Konsisten membawa keresahan konkret “anak kereta” di Jakarta, politisi Partai Gerindra Andre Rosiade seolah membuka jalan bagi partainya untuk mendapat impresi positif elektoral di Pemilu 2024. Mengapa demikian?
Melalui manuver dan militansi Andre Rosiade mendukung pengadaan tambahan gerbong KRL, Partai Gerindra tampaknya mendapat angin segar jelang Pemilu 2024.
Ya, sejak bergulir pada awal tahun ini, Andre seolah begitu konsisten mengawal isu wacana pengadaan gerbong kereta dari Jepang, terutama dampaknya bagi masyarakat pengguna KRL.
Pada 27 Maret lalu, misalnya, Andre tampak begitu emosional saat rapat dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), dan PT INKA.
Andre menyayangkan dalih PT KCI mengimpor KRL karena PT INKA tidak siap tidaklah tepat. Pasalnya, DPR telah mewanti-wanti KCI untuk memesan kereta ke INKA sejak Januari 2021.
Kemudian pada 10 April, Andre akhirnya memenuhi aspirasi dari warganet untuk mencoba menggunakan KRL Commuter Line di jam padat penumpang (peak hour) dari Stasiun Rawa Buntu ke Stasiun Palmerah.
Pekan lalu, Andre kembali menyampaikan suara para pengguna KRL saat rapat bersama Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar penambahan jumlah gerbong dan keberangkatan di jam sibuk dapat teratasi.
Prominensi isu sendiri berasal dari sejumlah perspektif. Pertama, dari sudut pandang pengguna KRL, pengadaan gerbong kereta ekstra dianggap sangat dibutuhkan sesegera mungkin. Terlepas dari pengajuan pengadaannya oleh PT KCI maupun KAI yang dianggap “mendadak”.
Kedua, dari sudut pandang stakeholder dan pemerintah. Ini lah simpul yang menjadi polemik saat Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) masih memiliki basis argumen berbeda soal pengadaan gerbong KRL.
Terdapat dua opsi pengadaan gerbong KRL, yakni melalui produksi dalam negeri dari PT INKA yang membutuhkan waktu lebih lama. Serta satu pilihan impor gerbong bekas dari Jepang yang bisa didatangkan secara lebih cepat.
Kendati hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak merekomendasikan impor kereta bekas, namun Kementerian BUMN seolah masih tetap berharap impor tetap dilakukan. Sedangkan di sisi lain, Kemenperin justru menolak impor kereta bekas Jepang dan lebih mengutamakan produk dalam negeri.
Secara teknis, rencana impor sendiri mendapat dikritik karena kejanggalan mengemuka. Itu dikarenakan pengadaan gerbong dengan mekanisme impor diajukan dalam jendela waktu yang begitu sempit.
Sementara di sisi lain sekaligus ihwal yang menjadi diskursus panas adalah aspek kedaruratan untuk merespons keluhan para pengguna yang seolah sudah tak kuasa terus berebut dan berdesakan di KRL setiap harinya.
Di titik ini, Andre Rosiade hadir dan seakan berusaha menjadi ikon yang memperjuangkan aspirasi para “anak kereta”.
Meski lumrah secara normatif sebagai anggota dewan yang mewakili rakyat, langkah Andre beserta dampak sosio-politiknya tampak cukup menarik.
Mulai dari daerah pemilihannya (dapil) yang sebenarnya di Sumatera Barat, bukan di DKI Jakarta, hingga respons positif warganet terhadap totalitasnya membela kepentingan “anak kereta” yang tak sedikit memberi angin segar bagi Partai Gerindra di Pemilu 2024.
Lantas, mengapa Andre begitu konsisten mengawal isu pengadaan gerbong KRL ini? Dan mungkinkah militansi itu benar-benar akan berbuah manis di Pemilu 2024?
Andre Berani Ambil Risiko?
Tak larut dalam pro-kontra impor gerbong kereta dari Jepang di antara Kementerian BUMN dan Kemenperin, Andre seolah sejalan dengan para pengguna KRL yang pada intinya mendesak segera dilakukan pengadaan tambahan gerbong dan jadwal perjalanan di jam sibuk secara cepat.
Manuver Andre yang mengawal kebijakan pengadaan gerbong kereta di parlemen hingga beberapa kali menjajal langsung kondisi perjalanan KRL yang begitu padat kiranya merupakan kombinasi penerapan evidence-based policy (EBP) dan viral-based policy.
Dalam Evidence-based policy: Principles and requirements, Brian Head menyebut evidence-based policy atau kebijakan berbasis bukti adalah sebuah konsep dalam kebijakan publik yang mengadvokasi keputusan kebijakan untuk didasarkan pada bukti konkret dan objektif yang ditetapkan secara ketat.
Konsep ini sangat kontras dengan pembuatan kebijakan yang didasarkan pada ideologi, ‘akal sehat’, anekdot, atau intuisi pribadi.
Menariknya, selain membutuhkan data serta keterampilan analitis yang baik, EBP juga membutuhkan dukungan politik. Ihwal yang menjadi kekuatan tersendiri dalam politik-pemerintahan serta birokrasi di Indonesia.
Sementara itu, viral-based policy merupakan terminologi yang tergolong baru dan datang dari keresahan publik atas langkah para pemangku kebijakan yang baru aktif menyoroti hingga mengatasi sebuah masalah setelah ramai diperbincangkan atau viral, khususnya di media sosial.
