Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri seolah mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) seperti era Orde Baru (Orba). Namun, kritik ini tampaknya justru menjadi bumerang kepada partainya, karena PDIP masih ada dalam lingkaran pemerintahan. Benarkah demikian?
Pernyataan terbaru Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri kiranya semakin memperlihatkan adanya “keretakan” dalam hubungannya dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal itu bisa dilihat dari kritikan Megawati dalam pidatonya saat memberikan pengarahan pada rapat koordinasi nasional (Rakornas) relawan Ganjar-Mahfud Senin (27/11) kemarin lusa.
Meskipun tak menyebut siapa yang dia kritik, Megawati menyiratkan atmosfer politik pemerintahan saat ini terasa seperti era Orde Baru (Orba).
Tak hanya itu, Megawati mengaku jengkel karena dirinya merasa tidak dihormati, padahal dia juga adalah seorang mantan presiden.
Hal itu mungkin menjurus kepada sejumlah dinamika politik belakangan ini. Pertama, ketika putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep merapat ke PSI dan langsung didapuk menjadi Ketum PSI hingga langsung memutar haluan dukungan kepada Prabowo Subianto.
Padahal, dalam aturan internal PDIP, jika ada anggota keluarga yang menjadi anggota PDIP maka seluruh anggota keluarga tidak boleh bergabung dengan partai lain.
Kedua, manuver putra sulung Presiden Jokowi Gibran Rakabuming yang menjadi calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto, sementara PDIP mencalonkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres).
Ketiga, menantu Jokowi yang juga menjadi Wali Kota Medan Bobby Nasution juga menyatakan dukungan kepada pasangan Prabowo-Gibran.
Namun, kritik Megawati agaknya akan menjadi bumerang tersendiri saat disampaikan di tengah momentum saat ini. Mengapa demikian?
Megawati Terlalu Gegabah
Pengaruh Megawati dalam internal PDIP memang tak perlu diragukan lagi, semua langkah politik PDIP tergantung pada mantan Presiden ke-5 RI itu.
Dominasi Megawati di PDIP dimulai sejak dirinya terpilih menjadi kongres PDI yang digelar di Surabaya, Jawa Timur (Jatim) pada tahun 1993 lalu.
Namun, sejak terpilih menjadi Ketum PDI, terdapat gejolak politik dalam tubuh partai itu hingga mengakibatkan adanya dualisme di tubuh PDI, hingga kemudian lahir PDIP yang sampai sekarang tetap eksis dengan Megawati yang juga tetap sebagai Ketum dan pernah berkuasa.
Rekam jejak dan perjuangannya itu agaknya menjadikan Megawati merasa memiliki kontribusi besar, baik di level partai, konstruksi politik domestik, maupun pemerintahan
Atas dasar itu, pengaruh Megawati yang begitu kuat tampaknya membuat dirinya sedikit lepas kontrol. Hal itu terlihat dari pidato-pidatonya yang terlihat cenderung blak-blakan hingga akhirnya menjadi bumerang bagi PDIP.
Padahal harusnya sebagai politisi senior, Megawati harusnya bisa lebih bijak menyikapi berbagai peristiwa politik yang terjadi, termasuk yang menyangkut dengan PDIP.
Perilaku Megawati ini cenderung bertolak belakang dengan kebiasaan politisi lain yang cenderung menghindari persepsi negatif dan tendensius dalam setiap ucapan dan tindakannya.
Elicier Crespo-Fernández dalam tulisannya yang berjudul Euphemism and Political Discourse in the British Regional Press mengatakan jika politisi cenderung menggunakan bahasa diplomatis untuk menghindari persepsi negatif.
Namun, apa yang dilakukan Megawati adalah kebalikan dari yang dikatakan oleh Elicier. Hal itu kiranya bisa terjadi karena Megawati seolah ingin menunjukkan pengaruh dan kekuatannya dalam politik.
Kritikan yang dia sampaikan secara blak-blakan kepada pemerintahan Jokowi membuat persepsi publik kepada PDIP semakin negatif.
Padahal, manuver Ganjar Pranowo sebelumnya yang telah mengkritik pemerintahan saat ini akan dievaluasi partai karena dinilai telah menurunkan elektabilitasnya dalam survei Pilpres 2024.
Jika benar diksi kekuasaan, yang berarti pemerintah, bertindak seperti era Orba yang digunakan Megawati adalah untuk “menyerang” Presiden Jokowi, hal itu justru seakan mengkritik kader-kadernya sendiri.
Seperti yang diketahui, PDIP masih menjadi bagian kabinet dan menempatkan enam kadernya dalam pemerintahan Jokowi.
Hal itu menandakan jika PDIP sendiri masih berada dalam lingkaran kekuasaan yang juga kiranya berperan dalam tindakan yang dinilainya seperti era Orba.
Buat Jokowi Semakin Kuat?
Kritikan yang disampaikan Megawati di masa awal kampanye Pilpres 2024 tentu terlihat jelas muatan politisnya.
Hal itu juga bisa digambarkan sebagai bentuk kekecewaan Megawati yang seolah telah “ditinggalkan” Jokowi dan trahnya ke kubu Prabowo-Gibran.
Selain itu, Megawati juga tampaknya sedang mengejar simpati publik yang saat ini lebih cenderung ke Prabowo untuk bergeser ke Ganjar. Bagaimanapun juga, suara pemilih Ganjar banyak yang bersinggungan dengan Prabowo.
Namun, kritikan Megawati kepada penguasa di mana sekarang adalah pemerintahan Jokowi justru kiranya membuat Presiden Jokowi semakin kuat.
Itu bisa terjadi dikarenakan, “serangan terbuka” Megawati kepada Jokowi yang juga merupakan ciptaannya sendiri membuat publik menilai Megawati sedang mengkritik dirinya sendiri dan tidak melihat Jokowi sebagai pihak yang sepenuhnya bersalah.
Well, menarik untuk melihat apakah kritikan yang disampaikan Megawati kepada penguasa dapat memberikan efek seperti apa kepada PDIP dan Ganjar dalam Pilpres 2024 nanti. (S83)