Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie menuding pendapat mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso soal tenaga kerja asing (TKA) bertendensi rasis. Namun, sindiran Grace itu agaknya keliru karena bernuansa kepentingan tertentu. Mengapa demikian?
Jika biasanya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi langganan kritik, kali ini Partai Solidaritas Indonesia (PSI) seolah berpaling sejenak dan mengarahkan manuvernya kepada mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso.
Tampak tak biasa memang, mengingat sasaran kritik itu adalah orang dengan kaliber seperti Sutiyoso, atau akrab disapa Bang Yos, yang telah malang melintang dengan pengalamannya di kancah politik dan pemerintahan tanah air.
Kritikan itu sendiri disampaikan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie merespons pernyataan Sutiyoso mengenai tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok di Indonesia.
Dalam sebuah pidato pada 18 Mei lalu, Sutiyoso mengungkapkan kekhawatirannya tentang keberadaan tenaga kerja asing (TKA) dari Tiongkok yang terus berdatangan akan berpotensi menjadi ancaman demografi di kemudian hari jika tidak diantisipasi.
Grace lantas mengkritik ucapan Bang Yos itu karena dinilai cukup tendensius dan bernada rasis. Selain itu, Grace menganggap pernyataan tersebut berpotensi memecah belah bangsa.
Dalam kanal Youtube Karni Ilyas Club yang tayang kemarin, Bang Yos menjelaskan lebih lanjut sekaligus berupaya meredam pro dan kontra setelah pidatonya tersebut viral di linimasa.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan bahwa tidak ada maksud sedikitpun untuk menyinggung etnis Tionghoa di Indonesia. Pernyataannya disebut murni sebagai analisis dan warning berdasarkan pengalamannya selama ini. Sutiyoso juga menegaskan bahwa dirinya tidak rasis dan sangat nasionalis.
Tak hanya sampai disitu, kritik balik juga mengarah pada Grace dari sejumlah tokoh. Pengamat politik, Rocky Gerung mengatakan bahwa pernyataan Sutiyoso terkait TKA Tiongkok bukanlah pernyataan sembarangan dan harus menjadi refleksi pihak-pihak terkait.
Rocky juga menyindir balik Grace bahwa responsnya kepada Bang Yos itu hanya bagian dari pemantik sensasi serta berupaya “menggoreng” isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Sementara itu, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) yang juga pakar telematika Roy Suryo menyebut pernyataan Sutiyoso bisa saja memiliki signifikansi. Roy menyebut bahwa ancaman keberadaan TKA Tiongkok bisa menyerobot hak tenaga kerja domestik, terutama jika mereka mengambil alih pekerjaan yang semestinya dapat dilakukan tenaga kerja Indonesia.
Lantas, mengapa kiranya Grace Natalie mengeluarkan reaksi semacam itu atas pernyataan Bang Yos? Adakah kepentingan lain dibaliknya?
Agenda Terselubung Grace?
Jika ditelisik dari perspektif kepentingan politik, kritik Grace agaknya memang memiliki kecenderungan “gagal paham”. Terlebih sebagaimana yang diutarakan Rocky, apa yang dikemukakan Sutiyoso tentu berlandaskan kalkulasi tertentu karena dia bukanlah orang sembarangan dengan segudang pengalamannya dalam pasang surut perjalanan bangsa.
Pun, Sutiyoso menegaskan bahwa interaksi dengan banyak warga negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa dalam perjalanan kariernya cukup intens dan selalu berjalan harmonis. Oleh karena itu, cukup janggal ketika memberikan Bang Yos predikat rasis dan dituduh berupaya memecah belah bangsa.
Jika sorotan dikembalikan kepada Grace, paling tidak terdapat tiga hal yang saling terkait dan membuatnya tampak gagal paham atas konteks yang dikemukakan Bang Yos. Pertama, Grace agaknya mengalami bias kognitif berupa attentional bias.
Attentional bias terjadi ketika individu terlalu fokus pada hal-hal yang sifatnya ia anggap lebih baik sementara aspek penting lainnya cenderung terabaikan. Akibatnya, penilaian terhadap suatu persoalan cenderung tidak komprehensif.
Katherine Spencer, Amanda Charbonneau, dan Jack Glaser dalam Implicit Bias and Policing menjelaskan lebih dalam mengenai attentional bias yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan ketika pelabelan atau stereotip justru dibangkitkan pada satu konteks tertentu, dengan mengabaikan faktor lain yang dalam banyak kesempatan justru signifikan.
Dalam responsnya kepada Sutiyoso, Grace tampak mengalami bias itu. Dia terlihat terlalu fokus pada narasi-narasi SARA tanpa merefleksikan lebih dalam esensi dari konteks yang dibicarakan serta reputasi orang yang menyampaikannya.
Selain mantan kepala BIN, Sutiyoso adalah tokoh bangsa yang lahir dari chandradikmuka kemiliteran. Sebagai seorang prajurit baret merah Kopassus, kariernya malang melintang dalam deretan jabatan prestisius, termasuk Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Jaya. Ihwal yang membuat label rasis dan memecah belah bangsa dari Grace cukup sulit diterima.
