke-2 RI Soeharto disebut tidak senang dengan terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada Desember 1993 karena menjadi sosok vokal nan kritis terhadap pemerintah Orde Baru (Orba).

Skenario kemudian dibuat untuk menaikkan kembali Soerjadi sebagai Ketum PDI lewat Kongres di Medan. Aktualisasi skenario itu terwujud saat massa pendukung Soerjadi menyerang markas PDI di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang diduduki kubu Megawati pada 27 Juli 1996, atau jatuh tepat pada hari ini, 26 tahun silam.

Di akhir cerita, Megawati berhasil didongkel melalui peristiwa yang dikenal sebagai Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) tersebut.

Namun, putri kedua Soekarno itu tak patah arang dengan mendirikan PDI-Perjuangan (PDIP) dan secara fantastis berhasil meraih lebih dari 35,6 juta dukungan rakyat atau 33,12 persen suara di Pemilihan Umum (Pemilu) 1999. Itu adalah perolehan suara terbesar PDIP sejauh ini.

Sejak saat itu, Megawati bersama PDIP bertransformasi menjadi kekuatan prominen yang secara konsisten berada di jajaran elite dalam blantika serta pasang surut politik nasional.

Konsistensi PDIP sendiri bahkan terus terjaga hingga kini, termasuk dalam proyeksi di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang. Partai berlambang banteng selalu kokoh di puncak dalam sejumlah survei keterpilihan partai politik (parpol).

Terbaru, Lembaga Suara Politik Publik (SPP) merilis hasil survei terkait pilihan publik atas parpol pada Minggu, 24 Juli kemarin. Hasilnya, PDIP menjadi partai dengan elektabilitas tertinggi dan hanya bisa disaingi oleh Gerindra di urutan kedua. Itupun disebut akibat efek sosok Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres) terfavorit di pesta demokrasi 2024.

Senada dengan SPP, hasil survei dari Politika Research & Consulting (PRC) juga menunjukkan hal yang sama. Jajak pendapat yang dilakukan pada 12 Juni hingga 3 Juli 2022 lalu menasbihkan PDIP sebagai pemuncak sementara elektabilitas parpol dengan torehan 18,2 persen.

Belum cukup? Survei Litbang Kompas pada Juni lalu juga bermuara pada hasil identik. Elektabilitas sebesar 22,8 persen membuat PDIP bertengger di posisi nomor wahid dan tak tertandingi oleh Partai Gerindra yang hanya meraup 12,5 persen suara.

Hasil tersebut kiranya cukup menarik mengingat PDIP sebagai partai penguasa diiringi bermacam isu minor. Sebut saja kasus rasuah bantuan sosial (bansos) yang menyeret kadernya Juliari Batubara saat menjabat sebagai Menteri Sosial (Mensos).

Tak ketinggalan mengenai raibnya Harun Masiku dalam kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024. Ditambah, kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai kader PDIP dengan posisi tertinggi dalam pemerintahan yang kerap dinilai kurang memuaskan dalam sejumlah kebijakan.

Lantas, hal itu menyisakan satu pertanyaan sederhana namun kiranya sangat menarik, yakni mengapa PDIP bisa se-begitu kuat?

Dampak Kudatuli?

Reputasi dan torehan historis peristiwa Kudatuli dan dinamika setelahnya, tampak menjadi poin pertama yang dapat menjawab asal-muasal konsistensi kekuatan PDIP.

Dalam teori solidaritas sosial yang diperkenalkan sosiolog Prancis Émile Durkheim, peristiwa Kudatuli dapat dimaknai sebagai pengalaman emosional bersama yang berasal dari keyakinan yang dianut oleh setiap individu loyalis PDI kubu Megawati.

Karakteristik “kritis” yang cukup langka di era Orba, membuat daya tarik PDI dibawah kepemimpinan Megawati cukup tinggi dan siapapun yang terlibat di dalamnya kemudian merasa terwakilkan.

Meski sempat ditaklukkan melalui peristiwa Kudatuli, kemenangan Megawati bersama PDIP setelah Soeharto tumbang kemudian membentuk semacam identitas sosial kuat, yakni mereka menjadi kubu yang berhasil meraih kejayaan setelah melewati pahitnya represi politik penguasa.

Menariknya, parpol-parpol lain tidak memiliki identitas seperti itu. Ihwal yang memunculkan presumsi bahwa menjadi bagian dari PDIP adalah identitas yang melahirkan kebanggaan tersendiri.

Karakteristik itu lantas menjawab mengapa PDIP konsisten menjadi parpol tangguh yang berkaitan dengan akar rumput (grass root) serta simpatisannya yang kuat.

Ya, akar rumput tampaknya menjadi penyokong utama kekuatan Megawati dan PDIP secara kelembagaan. Dalam Political Order in Changing Societies, Samuel Huntington mengemukakan definisi pelembagaan sebagai sebuah proses, di mana organisasi secara berangsur-angsur menetapkan prosedur untuk mencapai visi dan stabilitas.

Kunci dari pelembagaan itu disebut berasal dari kesepahaman di antara individu dalam menyokong keberhasilan organisasi.

