Dukungan Gubernur NTB Zainul Majdi menuai polemik. Walau berisiko terkena sanksi dari Demokrat, namun Tuan Guru Bajang mengaku siap menerimanya.
PinterPolitik.com
“Kesempurnaan moral datang dari kebiasaan, melakukannya disetiap tindakan, mengerjakan hal-hal yang menenangkan, dan berani menerima risiko.” ~ Aristoteles
[dropcap]D[/dropcap]alam bukunya, Etika Nikomakea, Aristoteles menuliskan bahwa etika kebajikan berpusat pada watak, karena hanya melalui tindakan baik yang akan membangun watak menjadi baik pula. Etika yang dikenal sebagai teleologis ini, juga menyatakan kalau orang bijak biasanya akan melakukan tindakan-tindakan berani dan bersedia menerima risiko.
Merujuk pada pernyataan Aristoteles ini, tindakan berani Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) TGH. M. Zainul Majdi yang berbeda pilihan dan bersedia menerima risiko dari partainya, mungkin juga dapat dimasukkan sebagai seseorang dengan kategori yang memiliki etika kebijakan moral dari filsuf klasik Yunani di atas.
Sebagai salah satu anggota Majelis Tinggi Demokrat, pria yang dikenal sebagai Tuan Guru Bajang (TGB) ini, dianggap telah melanggar etika politik partainya karena berani menyatakan dukungan pada Jokowi di Pemilihan Presiden mendatang. Padahal hingga kini, Partai Demokrat belum menetapkan dukungannya pada calon presiden manapun.
Pernyataan terbuka TGB juga menimbulkan kontroversi, sebab sebelumnya ia merupakan salah satu tim pemenangan Prabowo Subianto di Pilpres 2014 lalu. Bahkan Persaudaraan Alumni (PA) 212, langsung mencoret namanya dari daftar rekomendasi capres pilihan mereka.
Walau terancam sanksi partai dan dijauhi para ulama pendukung PA 212, termasuk mendapatkan kritik pedas dari Dewan Penasihat PA 212 Amien Rais, namun TGB mengaku dirinya mendukung Jokowi atas dasar pertimbangan akal sehat dan demi kemaslahatan masyarakat yang dipimpinnya.
Baginya, sangat logis bila Jokowi mendapatkan kesempatan sebagai presiden selama dua periode agar pembangunan infrastruktur yang kini masih dalam taraf pengerjaan dapat diselesaikan dengan baik. Namun di sisi lain, tak sedikit yang menyangsikan alasan tersebut dan menduga kalau TGB hanya ingin mengincar kursi cawapres Jokowi semata.
Kratologi dan Realitas Politik
“Tindakan politik harus menekankan pada moralitas, sebab tidak ada manusia yang bisa mencapai kebenaran hakiki.” ~ Plato
Bila melihat dari sudut pandang etika politik, tindakan TGB yang melangkahi keputusan partai memang dapat dikatakan sebagai sebuah kesalahan. Namun dalam alam demokrasi, keputusan pribadinya ini juga tak bisa begitu saja dipersalahkan. Apalagi, TGB pun memahami konsekuensi yang harus dihadapinya.
Hingga kini pun, Demokrat sendiri belum memutuskan akan memberi sanksi atau tidak pada TGB. Selain menghormati pilihan pribadi TGB, Kadiv Advokasi dan Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean juga mengaku pemberian sanksi belum dapat dilakukan karena partai juga belum memutuskan siapa yang akan didukung di Pilpres nanti.
Alasan TGB yang mendukung Jokowi demi keberlangsungan pembangunan di NTB, menurut Aristoteles adalah tindakan yang wajar. Sebab umumnya, tindakan politik sangat berkaitan dengan etika politik dan ekonomi. Dalam hal ini, pelanggaran etika politik yang dilakukan TGB memang berkaitan dengan perekonomian di wilayah yang dipimpinnya.
Jadi sekali lagi kami tekankan, yang salah dari TGB bukan karena dia mendukung Jokowi. Bukan itu. Karena di internal Demokrat kader yang ingin agar Partai mendukung Jokowi juga banyak kok,” jelas dia. pic.twitter.com/8jUVgKfnwx
— BANG TARSIUS (@KusnandarNanda7) July 10, 2018
Sikap TGB yang lebih mementingkan tanggung jawabnya sebagai penguasa NTB dibanding partai ini, menurut Niccolo Machiavelli merupakan sebuah realitas politik. Sebab demi keberhasilan kepemimpinannya, TGB berani mendukung Jokowi untuk berkuasa sebagai presiden selama dua periode, mendahului keputusan partainya.
