PKB baru saja menguak fakta bahwa Mendag anyar Muhammad Lutfi merupakan kadernya dari rekrutmen profesional. Lalu, mengapa PKB melakukan klaim tersebut saat ini?
Kisah menarik di balik bongkar pasang Kabinet Indonesia Maju teranyar masih terus mengemuka. Hingar bingar pun ramai menghiasi lini masa, mulai dari diskursus substansial hingga gurauan jenaka.
Untuk diskursus yang berat seperti sosok Menteri Kesehatan (Menkes) yang diperdebatkan harus dokter atau ahli kesehatan hingga kontroversi Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini yang dinilai melampaui regulasi karena dianggap masih bertitel Wali Kota Surabaya.
Sementara olahan jokes dari reshuffle kabinet pun tak luput menghiasi lini masa media sosial. Perdebatan latar belakang Menkes diaduk dan dikomparasikan dengan potret Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani di Istana Negara yang literally berlatar belakang tumbuh-tumbuhan ataupun foto lain yang secara harfiah pernah menjabat (tangan) atau berlatar belakang Kapolri.
Namun pada sketsa berbeda, cerita lainnya juga datang dari Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi. Bukan soal foto friendship goals yang viral dengan Erick Thohir dan Sandiaga Uno, melainkan cerita latar belakang sosok Lutfi yang ternyata adalah seorang kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Impresi klaim dari PKB tersebut terlihat dari unggahan di akun Instagram DPP PKB yang memberikan ucapan selamat bertugas kepada Lutfi, berdampingan dengan ucapan serupa kepada Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas.
Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid mengafirmasi hal tersebut dan menyebut Lutfi merupakan kader partainya dari jalur profesional. Menurutnya, Lutfi merupakan hasil rekrutmen dan kaderisasi yang dilakukan PKB dari berbagai sektor serta profesi.
Baca juga: Cak Imin Ketum PKB Terkuat?
Sementara Ketua DPP PKB Daniel Johan tampak turut menegaskan hal tersebut. Lebih lanjut, Daniel juga menguak fakta bahwa partainya sempat menyodorkan Lutfi untuk menjadi Mendag saat Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf menyusun Kabinet Indonesia Maju pada tahun 2019 lalu.
Klir-nya realita itu praktis menjadikan PKB saat ini memiliki empat kader yang duduk di singgasana menteri di Kabinet Indonesia Maju. Torehan yang serupa dengan apa yang dimiliki PDIP dan Golkar.
Selain nama sohib Erick Thohir dan Sandiaga Uno itu, terdapat Ida Fauziyah yang duduk sebagai Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yaqut Cholil Qoumas yang baru saja dilantik Jokowi sebagai Menag, serta Abdul Halim Iskandar yang menjabat Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal.
Namun pertanyaanya, mengapa ekspos atau klaim Mendag Lutfi sebagai kader PKB dilakukan oleh partai besutan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin saat ini?
Tunjukkan Eskalasi Strata Politik PKB?
Dengan mencuatnya kabar eksistensi empat menteri yang berasal dari PKB bukan tidak mungkin di saat yang sama memang ada yang berusaha ditunjukkan oleh partai politik (parpol) peringkat empat Pileg 2019 lalu itu.
Sejarawan, sosiolog, ahli hukum, dan ekonom politik Jerman Maximilian Karl Emil Weber atau yang beken dengan Max Weber, menghadirkan theory of stratification atau teori stratifikasi, yang juga dikenal dengan Weberian stratification.
Weber mengembangkan pendekatan multidimensi pada stratifikasi atau pengelompokan yang mencerminkan interaksi antara wealth atau kekayaan, prestige atau prestise, dan power atau kekuasaan.
Proses terbentuknya stratifikasi sendiri terjadi melalui dua cara. Pertama, terjadi secara alamiah sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan society atau kelompok masyarakat. Kedua, terjadi secara terencana atau disengaja oleh para aktor serta individu.
Pada konteks PKB, klaim bahwa Mendag Lutfi merupakan kadernya plus di saat yang sama menjadi parpol dengan empat orang menteri di kabinet, bisa saja ada impresi prestise tersendiri yang ingin ditunjukkan bahwa mereka telah berada dalam stratifikasi politik yang berbeda saat ini.
Bersanding sebagai parpol terbanyak penyumbang kader bersama PDIP dan Golkar, PKB agaknya ingin menampilkan bahwa predikat sebagai partai elite di blantika politik nasional telah mereka akuisisi.
Apalagi ketika berbicara interaksinya dengan parpol lain seperti Gerindra, yang mana di awal wacana join dengan pemerintah, PKB melalui Cak Imin sempat terkesan enggan menerima.
Eksistensi PKB pada stratifikasi politik yang lebih tinggi ini juga tampaknya tak lepas dari rekognisi dari Presiden Jokowi. Hal ini dapat terlihat misalnya dari Cak Imin yang memang kerap lebih rajin menyambangi Istana di banding lainnya untuk berkomunikasi dengan kepala negara sebelum sebuah keputusan soal reshuffle dibuat.
Sebelum penunjukan menteri baru, disebutkan terdapat komunikasi tersendiri antara Cak Imin dan Presiden Jokowi sehingga dua kader PKB kemudian mendapat jatah kursi menteri.