Seolah menawarkan diri sebagai antitesis Soeharto secara tidak langsung sejak era PDI, Megawati didukung oleh disiplin kader yang sangat militan. Sekali lagi, itu terbukti dari keteguhan kader dan simpatisan saat dan setelah pecahnya peristiwa Kudatuli.

Adanya simbol partai yang diasosiasikan secara empiris via ketokohan Megawati sebagai “titisan” Soekarno, turut membuat persatuan PDI dan PDIP seolah memiliki relevansi untuk diperjuangkan oleh para kader dan simpatisan.

Shahla Haeri dalam buku berjudul Unforgettable Queens of Islam yang diterbitkan Cambridge University Press, membahas ketokohan Megawati dalam satu bab khusus mengenai progres kekuasaan dan posisi politiknya.

Haeri menyebut Megawati bagaikan limbuk dalam pewayangan. Sesosok karakter yang ceplas-ceplos, berdaya nalar kurang, namun bisa menjadi jalan penghubung ke banyak pihak.

Seiring waktu, sosok limbuk itu kemudian disebutnya bertransformasi menjadi seorang ratu yang begitu penting dalam menentukan arah perpolitikan di Indonesia.

Kuatnya Megawati sebagai simbol, plus peristiwa Kudatuli sebagai pengalaman emosional dan membentuk identitas bersama, tampaknya membuat mesin partai PDIP selalu berjalan prima dari waktu ke waktu.

Namun, kebangkitan Megawati kiranya juga dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi di antara militer dan Soeharto saat itu. Mengapa itu bisa terjadi?

Gara-Gara Soedharmono?

Sejumlah jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) secara langsung maupun tidak langsung kiranya berkontribusi memperkuat posisi politik Megawati beserta parpol besutannya.

Awalnya, pada tahun 1987 Megawati dirangkul oleh Ketum PDI Soerjadi untuk menarik massa. Akan tetapi, ketokohan Megawati di mata kader dan simpatisan seketika berhasil menyalip Soerjadi.

Di saat bersamaan, keretakan terjadi di antara ABRI dan Soeharto. Penyebabnya, penunjukan Soedharmono sebagai Wakil Presiden (Wapres) pada tahun 1988 tidak disetujui oleh beberapa petinggi militer karena dianggap hanya merupakan “tentara belakang meja”.

Jenderal Leonardus Benyamin (Benny) Moerdani yang menjabat sebagai Panglima ABRI sampai diberhentikan karena dinilai menjadi aktor prominen dalam intrik itu. Pada konteks berbeda, Benny sendiri sebelumnya sempat mengkritik nepotisme dan korupsi di pemerintahan Pak Harto.

Max Lane dalam Soeharto vs ABRI at MPR menyebut bahwa pangkal persoalannya sesungguhnya disebabkan oleh pergeseran basis kekuatan politik Soeharto dari militer ke konglomerat, termasuk bisnis keluarganya sendiri.

Oleh karena itu, Benny yang telah diberhentikan sebagai Panglima dan menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) bertekad mendongkel Soedharmono dengan menyokong Jenderal Try Sutrisno.

Menurut Lane, itu baru terwujud pada tahun 1993 ketika Fraksi ABRI di parlemen mengusulkan Try yang langsung didukung oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Jenderal Purn. Rudini serta Panglima ABRI teranyar Jenderal Edi Sudrajat, dan langsung disepakati kubu parpol, terutama PDI.

Soeharto yang kala itu merasa tidak dilibatkan dalam penentuan itu merasa gusar, namun pada akhirnya tetap menerima Try sebagai wakilnya.

Meski begitu, tensi ABRI vs Soeharto tetap berlangsung dan tercermin dari sentilan Try saat menyinggung perilaku bisnis keluarga Soeharto pada tahun 1995.

Secara paralel, ketegangan dua poros itu sekilas memiliki benang merah dengan karakteristik kritis Megawati dan PDI terhadap Soeharto.

Bahkan, Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru mengatakan bahwa sebelumnya, sosok jenderal lainnya, yakni A.M. Hendropriyono sebagai Pangdam Jaya kala itu terkesan melakukan “pembiaran” Musyawarah Nasional (Munas) penetapan Megawati sebagai Ketum PDI di Kemang, Jakarta Selatan pada Desember 1993.

Faktor “kebetulan” itu tampaknya membuat posisi politik Megawati tetap atau bahkan semakin kuat seiring melemahnya kekuasaan Soeharto hingga tumbangnya sang Smiling General pada 1998.

Kembali, ditambah dengan kombinasi faktor solidaritas berbasis pengalaman emosional Kudatuli plus ketokohan Megawati, agaknya membuat PDIP menjadi parpol yang begitu kuat setelahnya, sampai saat ini.

Kendati demikian, pertalian sebenarnya antara faksi ABRI anti-Soeharto dengan Megawati dan PDIP masih sebatas interpretasi semata. Namun, esensi dari peristiwa Kudatuli akan terus menjadi variabel penting dalam demokrasi Indonesia, terutama soal eksistensi dan reputasi Megawati. (J61)

Exit mobile version