Baru-baru ini dalam pidato di depan Presiden Jokowi, Giring sebagai Ketum PSI menyatakan penolakan terhadap calon presiden yang pernah dipecat oleh Jokowi. Banyak yang menilai, kritik itu ditujukan kepada Anies Baswedan. Alih-alih dapat dukungan, warganet nilai kritik Giring sebagai luapan kebencian. Lantas, apakah Giring melakukan blunder politik?
Dalam dunia demokrasi, kritik adalah fenomena yang lumrah ditemukan tiap hari. Tentunya hal ini dikarenakan kritik menjadi bahan bakar demokrasi, agar tetap berjalan dan sesuai dengan marwahnya, yaitu bebas dan dinamis. Dan akan menjadi sebuah apresiasi jika kritik yang disampaikan konstruktif, bukan berlandaskan kebencian.
Fenomena kritik Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Giring Ganesha dengan gaya yang berapi-api dan cenderung menyerang satu pihak, menjadi sorotan publik. Terakhir, pidato Giring saat HUT ke-7 PSI di hadapan Presiden Joko Widodo (Jokowi), memberi penolakan terhadap calon presiden yang pernah dipecat dari kabinet.
Banyak pihak menyebut sosok yang dimaksud Giring adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Selama ini, Anies memang seolah menjadi target dari serangan PSI.
Pangi Syarwi Chaniago, Direktur Eksekutif Voxpol Center, memberikan penilaian bahwa pidato yang disampaikan Giring memperlihatkan nuansa yang sarat dengan rasa kebencian. Giring menyinggung pemimpin pembohong dan menyatakan tidak akan memilih pemimpin yang pernah dipecat Jokowi dari kabinet.
Fenomena kritik Giring memperlihatkan adanya sebuah paradoks, di mana PSI yang selama ini dikenal sebagai partai politik berorientasi pada generasi muda dan menjunjung progresifitas, malah melalui ketua umumnya, memperlihatkan dirinya jauh dari citra tersebut.
Hal ini sebenarnya berbahaya bagi citra PSI, karena kemungkinan orang-orang yang setuju dengan argumentasi Giring hanyalah internal partai, tidak dengan masyarakat secara umum. Bahkan dapat kita lihat, banyak warganet yang menganggap Giring hanya memperlihatkan kebencian bukan sebuah gagasan.
Lantas, seperti cara memaknai fenomena pidato Giring ini?
Baca juga: Anies Lebih Jago dari Giring?
Giring Salah Strategi?
Sebagai orang yang relatif baru dalam panggung politik di Indonesia, Giring seharusnya dapat lebih dahulu memahami konstruk politik di negara ini. Terlebih lagi budaya politik yang telah mengakar dan silih berganti dipraktekan oleh pemimpin-pemimpin politik sebelumya.
Seperti yang diketahui, Indonesia adalah negara kepulauan luas yang dihuni ratusan etnis yang tersebar di 13.000 pulau. Dari keragaman itu, suku Jawa mendominasi dengan 95 juta orang atau 40 persen dari populasi. Hal ini memperlihatkan budaya Jawa juga mempengaruhi budaya politik nasional kita secara kuantitatif.
Ada banyak hal yang khas tentang budaya Jawa, salah satunya budaya yang memperlihatkan kesopanan dalam bertata krama. Kemudian, Bahasa Jawa adalah bahasa ke-12 yang paling banyak digunakan di dunia, dan secara filosofis level Bahasa Jawa juga memperlihatkan nilai etik dari penuturnya.
Suwardi Endraswara dalam bukunya Falsafah Kepemimpinan Jawa, dalam sub bab Falsafah Kepemimpinan Prasaja dan Manjing Ajur-ajer, mengatakan falsafah kepemimpinan jawa memperlihatkan prasaja (kesederhanaan). Dengan hidup sederhana, tentu tidak ada niat untuk korupsi ketika memimpin bangsa.
Selain sikap yang memperlihatkan kesederhanaan, tanpa keinginan macam-macam (neka-neka), pemimpin perlu bersikap ajur-ajer. Artinya, pemimpin mampu melakukan treatment atau perlakuan yang baik terhadap rakyat. Ajur-ajer akan mendorong pimpinan merasa memiliki rakyat, sehingga ingin melindungi dan mensejahterakan mereka.
Kepemimpinan memang membutuhkan hati, termasuk bertutur kata di depan banyak orang. Hal ini yang menjawab kenapa muncul sentimen publik yang negatif saat menanggapi pidato Giring di banyak sosial media. Banyak yang nilai dalam pidato itu muncul sentimen kebencian yang besar.
Istilah politik kebencian sesungguhnya adalah dua kata yang saling kontradiktif. Karena, politik tentu saja memiliki konotasi seni mempengaruhi atau mengajak, sehingga orang lain terpengaruh dan mau ikut dengan ajakan kita. Sedangkan kebencian, hanya akan menghadirkan perpecahan dan kekacauan.
Niccolò Machiavelli dalam bukunya The Prince, mengatakan, meskipun ditakuti menjadi keuntungan bagi seorang pemimpin, tapi dibenci oleh masyarakat adalah bencana. Sederhananya, memunculkan ketakutan tidak sama dengan menimbulkan kebencian.
Justru, seorang penguasa harus berusaha agar ia tidak dibenci rakyatnya. Sebab, kebencian rakyat terhadap penguasanya hanya akan memuluskan lahirnya persekongkolan rahasia dan coup d’état terhadap kepemimpinan yang sah.
