Site icon PinterPolitik.com

KTT Demokrasi AS, Pemicu Perang?

Presiden AS Joe Biden (Foto: Liputan6.com)

Presiden Joe Biden hendak membuat pertemuan khusus negara-negara demokrasi pada tanggal 9-10 Desember. Tiongkok dan Rusia menilai ini adalah taktik ala Perang Dingin yang bertujuan memecah belah dunia melalui konfrontasi ideologis. Benarkah anggapan tersebut?


PinterPolitik.com

Perseteruan antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) mulai menjadi pertarungan klasik layaknya Real Madrid melawan Barcelona di Liga Spanyol. Bagaimana tidak, sudah belasan tahun kita dihadapkan pada permainan politik antara dua negara ekonomi terbesar tersebut.

Dalam waktu yang dekat ini tampaknya rivalitas AS dan Tiongkok akan mencapai babak yang baru, pemerintahan Presiden Joe Biden mengumumkan akan menjalankan Summit for Democracy atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Demokrasi pada tanggal 9-10 Desember 2021.

Ini adalah forum yang secara khusus diselenggarakan oleh AS, dan hanya mengundang negara-negara yang dipandang olehnya sebagai negara “demokrasi”. Tentunya, sebagai negara non-demokrasi dan juga rival utama AS, Tiongkok tidak diundang, begitu juga dengan Rusia.

Dari 110 negara yang diundang, beberapa di antaranya mendapat sorotan publik. Contohnya adalah Taiwan, yang saat ini tengah menjadi pusat perhatian Tiongkok di kawasan Asia Timur.

Kemudian juga ada Irak dan Republik Demokratik Kongo yang dalam beberapa tahun terakhir justru menunjukkan indeks demokrasi yang jauh lebih rendah dari negara lain yang tidak diundang seperti Rusia dan Bosnia. Padahal Irak dan Kongo masuk ke dalam kategori negara otoriter menurut Economist Intelligence Unit (EIU). Sebagai catatan, Indonesia diundang untuk hadir.

Baca Juga: Perang AS-Tiongkok, Jokowi Harus Bersiap?

Oleh karena itu, sebagian pihak kemudian menilai KTT Demokrasi lebih termotivasi oleh ambisi geopolitik Biden, bukan berdasarkan nilai-nilai demokrasi. Sentimen ini kemudian diperkeruh dengan pernyataan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Tiongkok, Zhao Lijian yang mengatakan tindakan AS ini telah menunjukkan demokrasi hanyalah menjadi kedok dan alat untuk memajukan tujuan geopolitik AS, dan untuk memecah belah dunia, demi melayani kepentingannya sendiri.

Duta Besar (Dubes) Tiongkok untuk AS, Qin Gang bersama Dubes Rusia untuk AS, Anatoly Antonov, bahkan menyatakan KTT Demokrasi adalah produk mentalitas ala Perang Dingin, yang akan memicu konfrontasi ideologis dan perpecahan belahan dunia.

Benarkah anggapan tersebut? Lantas, mengapa AS mendirikan KTT Demokrasi?

Kekhawatiran Sang Hegemon?

Berkaca ke pernyataan Biden pada pertengahan tahun 2021, ia sendiri pernah mengatakan bahwa “demokrasi Barat” benar-benar akan diuji oleh kebedaraan budaya politik otoritarianisme pada abad ke-21, dan ini menjadi tugas bagi negara demokrasi Barat seperti AS untuk benar-benar membuktikan bahwa demokrasi masih bisa bertahan dan berkompetisi dengan rezim otoriter seperti Tiongkok.

