AHY menyampaikan kritik terhadap Revolusi Mental yang dianaktirikan. Infrastruktur telah jadi program unggulan dengan sejuta keberhasilan, angkat topi untuk Menteri PUPR. Revolusi Mental? Haruskah bertanya pada Menko PMK, Puan Maharani?
PinterPolitik.com
“In war, you can only be killed once, but in politics, many times.”
:: Winston Churchill ::
[dropcap]I[/dropcap]t is always about war. Situasi politik nasional belakangan ini memang tengah diwarnai berbagai pertarungan dan pertempuran, layaknya perang di zaman kolonialisme, namun dengan dimensi yang berbeda. Perang memang tidak semata terjadi di medan pertempuran dan tidak selalu dimulai oleh militer.
Dalam konteks tersebut, para politisi seringkali memulai perang di antara mereka demi mewujudkan kepentingan tertentu. Setidaknya itulah pembelaan Jenderal William Westmoreland (1914-2005), pemimpin militer Amerika Serikat yang – harus diakui – dikalahkan oleh tentara-tentara Vietkong dalam perang Vietnam antara tahun 1964-1968.
Perang yang dimaksud Jenderal Westmoreland itu nyatanya memang sedang terjadi menjelang Pilpres 2019 di Indonesia. Pasalnya, beberapa hari terakhir menjelang Lebaran, publik justru disuguhkan pernyataan Komandan Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kritik AHY sangat konstruktif… tak perlu panik dan reaktif
— Yan Harahap (@YanHarahap) June 11, 2018
Kritik ini tentu mengejutkan, mengingat selama ini Partai Demokrat terlihat cenderung dekat dengan Jokowi, sekalipun koalisi di antara kedua pihak belum juga terjadi hingga saat ini.
Menariknya, salah satu hal yang dikritik oleh AHY adalah tentang Revolusi Mental yang merupakan janji kampanye unggulan Jokowi saat Pilpres 2014 lalu. AHY menilai pemerintah terlalu sibuk dengan program-program besar pembangunan infrastruktur dan melupakan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) – dalam hal ini Revolusi Mental.
Pernyataan AHY ini mendapatkan tanggapan beragam, umumnya berasal dari partai pemerintah, PDIP. Tentu pertanyaan yang muncul adalah mengapa kritik tersebut dikeluarkan? Adakah maksud lain yang ingin disampaikan oleh AHY, mengingat Revolusi Mental adalah program yang ada di bawah Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) yang dipimpin oleh putri mahkota PDIP, Puan Maharani?
Kritik AHY dan Koalisi Jalan Buntu
Dalam ilmu filsafat, ada konsep yang disebut sebagai logic and language. Konsepsi ini menyebutkan bahwa sebuah kalimat seringkali punya makna yang sangat banyak saat disampaikan. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan konteks dan cara penyampaian. Kalimat perintah misalnya, tidak selalu berarti menyuruh seseorang untuk melakukan sesuatu, tetapi bisa juga digunakan untuk menyampaikan perasaan.
Dalam konteks kritik AHY, konsep logic and language bisa digunakan untuk melihat alasan putra sulung Presiden ke-6 RI ini saat menyinggung soal Revolusi Mental.
Jika ditelusuri, sikap Partai Demokrat selama ini memang terbuka pada kemungkinan untuk membentuk koalisi mendukung Jokowi pada Pilpres 2019. Bahkan Sang Ketua Umum, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Rapimnas awal Maret lalu menekankan bahwa “sangat bisa Demokrat berjuang bersama bapak (Jokowi)”. Namun, pernyataan tersebut digarisbawahi dengan syarat adanya koalisi yang sehati di antara semua partai-partai pendukung – faktor yang belakangan sepertinya makin sulit terwujud.
Hubungan yang positif juga terus terlihat dalam berbagai kesempatan ketika AHY bertemu Jokowi, atau dalam pernyataan-pernyataan politik SBY dan Demokrat – sekalipun dalam beberapa kesempatan, SBY sempat pula melakukan pembelaan-pembelaan politik dalam tweet-tweet politik bertajuk “saya bisa jelaskan”. Artinya, sulit untuk melihat kritik AHY ini sebagai sesuatu yang tersurat dan semata-mata ditujukan untuk menyerang pemerintahan Jokowi.
Beberapa politisi PDIP, termasuk Puan Maharani, menilai apa yang disampaikan oleh AHY ini menunjukkan inkonsistensi sikap politik Demokrat. Namun, sesungguhnya, kritik AHY ini adalah gambaran besar “perang” yang terjadi di antara partai-partai yang ingin ikut dalam koalisi Jokowi dan menempatkan calonnya sebagai pendamping sang petahana.
Jika dimaknai secara langsung, AHY jelas tidak ingin menempatkan posisinya sebagai oposisi terhadap Jokowi. Kritik tentang Revolusi Mental justru terlihat lebih “menyerang” Menko PMK, Puan Maharani. Kementerian yang dipimpin Puan memang menjadi koordinator dalam mewujudkan mimpi Revolusi Mental tersebut.
Ini tentu sejalan dengan berbagai kritik yang menyerang putri Megawati Soekarnoputri tersebut. Puan memang selama ini dianggap sebagai salah satu menteri Jokowi yang layak untuk dicopot karena kinerjanya tidak sesuai ekspektasi banyak pihak. AHY jelas ingin menggarisbawahi bahwasanya dalam segala keberhasilan infrastruktur Jokowi, posisi Puan – dan tentu saja PDIP – adalah “kelemahan” dalam pemerintahan Jokowi.