Kedua, Grace kemungkinan juga sedang melakukan framing atau pembingkaian tertentu yang memiliki korelasi dengan ihwal ketiga yakni agenda setting.
Teori framing dikemukakan oleh Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul Frame Analysis. Dia mengemukakan bahwa sesuatu yang disajikan kepada audiens bertujuan untuk memengaruhi persepsi orang lain tentang bagaimana memproses sebuah informasi dalam satu bingkai spesifik.
Framing ialah abstraksi yang berfungsi untuk mengatur atau menyusun makna pesan sesuai dengan “kepentingan” si penyampai pesan. Goffman menyebut bahwa cara itu juga merupakan bagian dari bentuk agenda setting, ketika audiens tidak hanya diberi tahu tentang apa yang harus dipikirkan, tetapi juga digiring untuk memikirkan masalah itu dalam konteks yang diinginkan.
Mengenai framing, Grace terlihat ingin membelokkan diskursus ke dalam bingkai lain yang dia inginkan, yakni bahwa persoalan TKA asal Tiongkok yang dibicarakan Bang Yos bukan merupakan perkara serius. Sayangnya, pembingkaian itu diarahkan ke isu SARA terhadap Sutiyoso yang secara rekam jejak mustahil memantik tendensi itu.
Sementara itu, korelasinya dengan agenda setting ialah ada kemungkinan bahwa isu SARA diangkat Grace untuk kepentingan politik tertentu. Tidak lain ialah terkait upaya menarik simpati publik bahwa PSI adalah partai yang tidak memberikan ruang bagi penggunaan isu SARA.
Padahal, Grace sendiri-lah yang seolah membangkitkan isu tersebut dan menginterpretasikannya ke dalam konteks SARA.
Di titik ini, kiranya terlihat bahwa Grace gagal dalam memahami dan mencerna esensi kekhawatiran Sutiyoso ketika dirinya kemungkinan diliputi oleh bias serta berusaha melakukan framing dan agenda setting tertentu.
Khusus probabilitas agenda setting untuk memantik simpati bagi PSI agaknya menarik untuk diulas lebih dalam karena terkait dengan kepentingan Grace mengenai pertaruhan masa depan partainya. Mengapa demikian?
Grace Sabotase PDIP?
Leopoldo Fergusson, dan James Robinson dalam The Need for Enemies, menjelaskan politisi akan selalu membutuhkan sosok musuh untuk meraup dukungan politik, atau legitimasi hingga mempertahankan karakter hal yang dianggap sebagai keunggulan mereka.
Linear dengan Ferguson dan Robinson, Lewis Coser dalam The Function of Social Conflict mengemukakan teori konflik sosial, yaitu bahwasanya konflik sengaja dibuat untuk menciptakan solidaritas sosial baru.
Esensi dari ketiganya dinilai dapat diinterpretasikan kepada kemungkinan agenda setting Grace Natalie bagi PSI. Mengingat akan kehilangan musuh bebuyutannya, yakni Anies Baswedan yang akan purna tugas pada Oktober 2022, PSI kiranya membutuhkan musuh lain untuk melegitimasi eksistensinya.
Dengan memunculkan tensi dengan orang sekaliber Sutiyoso dengan isu SARA, Grace selaku elite PSI boleh jadi ingin meningkatkan reputasi dan legitimasi partainya di hadapan konstituen agar tetap relevan.
Adanya “konflik” dalam dinamika menuju kontestasi elektoral, PSI kemungkinan ingin membangun solidaritas sosial melalui isu ke-moderat-an yang selama ini jamak dikedepankan PDIP.
Persoalan menjadi menarik ketika sorotan seolah bersinggungan dengan PDIP. Ya, keberadaan PSI dalam percaturan politik Indonesia barang tentu akan mengurangi porsi suara dari partai politik (parpol) lain dalam pertarungan elektoral.
Pada pemilihan legislatif (Pileg) DKI Jakarta 2019 misalnya, PDIP kehilangan tiga kursi DPRD dibanding Pemilu 2014. Sementara di saat yang sama, debut PSI berhasil merebut delapan kursi di Kebon Sirih.
PDIP menjadi perbandingan paralel dikarenakan karakter politik dan pembentukan narasinya dengan PSI jamak ditafsirkan serupa. Lelucon netizen bahkan memberikan predikat PDIP U-23 kepada partai yang diketuai Giring Ganesha.
Oleh karena itu, selain gagal pahamnya dalam meresapi substansi pernyataan Sutiyoso, manuver kritik Grace juga dapat ditafsirkan sebagai sabotase kepada PDIP secara tidak langsung dengan mengeksploitasi isu SARA.
Bagaimanapun, pembelokan serta pembingkaian isu ke arah yang sensitif tentu bukan hal yang elok dalam perpolitikan Indonesia. Apalagi, hal itu kemungkinan dilakukan Grace Natalie tanpa melihat secara komprehensif esensi pernyataan dan reputasi Sutiyoso yang tak relevan dengan isu SARA dan upaya pecah belah bangsa. (J61)