Apa yang diisyaratkan Biden sangat bertepatan dengan apa yang diperingatkan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul The Clash of Civilizations. Di dalamnya, Huntington memprediksi bahwa pasca Perang Dingin, konflik antara negara besar akan lebih dipicu oleh identitas peradaban, bukan lagi antara ideologi layaknya AS dengan Uni Soviet

Huntington mengklasifikasikan peradaban tersebut setidaknya menjadi tiga kelompok utama. Pertama, adalah peradaban demokrasi Barat yang diwakili AS, Eropa, Australia, dan sejumlah negara Asia Tenggara seperti Filipina. Kedua, peradaban Timur yang di dalamnya adalah Tiongkok, bersama campuran negara yang mayoritas menganut agama Buddha dan monarki, serta negara dengan penduduk diaspora Tiongkok terbanyak. Ketiga, adalah negara-negara dengan identitas agama kuat, khususnya Islam.

Lebih lanjut, Huntington memprediksi, sebagai kubu yang menjadi pembuat aturan politik internasional, seiring perkembangan zaman, negara Barat akan semakin khawatir pengaruh politiknya memudar. Kekhawatiran ini muncul karena pada abad ke-21 akan semakin banyak negara besar yang tumbuh tanpa perlu mengandalkan demokrasi ala Barat. Secara konsekuensial, fenomena ini telah memunculkan identitas baru, yang mampu medelegitimasi identitas Barat yang selama ini dilekatkan dengan nilai-nilai demokrasi.

Ini bisa kita buktikan dengan munculnya negara seperti Tiongkok dan Rusia yang mampu menjadi negara ekonomi besar tanpa perlu mengadopsi sistem demokrasi ala Barat secara utuh di negaranya. Begitu juga dengan munculnya negara Islam dengan potensi ekonomi tinggi seperti Saudi Arabia dan tentunya Indonesia.

Baca Juga: Perang Dunia III, Biden Lawan Tiongkok-Rusia?

OIeh karena itu, Huntington meyakini bahwa peradaban Barat akan berusaha menjawab krisis identitas ini melalui kampanye demokrasi, dengan harapan bahwa paham tersebut bisa menjadi ketentuan universal yang mampu meredam adanya multipolarisasi identitas peradaban.

Namun masalahnya adalah, upaya demokratisasi ini justru dinilai Huntington dapat mengantagoniskan negara-negara yang tidak dianggap sejalan dengan peradaban Barat, bahkan mereka mungkin jadi lebih termotivasi untuk mendirikan kubunya sendiri melihat kenyataan bahwa demokrasi ala Barat terkesan semakin dipaksakan untuk menjadi doktrin hegemon global, yang sesungguhnya sedang dalam kondisi lemah saat ini.

Pandangan ini sesuai dengan apa yang diperingatkan juga oleh Francis Fukuyama dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, yang mengatakan bahwa identitas negara otoriter modern akan dipimpin oleh Tiongkok, dan negara ini akan semakin percaya diri melihat memudarnya pengaruh identitas politik Barat.

Oleh karena itu, tidak heran jika politik luar negeri Tiongkok menganut doktrin “diplomasi negara besar dengan karakteristik Tiongkok” karena mereka sepertinya juga menyadari bahwa identitas peradaban dapat menjadi peluang besar untuk memperluas pengaruh politik internasional, sekaligus melemahkan pengaruh negara Barat.

Dari sini, kita bisa melihat bahwa apa yang dilakukan Biden melalui KTT Demokrasi sesungguhnya muncul dari kekhawatiran. Ia melihat pengaruh politik peradaban Timur semakin mengancam, bahkan sampai ke beberapa aspek penting, seperti ekonomi.

Dengan demikian, Biden berusaha melawannya dengan membakar kembali semangat peradaban Barat melalui “persekutuan” negara demokrasi. AS di sini menjadi panglima peradaban Barat, dan Tiongkok menjadi panglima peradaban Timur.

Lalu, pertanyaannya adalah, bisakah kita artikan manuver politik internasional Biden ini sebagai eskalasi menuju konfrontasi yang lebih serius, seperti perang?

Perang, Tapi Tidak Konvensional?