Baca juga: Adu Sakti Golkar-PKB Buru MPR
Termasuk salah satunya probabilitas penempatan Menag Yaqut sebagai paket berlatar belakang komplit, yakni PKB, NU, dan GP Ansor, yang juga dinilai beberapa pihak untuk “meredam” FPI yang mungkin dinilai kerap membuat gaduh.
Artinya, momentum saat ini memang cukup tepat bagi PKB untuk memperlihatkan progres dan pencapaian yang telah mereka rengkuh, yang di satu sisi kiranya tak lepas dari determinasi dari sang Ketua Umum (Ketum), Cak Imin.
Cak Imin Ketum Parpol Tergesit?
Peran dari sosok kunci sepertinya tak bisa dipisahkan dibalik impresi PKB yang seolah sudah next level di kancah politik tanah air. Dan ketika berbicara sosok kunci, ada nama Cak Imin yang telah menjabat Ketum PKB sejak 2005.
Selain pencapaian empat kader di posisi menteri, dalam tiga edisi Pileg terakhir Cak Imin selalu berhasil memimpin PKB untuk raise the bar atau meningkatkan persentase perolehan suaranya.
Tanpa mengesampingkan esensi kolektif semua elemen di dalam struktur PKB, peran Cak Imin sebagai faktor kunci dalam kesan naik kelasnya dalam stratifikasi politik partai tak lepas dari aspek kesuksesan mengonsolidasikan wealth, prestige, dan power itu tadi.
Pertama, dari sisi power tercermin dari keberhasilannya mengonsolidasikan ceruk Nahdlatul Ulama (NU). Dalam tulisannya di New Mandala yang berjudul Nahdlatul Ulama and the politics trap, Greg Fealy menyebut bahwa di bawah Cak Imin-lah NU untuk pertama kalinya memberikan dukungan terbuka pada PKB.
Kedua, ialah tercermin dari kesuksesan menggalang aspek wealth yang secara tidak langsung berkontribusi dalam kesehatan finansial partai, serta menjadi “perantara” bagi simbiosis mutualisme dengan NU.
Di bawah Cak Imin, sosok pengusaha kelas kakap seperti Rusdi Kirana, Nur Yasin, termasuk Mendag Lutfi sendiri yang merupakan pendiri Mahaka Group bersama Erick Thohir dan Wishnu Wardhana, berhasil dirangkul untuk berlabuh bersama PKB.
Ketiga, konsolidasi power termasuk pengaruh Cak Imin juga tidak dapat dikesampingkan. Paling tidak di kontestasi elektoral 2019 lalu, Cak Imin seolah menjadi Ketum Parpol yang paling aktif bermanuver.
Selain sempat mempromosikan diri menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres), Cak Imin juga dinilai menjadi salah satu dalang utama naiknya nama Ma’ruf Amin sebagai Cawapres riil Jokowi, sekaligus berkontribusi bagi terdepaknya Mahfud MD sebagai kandidat terkuat saat itu dalam bursa.
Baca juga: PKB Tampol Nasdem, Gerus Jokowi
Dengan kecenderungan itu, Cak Imin dan PKB agaknya unggul dalam konteks political rebranding, baik dalam dinamika politik kontemporer, maupun prospek Pemilu yang akan datang.
Alex Marland dalam Brand New Party mengatakan, parpol secara periodik memang membutuhkan rebranding atau “pengemasan ulang” dalam rangka meningkatkan citra, reputasi, posisi kompetitif, maupun koneksi emosional dengan para pemilih.
Urgensi yang disebutkan Marland itulah kiranya menjadi aspek esensial yang berhasil diartikulasikan, tak hanya oleh PKB, tapi juga Cak Imin secara khusus.
“Ajari” Suya Paloh-Nasdem?
Di atas anginnya Cak Imin dan PKB saat ini tampak kontras dengan mood politik dari parpol lainnya dalam koalisi pemerintah, terutama Partai Nasdem. Melalui salah satu politikusnya, Irma Suryani Chaniago, justru tampak tak puas dengan reshuffle Presiden Jokowi yang memilih Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf).
Menurutnya, penunjukan Sandiaga membuat perjuangan parpol yang tergabung di koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf menjadi percuma.
Namun postulat Irma tampaknya tak berlaku bagi Cak Imin dan PKB. Di saat yang sama, argumen Irma bisa saja dapat diamati sebagai manuver dan komando politik Surya Paloh yang tak se-ciamik dan se-gesit Cak Imin jika dikomparasikan.
Perbandingan yang juga tampak mengindikasikan kontradiksi impresi manuver dan rebranding politik antara Cak Imin-PKB dan Surya Paloh-Nasdem. Yang mungkin saja ke depan akan sangat berpengaruh pada dinamika politik jelang kontestasi elektoral 2024.
Kendati demikian, proses politik ke depan masih begitu cair dan dinamis serta tak menutup kemungkinan bagi intrik maupun “takdir politik” yang dapat memutar balikkan situasi secara signifikan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Baca juga: Bela Anies, Pembelotan Tersirat Nasdem?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.