Memang, viral-based policy masih dalam tahap predikat dari sudut pandang publik, levelnya abstrak, dan tak mudah untuk diukur. Para pejabat tentu memiliki justifikasi lain bahwa apa yang publik sebut sebagai viral-based policy adalah respons cepat atas kebutuhan publik itu sendiri.
Bagaimanapun, viral-based policy cenderung memiliki arti yang kurang positif karena hanya berlandaskan implementasi stragtegi manajemen impresi atau impression management serta piggy backing (menunggangi) isu demi kepentingan personal.
Sebagai anggota DPR yang notabene adalah representasi krusial dalam sebuah proses pembuatan kebijakan, Andre kiranya memahami kedua hal itu.
Terdapat dua konsekuensi pula dari militansinya mengawal isu pengadaan gerbong kereta hingga memposisikan diri langsung sebagai pengguna KRL. Pertama, tentu apresiasi sebagai pejabat publik yang kaitannya dengan turut mengambil peran dalam konsep EBP. Kedua, impresi dari sudut pandang lain bahwa Andre hanya melakukan pencitraan semata.
Dengan kata lain, Andre agaknya telah “berjudi” dengan tetap menerima risiko kedua. Akan tetapi, militansinya mengawal kebijakan pengadaan gerbong KRL secara konsisten sejak awal agaknya sedikit banyak memitigasi risiko minor tersebut.
Hal itu terbukti dari respons positif warganet di kolom komentar unggahan media sosial Andre yang menyoroti progres pengawalan kebijakan gerbong KRL, maupun di pemberitaan lain yang terkait.
Partai Gerindra pun seolah mendapat efek positif tak langsung dari manuver Andre yang bisa saja berarti besar di Pemilu 2024. Mengapa demikian?
“Permainan Politik Harapan” Gerindra?
Kembali, meski di satu sisi terkesan kurang tulus, caper, atau pencitraan, militansi Andre dalam kebijakan pengadaan gerbong KRL memiliki proyeksi dampak positif yang langsung terasa dan terlihat di masyarakat.
Kendati bisa saja dilakukan secara spontan atau volunter sejak awal, manuver Andre bisa saja memang merupakan strategi tertentu dari Partai Gerindra untuk meraih impresi positif.
Pertama, ceruk suara dari mereka yang menggunakan transportasi publik di Jakarta begitu masif, termasuk pengguna KRL. Selain itu, isu transportasi publik seperti KRL merupakan konteks yang seksi di media sosial.
Oleh karena itu, pihak manapun yang berhasil meninggalkan citra tertentu di isu tersebut akan mendapat sorotan dan bukan tidak mungkin efek elektoral jelang pesta demokrasi 2024.
Kedua, manuver Andre kiranya bukan tentang asal dapil melainkan representasi langsung Partai Gerindra. Itu dikarenakan, partai yang dipimpin Prabowo Subianto itu tak memiliki satu pun perwakilan dari dapil DKI Jakarta di Komisi VI DPR.
Selain itu, Andre adalah orang yang kiranya paling tepat untuk muncul sebagai ikon, khususnya bagi Partai Gerindra, karena level popularitasnya.
Itu dikarenakan, dirinya sejak lama kerap muncul di media dan menjadi sosok yang tak asing.
Andre juga nama yang tampaknya paling tepat untuk mengawal isu tersebut dibandingkan rekan satu fraksinya yang lain di Komisi VI DPR, yakni Mulan Jameela, Muhammad Husein Fadlulloh, Hendrik Lewerissa, La Tinro La Tunrung, Khilmi, Supratman Andi Agtas. Selain Mulan, nama lain begitu asing, bukan?
Ketiga, manuver Andre dan Partai Gerindra kiranya memang sedang memainkan langkah tertentu terkait politics of hope atau politik harapan yang dapat menjadi instrumen dalam sebuah strategi politik.
Dalam bukunya yang berjudul Politics of Hope, Jonathan Sacks mengutarakan konsep tersebut di tengah maraknya politik berbasis narasi ketakutan, pesimisme, dan kemarahan.
Dia mendefinisikan politik harapan sebagai sebuah gagasan yang memperjuangkan terwujudnya negara kesejahteraan.
Akan tetapi, ilmuwan politik asal Inggris itu juga menegaskan bahwa politik harapan tidak menerima narasi politik yang dibangun atas dasar utopisme atau janji-janji melangit yang membuai, namun sukar direalisasi. Dalam logika politik harapan, narasi politik harus dibangun di atas pondasi visi yang jelas, terukur dan bisa dieksekusi.
Dengan perannya di parlemen, politics of hope agaknya menjadi “permainan yang mudah” bagi Andre dan Partai Gerindra.
Ketidakterlibatannya secara langsung dalam tarik-menarik kepentingan sektoral yang rumit di antara Kementerian BUMN vs Kemenperin dan “hanya” memberi masukan serta manajemen impresi konstruktif agaknya telah diperagakan secara apik.
Sekali lagi, impresi politik yang positif dapat dilihat dari respons warganet di komentar media sosial Andre, Partai Gerindra, maupun pemberitaan terkait isu pengadaan gerbong KRL.
Tak lain, terdapat beberapa komentar menarik yang menyebut ketertarikan memilih Partai Gerindra dikarenakan militansi Andre dalam mengawal proses kebijakan pengadaan gerbong KRL.
Manuver Andre agaknya memang menjadi anomali di tengah kurangya representasi konkret suara rakyat oleh DPR dalam berbagai macam isu dan kebijakan selama ini.
Lalu, mungkinkah tambahan satu variabel isu positif itu benar-benar akan membawa Partai Gerindra berjaya di Pemilu 2024 mendatang? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)