Dari konsep Machiavelli di atas, muncul pertanyaan, apakah mungkin Giring salah mempraktekkan nasihat Machiavelli? Karena, menghimbau masyarakat agar tidak terjerumus dari pemimpin pembohong, dapat diartikan sebagai sebuah pesan akan ketakutan yang tidak diinginkan oleh Giring, dan disampaikan kepada masyarakat.
Tapi alih-alih masyarakat membaca pesan Giring itu. Masyarakat melihat, apa yang dilakukan oleh Giring adalah sebuah ujaran kebencian. Hal ini juga beralasan, jika melihat latar belakang dari Giring dan PSI yang selama ini memainkan peran antagonistik dalam politik di DKI Jakarta.
Eric Heinze dalam bukunya Hate Speech and Democratic Citizenship, mengatakan, maraknya ujaran yang bernada kebencian dalam kontestasi politik di sejumlah negara dalam satu dekade belakangan ini disebabkan oleh setidaknya dua faktor.
Pertama, masih dominannya sikap prasangka buruk satu kelompok masyarakat terhadap kelompok lainnya. Prasangka buruk biasanya berawal dari kebiasaan masyarakat yang gemar mengidentifikasi suatu kelompok dengan pelabelan (stereotype) tertentu. Pelabelan negatif pada kelompok tertentu seringkali menjadi awal lahirnya ujaran kebencian yang menyasar kelompok tersebut.
Kedua, adanya sikap inferior lantaran merasa tersisih dan terpinggirkan dari perebutan ruang politik. Inferioritas inilah yang tidak jarang mengerucut pada sikap merasa terancam atas eksistensi kelompok yang mendominasi ruang politik. Dalam konteks ini, ujaran kebencian lebih merupakan bentuk dari strategi untuk mendelegitimasi kelompok yang tengah dominan di ruang politik.
Yang menarik adalah, kendati Anies kerap “diserang”, Gubernur DKI Jakarta ini tidak sama sekali merespons. Lantas, tindakan Anies yang cenderung diam, mungkinkah sebuah strategi tersendiri?
Baca juga: Giring PSI ‘Cari Sensasi’?
Potensi Player Victim
Sikap Anies yang diam terhadap semua kritik PSI dinilai oleh banyak pengamat sudah tepat. Meladeni kritik PSI, justru akan membuat kredibilitas Anies ikut turun. Hal ini dapat dibenarkan, karena sejauh ini, kritik yang dilayangkan kepada Anies dirasa tidak berimbang.
Banyak yang menilai, kritik PSI sebenarnya adalah kelanjutan dari sebuah dendam, kelanjutan dari Pilkada DKI Jakarta 2017. PSI yang saat itu mengusung Ahok kalah dalam Pilkada tersebut. Mungkin dapat dikatakan, PSI hingga sekarang belum dapat menerima kekalahan tersebut.
Jamiluddin Ritonga, pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, mengatakan terdapat kesan bahwa kritik yang ditujukkan kepada Anies bukan lagi kritik konstruktif, melainkan sudah mengarah pada upaya menguliti Anies secara personal.
Bahkan, menurut Ritonga, senyum Anies yang tulus saja dapat dinilai sebagai upaya untuk “ngeledek” PSI. Akibatnya, Anies seolah harus dinilai tidak benar meskipun kerjanya mendapat banyak penghargaan dari lembaga kompeten.
Selain itu, fenomena serangan PSI kepada Anies juga dapat mengakibatkan sebuah potensi atau gejala politik yang menguntungkan Anies. Dengan banyaknya dukungan warganet terhadap Anies, potensi mengondisikan Anies adalah korban kezaliman dapat menguntungkan DKI-1 dalam konteks meraih simpati publik lebih banyak.
Baca juga: Tarung Capres Giring vs Ahmad Dhani
Merujuk pada Sun Tzu dalam buku Seni Perang dan 36 Strategi, dijelaskan bahwa konsep playing victim dalam strategi perang diibaratkan sebagai sebuah strategi seolah kalah. Sun Tzu memberikan saran agar lukai diri sendiri untuk mendapatkan kepercayaan musuh, sehingga musuh masuk ke dalam jebakan dan menjadi umpan bagi kita.
Strategi ini bertujuan untuk mengelabui musuh agar merasa aman dan tidak terancam, serta memanfaatkan simpati publik dengan pernyataan-pernyataan maupun bingkai kejadian. Ujungnya, pelaku playing victim seolah sebagai korban teraniaya dalam kasus ini, yang kemudian menggugah simpati dan mengkonversi menjadi dukungan publik.
Jika kita bandingkan, dampak dari strategi playing victim ini pernah teruji di masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, SBY dinilai sebagai orang yang dizalimi di zaman Megawati. Akhirnya, peristiwa tersebut disinyalir melahirkan simpati publik yang kemudian menjadi dukungan bagi SBY dan memenangkan kursi presiden.
Menimbang telah ada basis historis kesuksesan playing victim dalam konteks politik Tanah Air, maka tidak menutup kemungkinan, fenomena seperti ini akan muncul. Banyak yang menyebut Anies sangat berpotensi memainkan peran ini.
Jadi, apa yang dilakukan oleh Giring sebenarnya hanyalah memberikan kredit positif bagi Anies. Kritik-kritik yang tendensius kepada Anies, pada akhirnya dapat dinilai sebagai sebuah tindakan blunder politik.
Di titik ini, Giring perlu membaca sentimen publik. Pasalnya, masyarakat menilai kredibilitas seorang Giring sebagai ketua umum partai politik, dari apa yang disampaikan di mimbar-mimbar politik. Oleh karenanya, Giring perlu lebih berhati-hati dalam menyatakan pendapat ataupun sikap yang sekiranya sensitif di telinga publik. (I76)
Baca juga: Giring vs Pasha: Perang Dua Vokalis?