Dokumen kritik infrastruktur World Bank berpotensi merugikan petahana dalam konteks Pilpres 2019
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]etelah dokumen siluman World Bank beredar pada akhir tahun lalu yang berjudul Indonesia’s Infrastructure Planning & Budgeting Processes, kini publik kembali digegerkan oleh beredarnya dokumen yang berisi kritik lembaga yang menjadi bagian dari The Bretton Woods Institutions tersebut kepada pembangunan infrastruktur pemerintahan presiden Joko Widodo (Jokowi).
Laporan ini berbeda dengan laporan yang diklarifikasi Bank Dunia dan disebut disusun lima tahun lalu tersebut. Seperti dikutip dari CNN, laporan berbahasa Inggris setebal 344 halaman tersebut berisi pandangan Bank Dunia terhadap proses perencanaan, pembiayaan, maupun pembangunan infrastruktruktur pada era Jokowi.
Lembaga ini sering terlibat dalam mempengaruhi kebijakan ekonomi dan haluan politik di negara-negara penerima bantuan Share on XLaporan tersebut secara gamblang membahas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait infrastruktur sedari Jokowi menjabat. Beberapa poin yang dikemukakan World Bank di antaranya mengkritisi kualitas proyek infrastruktur yang rendah, pembangunan infrastruktur yang didominasi BUMN, hingga tarif listrik yang dinilai terlampau murah.
Ramai-ramai laporan infrastruktur World Bank ini tentu kembali menimbulkan sejumlah tanda tanya, mengingat Indonesia tengah mempersiapkan gelaran pesta demokrasi lima tahunan pada April nanti.
Kemungkinan apa yang melatarbelakangi kemunculan dokumen kritik tersebut? Mengapa World Bank merilis laporan tersebut ? Mungkinkah ada makna politik dibaliknya?
Dilema Infrastruktur
Berbagai tanggapan terkait laporan tersebut muncul dari banyak kalangan. Salah satunya adalah dari kalangan pengusaha yang bahkan mengamini kritik lembaga yang bermarkas di Washington D.C tersebut.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani yang mengatakan bahwa porsi BUMN di proyek infrastruktur sudah terlalu dominan.
Menurutnya, para pengusaha sedikit dilibatkan dalam proyek pembangunan infrastruktur dan memberikan porsi lebih besar terhadap BUMN.
Masalahnya, press release WB juga ngga nyebutin dokumen mana…https://t.co/LbIuF0ngvq
sementara CNN asal kutip yang ada kata 'infrastruktur' dari Q3 report (hal 47)https://t.co/LbpIXvY6Gp
Kayanya ini gara2 banyak yang sadur laporan 'cantik' PwC yang memang ambil data WB 2014— Rulie Maulana (@ruliemaulana) January 4, 2019
Shinta menilai, kalau pun proyek infrastruktur tidak diberikan kepada swasta, pemerintah seharusnya meminta BUMN untuk bermitra dengan swasta. Saat ini, menurut dia, banyak perusahaan swasta yang sebenarnya sudah siap bermitra dengan BUMN.
Selain itu, World Bank juga menyebut bahwa tarif listrik di Indonesia terlampau murah. Dalam laporan tersebut, Bank Dunia menyebut bahwa perubahan skema tarif mengalami kesulitan karena ketidakcakapan otoritas dalam mengatur sektor terkait.
Misalnya, terkait peraturan yang dirilis baru-baru ini. Meskipun terkesan mendukung peningkatan partisipasi swasta, namun, sejumlah regulasi lain masih bertujuan melindungi atau meningkatkan pangsa pasar PLN.
Laporan tersebut juga direspons beragam oleh para menteri Jokowi. Misalnya saja Sri Mulyani yang menyebut bahwa kritik Bank Dunia adalah hal yang wajar dan telah dikomunikasikan dengan pemerintah.
Sedangkan, Menteri BUMN Rini Soemarno bahkan menyalahkan studi Bank Dunia jika menyebut pembangunan infrastruktur membebani perusahaan pelat merah. Senada dengan Rini, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengaku tak tahu menahu soal laporan InfraSAP.
Sementara itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro sepemahaman dengan Sri Mulyani menanggapi laporan tersebut. Ia mengakui sudah pernah membahas laporan Bank Dunia tersebut untuk penguatan KPBU (Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha) terkait penyediaan infrastruktur.
Dibali @WorldBank muji muji
Sekarang mencak mencak @jokowi
Itu tandanya debitur macet bayar angsuran.
Begitulah logika bank !!
?
https://t.co/39rFnkfPpp— Bianglala ✌ (@fallsky90) January 4, 2019
Berdasarkan respons berbeda dari beberapa menteri terkait laporan InfraSAP tersebut, bisa jadi koordinasi antara pemerintah dengan lembaga Breton Woods ini memang tak cukup baik. Terlihat ada miskomunikasi antara Menteri Keungan dan Menteri Pembangunan versus menteri BUMN dan PUPR sebagai jantung pelaksana pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Bank Dunia sendiri belakangan menerbitkan sebuah pernyataan di situs resminya terkait laporan yang kadung beredar itu. Menurut lembaga tersebut, dokumen tersebut sebenarnya belum dirilis secara publik. Bank Dunia menyebut bahwa mereka masih berdiskusi dengan berbagai instansi terkait mengenai laporan tersebut.