Selain itu, kritik AHY ini tentu saja sejalan dengan masih mengambangnya kesepakatan koalisi pendukung Jokowi. Demokrat memang punya keinginan menjadi bagian dari pendukung Jokowi. Namun, keberadaan PDIP dalam koalisi jelas menjadi hambatan bagi partai biru tersebut. Jika saja PDIP belum mengumumkan Jokowi sebagai capres, sangat besar kemungkinan saat ini Demokrat telah mendeklarasikan dukungannya terhadap Jokowi.
kritik bang AHY itu bnr, emg tak ada yg bs bantah klo indonesia itu krisis mental salah 1 nya seperti ini, krisis anti kritik. bkn mslh objektivenya pak mslh mau terima atau tak terima. jgn membunuh lawan politik dgn komentar mengeles
— Achmad Rizqi (@rizqiyoung) June 12, 2018
Hal ini kemudian menjadi semakin menarik karena kebetulan pula setelah kritik AHY, Jokowi bertemu dengan Megawati Soekarnoputri di Istana Batu Tulis, yang salah satu agendanya adalah membicarakan persoalan penentuan cawapres untuk Jokowi.
Dengan demikian, kritik AHY sangat mungkin tidak diarahkan secara personal kepada Jokowi, tetapi kepada partai pemerintahan, dalam hal ini PDIP. Maka, bisa dipahami mengapa reaksi keras terhadap AHY datang dari PDIP. Selain itu, sekalipun telah mengkritik Jokowi, Partai Demokrat tetap menyatakan masih terbuka dengan kemungkinan menjadi bagian dari koalisi Jokowi.
So, ketimbang dimaknai sebagai kritik murni, apa yang disampaikan oleh AHY tidak lebihnya adalah gambaran pertarungan antara partai-partai pendukung Jokowi. Apalagi, PDIP disebut-sebut berharap memasangkan Jokowi dengan cawapres pilihannya, salah satunya dengan Budi Gunawan (BG) atau Puan Maharani sendiri, dan hal ini menyebabkan semakin sulit terciptanya win-win solution dalam koalisi. Yang kita bicarakan ini adalah koalisi pendukung yang berisi tokoh-tokoh “diam-diam mendayung” macam Airlangga Hartarto, hingga yang ngebet cawapres macam Muhaimin Iskandar.
Kritik AHY juga menjadi peringatan kepada Jokowi dan PDIP, bahwa partai tersebut masih punya posisi politik untuk menjadi oposisi dan melancarkan kritik-kritik terhadap pemerintah. Ketimbang menjadi lawan, mengapa tidak menjadi kawan – mungkin itu yang ingin disampaikan oleh AHY.
Political Game Jokowi
Apa yang sedang terjadi ini sesungguhnya tidak lebih dari political game yang ditampilkan untuk mewujudkan koalisi yang punya kemungkinan paling besar memenangkan Jokowi.
Daron Acemoglu, Georgy Egorov, dan Konstantin Sonin dari Centre for Economic and Financial Research at New Economic School (NES) dalam sebuah Working Paper berjudul “Coalition Formation in Political Games” menyebutkan bahwa sebuah koalisi penguasa atau pemenang harus mampu diisi oleh partai-partai yang punya kekuatan politik untuk mengalahkan koalisi-koalisi alternatif lain yang mungkin muncul, dan bahwa koalisi tersebut harus mampu mencegah munculnya subkoalisi yang berpotensi melahirkan koalisi penguasa atau pemenang baru.
Dengan bermodalkan Golkar, PDIP, dan – jika nanti terwujud – Demokrat saja, Jokowi tentu akan sangat mudah melenggang untuk periode ke-2 kekuasaannya. Namun, peluang melahirkan subkoalisi yang punya kepentingan sendiri dan menyandera Jokowi juga berpotensi terjadi.
Dengan isu belum adanya “hitam di atas putih” penugasan Megawati terhadap Jokowi – sekalipun pertemuan di Istana Batu Tulis terlihat menjadi salah satu faktor pembantah – serta gejolak yang juga terjadi di tubuh Golkar (termasuk dengan mundurnya Titiek Soeharto), kritik AHY punya dimensi yang menohok terhadap political game yang ingin digunakan oleh Jokowi memenangkan kembali kekuasaan.
Pada titik ini, jelas terlihat bahwa Jokowi adalah tokoh politik yang jenius mengelola potensi terbentuknya koalisi dengan partai-partai dominan. Persoalannya tinggal pilihan politik mana yang paling menguntungkan bagi sang petahana.
“Perang” tentu saja masih akan terjadi di antara ketiga partai dominan tersebut, dan Jokowi tentu harus mencari cara untuk mengelola situasi politik ini agar tidak merugikannya secara politik. Ribut-ribut politik tentu saja tetap tidak baik untuk pemerintahan pria kelahiran Solo itu.
AHY telah menampilkan sisi lain dari koalisi jalan buntu pendukung Jokowi ini. Yang jelas, kritik AHY tentang daya beli menunjukkan bahwa Demokrat punya solusi pasangan Jokowi yang paham soal ekonomi. Dengan demikian, ini memang bukan hanya soal Revolusi Mental saja.
Pada akhirnya, semoga kedamaian Idul Fitri memberikan Jokowi kesempatan untuk menentukan pilihan politik yang paling tepat, karena – seperti kata Churchill di awal tulisan ini – orang bisa terbunuh berkali-kali dalam politik. (S13)