Berkesimpulan dari pandangan Norman Angell dalam bukunya yang berjudul The Great Illusion, hampir bisa dipastikan bahwa perang bersenjata terbuka antara negara-negara besar tidak akan terjadi. Biaya ekonomi yang diperlukan akan sangat besar, sehingga tidak akan ada yang berharap untuk mendapatkan keuntungan dengan memulai perang.

Lalu, apakah kita bisa bernapas lega?

Well, tidak juga. Meskipun perang konvensional tidak akan terjadi, ada bentuk perang lain yang perlu kita waspadai, contohnya perang siber dan perdagangan.

Terkait dengan potensi ancaman aliansi KTT Demokrasi terhadap probabilitas perang non-konvensional, Richard Fontaine dan Jared Cohen dalam artikel Biden’s Democracy Summit Needs to Produce More Than a Bland Statement, berkesimpulan, KTT Demokrasi sangat mungkin memperkuat amunisi perang non-konvensional AS melawan Rusia dan Tiongkok.

Modal teknologi dan ekonomi sudah terlihat jelas dari negara yang diundang ke KTT. AS, India, Pakistan, Indonesia, Brasil, Nigeria, dan Meksiko adalah 7 dari 10 negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia. Ditambah dengan kapabilitas teknologi dan ekonomi dari negara-negara Eropa yang diundang seperti Jerman dan Prancis, KTT Demokrasi sangat berpotensi menjadi aliansi terkuat melawan Tiongkok dan Rusia.

Fontaine dan Cohen menyimpulkan, “embel-embel” demokrasi bisa digunakan oleh AS untuk memasarkan teknologi pertahanan terhadap penyerangan hak kebebasan berpendapat di ruang siber. Ancaman seperti peretasan, penyebaran hoaks, dan pengaturan hasil pemilu akan dipromosikan untuk menjadi alasan yang rasional.

Baca Juga: Rusia-Tiongkok Pemantik Perang Siber?

Estonia sebagai negara terdepan dalam pertahanan siber, yang pernah menjadi korban peretasan Rusia, bisa menjadi panutan. Begitu juga dengan Australia yang sempat mendapat serangan disinformasi dan sanksi perdagangan oleh Tiongkok setelah menuntut investigasi terkait asal usul Covid-19. Mereka bisa menjadi negara yang memimpin metode pertahanan terhadap ancaman pemerasan ekonomi dari negara otokratis dan penyelewengan pemberitaan, sebut Fontaine dan Cohen.

Kemudian yang tidak kalah penting adalah potensi kerja sama besar-besaran dalam bidang teknologi. Tidak dipungkiri, teknologi telah menjadi unsur paling penting dalam persaingan ekonomi dan politik modern. Inggris sebagai negara anggota KTT, belum lama ini mengumumkan strategi nasionalnya untuk menjadi “superpower Artificial Intelligence (AI)”, dengan meningkatkan penggunaan AI di antara perusahaan dalam negeri, dan menarik perhatian investor internasional ke perusahaan AI Inggris.

Begitu juga dengan AS yang telah menjadikan peran perusahaan teknologi sebagai inti dari kebijakan luar negeri, dengan mendirikan Biro Khusus Kebijakan Digital dan Cyberspace, serta Utusan Khusus untuk Teknologi Krusial dan Berkembang, di bawah Departemen Luar Negerinya.

Akhir kata, meskipun kita perlu menunggu hasil pertemuan ini pada Desember nanti, perlu kita sadari bahwa KTT Demokrasi sangat mungkin dijadikan sebagai strategi utama AS berperang melawan perkembangan pengaruh politik, ekonomi, dan teknologi Tiongkok.

Di saat yang bersamaan, sudah saatnya kita melepas kekhawatiran tentang perang konvensional, karena sesungguhnya konflik yang nyata di depan mata kita saat ini adalah perang dagang dan serangan siber. Bahkan siapa tahu, barangkali sebenarnya kita sudah terlibat dalam bentuk Perang Dingin yang baru ini. (D74)

Exit mobile version