Akan tetapi, laporan tersebut nyatanya tetap beredar di ruang publik. Hal ini membuat banyak pihak bertanya-tanya mengapa laporan yang belum dirilis sudah menjadi konsumsi masyarakat.
Manuver World Bank
Kiprah Bank Dunia dalam konteks politik dan pembangunan di Indonesia memang tak perlu diragukan lagi. Sebagai salah satu lembaga keuangan dunia, otoritasnya untuk memberikan penilaian dan rancangan pembangunan di suatu negara juga cukup krusial.
Menjelang Pilpres 2019, hal yang menjadi pertanyaan krusial adalah mengapa World Bank muncul dengan laporan-laporan pedasnya terhadap pemerintah?
TERUNGKAP!!! Dokumen Laporan World Bank Pembangunan Infrastruktur Indonesia Kacau Balau
Dalam dokumen jelas disebut bahwa sistem penganggaran dan perencanaan infrastruktur Indonesia bersifat kacau balau (chaotic).https://t.co/hmGjtP3lUK
wiswayahe #2019PrabowoPresidenRI pic.twitter.com/lrBTkt6hQU
— Mas Piyu ?? (@mas_piyuu) January 7, 2019
Eric Toussaint dan Damien Millet pernah merilis laporan yang berjudul Indonesia: History of a bankruptcy orchestrated by IMF and the World Bank yang menyebut bahwa selain IMF, Bank Dunia juga berperan penting terhadap perubahan lanskap politik Indonesia di era Orde Baru.
Keterlibatan lembaga donor ini tentu berkorelasi dengan hubungan politiknya dengan Suharto kala itu. Melalui program transmigrasi Suharto, peran World Bank dalam politik pembangunan di Indonesia mulai masif.
Pada saat itu, ambisi tinggi Suharto terbentur ketiadaan modal dan teknologi yang dibutuhkan. Oleh karenanya, World Bank pun terlibat menyediakan modal yang dibutuhkan Suharto, bahkan sebagai sumber utama pendanaan dari luar negeri.
Konteks sejarah tersebut sedikit banyak menjelaskan bahwa peran lembaga ini dalam konteks politik Indonesia cukup masif dan berpengaruh.
Dalam konteks Pilpres 2019, bisa saja ada yang menganggap World Bank tengah berusaha kembali mencoba terlibat aktif politik melalui laporan kritik infrastruktur tersebut. Mengingat bahwa haluan pembangunan Indonesia yang bisa dibilang sudah tidak western-centric lagi dan mungkin saja cukup mengganggu eksistensi World Bank di Indonesia.
Dugaan tersebut selaras dengan hasil penelitian João Márcio Mendes Pereira dalam papernya yang berjudul The World Bank as a Political, Intellectual, and Financial Actor yang menyebut bahwa lembaga ini sering terlibat dalam mempengaruhi kebijakan ekonomi dan haluan politik di negara-negara penerima bantuan.
Pada titik ini, merebaknya laporan-laporan Bank Dunia yang berisi kritik terhadap pembangunan infrastruktur Jokowi bisa saja memiliki makna secara politik. Sebagai lembaga dunia yang terlibat aktif dalam politik dunia, bisa saja muncul kesan bahwa lembaga internasional ini mulai lebih kritis terhadap pemerintahan Jokowi.
Sikap kritis Bank Dunia ini sendiri muncul di waktu yang tergolong amat krusial dalam politik Indonesia. Laporan dari lembaga ini muncul di detik-detik pertarungan Pilpres 2019 mulai menghangat. Munculnya dokumen Bank Dunia itu dalam kadar tertentu memberikan angin segar kepada pasangan penantang Jokowi, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Melalui dokumen tersebut, pembangunan infrastruktur Jokowi yang selama ini kerap dibanggakan, ternyata justru menuai nada kritis dari lembaga sekelas Bank Dunia. Dalam kadar tertentu, peredaran laporan itu bisa saja menyebabkan perubahan pilihan politik publik.
Tentu, terburu-buru menyebut bahwa Bank Dunia lebih mendukung Prabowo-Sandiaga adalah hal yang sangat salah kaprah. Akan tetapi, kritik soal infrastruktur dari kubu tersebut seperti mendapatkan dukungan karena lembaga sekelas Bank Dunia juga melakukan hal serupa. Hal ini membuat langkah Jokowi di Pilpres sedikit mengalami gangguan dan memberi pasangan Prabowo-Sandiaga sedikit ruang untuk bernapas.
Pada akhirnya, pengungkapan motif di balik peredaran laporan Bank Dunia ini adalah hal yang layak dinanti. Apalagi, jika mengingat kiprah Bank Dunia yang disebut sebagai aktor politik oleh Pereira. Jika benar penyebaran laporan di tahun politik itu terkait dengan aktivitas dan motif politik Bank Dunia, Jokowi mungkin sebaiknya mulai waspada. (M39)