Realitas politik yang dilakukan TGB ini juga dapat disebut sebagai kratologi atau upaya mendapatkan kekuasaan secara demokratis dan sekaligus menggunakannya secara demokratis pula. Dengan kata lain, TGB sebenarnya mendukung pemimpin yang nantinya juga akan membantu keberhasilan kepemimpinannya di NTB.
Mega Proyek NTB, Rasionalitas TGB
“Hendaknya negara mewujudkan penyelenggaraan pelayanan umum sebaik-baiknya kepada masyarakat.” ~ Aristoteles
Sebagai Gubernur NTB, TGB dikenal sebagai salah satu pemimpin muda berprestasi. Dalam dua periode kepemimpinannya ini, ia mampu mengubah wajah NTB dari wilayah yang sebelumnya dianggap terbelakang menjadi provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tinggi melalui berbagai pembangunan yang mampu mengurangi angka kemiskinan.
Pada Pembukaan Koordinasi Teknis Perencanaan Pembangunan (Kortekrenbang) Regional 2 Tahun 2018 di Mataram, beberapa waktu lalu, TGB memaparkan kalau pembangunan di NTB kini telah memenuhi sebagian besar prioritas pembangunan daerah, dengan angka pertumbuhan ekonomi yang terbilang progresif.
Selain itu, TGB pun menyampaikan beberapa rencana besar yang sedang dilaksanakan di NTB, yaitu pembangunan tiga kawasan potensial seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Pengembangan Kawasan Samota di Pulau Sumbawa, dan Global Hub Bandar Kayangan yang nantinya akan menjadi pelabuhan sekaligus pusat ekonomi dunia kedua setelah Singapura.
Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko bahkan yakin kalau Provinsi NTB sangat berpotensi menjadi pusat ekonomi dunia bila dilihat dari sejumlah mega proyeknya tersebut. Meski begitu, ketiga kawasan ini tentu tidak bisa dilakukan sendiri mengingat Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang terbatas.
Di sinilah TGB melihat bahwa keberpihakan pemerintah pusat dalam mendukung pengembangan pembangunan di wilayahnya sangat dibutuhkan. Sebagai Presiden yang menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai target utama pemerintahannya, Jokowi tentu dapat membantunya mewujudkan mimpi menjadikan NTB sebagai kawasan ekonomi dunia tersebut.
Apalagi sejak awal, Jokowi lebih banyak mengutamakan pembangunan infrastruktur di kawasan pinggiran dan timur Indonesia, salah satunya NTB. Kesamaan visi, misi, serta kepentingan ini, bisa jadi merupakan alasan yang dianggap logis bagi TGB dalam memutuskan untuk mendukung kekuasaan Jokowi pada periode selanjutnya.
Dukungan TGB kepada Jokowi atas pertimbangan kebijakan pembangunan ini, dapat disebut sebagai model pemilih rasional (rational choice theory). Menurut Anthony Downs, James Buchannan, Gordon Tullock, dan Manchur Olsen, pemilih rasional lebih menekankan penilaiannya terhadap ekonomi, sosial, dan politik dirinya atau wilayahnya.
Pemilih rasional ini, menurut Downs, lebih tertarik untuk memilih kandidat yang paling menjanjikan keuntungan bagi dirinya. Ia tidak tertarik pada konsep politis partai, namun pada keuntungan yang akan ia dapat apabila kandidat yang didukungnya ini menduduki pemerintahan, dibandingkan capres lainnya.
Perkataan Downs tersebut, diakui sendiri oleh TGB. Baginya, alasan dukungan ini tak lebih dari kebijakan yang ditekankan pemerintah (government actions) selama Jokowi berkuasa. Melalui kebijakan pembangunan infrastruktur tersebut, ia menyaksikan sendiri bagaimana kerja keras mantan Walikota Solo tersebut telah memberikan manfaat baik bagi dirinya maupun masyarakatnya.
Jadi, terlepas dari isu apakah TGB akan terpilih sebagai cawapres Jokowi atau tidak, dapat dilihat bahwa sebenarnya keduanya memiliki cita-cita dan impian yang sama. Di balik kekurangannya yang kerap dikritik para oposisi, Jokowi dimata TGB mampu mewujudkan pandangan politik klasik yang diharapkan Aristoteles, yaitu kekuasaan yang dapat membawa kebaikan bagi seluruh masyarakat melalui pembangunan pelayanan umum yang sebaik-baiknya. (R24)