Mungkinkah kubu Prabowo tengah berupaya mendelegitimasi hasil pemilu sedari awal dengan cara sering menyerang KPU?
PinterPolitik.com
[dropcap]R[/dropcap]amai-ramai soal “bocoran soal” debat Pilpres 2019 kini memenuhi timeline berita politik nasional menjelang Pilpres 2019.
Hal ini lantaran kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang membuat kebijakan bahwa daftar pertanyaan dalam debat perdana Pilpres 2019 akan diberitahukan ke capres-cawapres.
Menyerang KPU dan mempermasalahkan netralitasnya menjadi salah satu strategi yang memungkinkan untuk melawan otoritas petahana yang mendapat keuntungan lebih dibanding oposisi Share on XDengan mengusung tema ‘Hukum, HAM, dan Terorisme’ yang dijadwalkan digelar pada 17 Januari mendatang, sekitar seminggu sebelum debat digelar, daftar pertanyaan akan diberitahukan ke masing-masing capres-cawapres.
Menurut Ketua KPU Arief Budiman, ini merupakan metode terbuka-tertutup dalam gelaran debat. Menurutnya, akan ada 20 pertanyaan, yang akan diacak untuk kemudian dipilih 3 pertanyaan karena ada 3 segmen yang akan menjadi format debat.
Pemberian pertanyaan yang sepenuhnya tertutup juga berlaku yakni pada sesi masing-masing capres-cawapres saling melempar pertanyaan dan pertanyaan apa yang akan muncul bersifat rahasia.
Menurut komisioner KPU, seperti dilansir Detik.com, Pramono Ubaid Tanthowi menyebut metode terbuka-tertutup tersebut dimaksudkan agar penyampaian visi dan misi dari para capres-cawapres dapat disampaikan dengan sempurna. Selain itu, para capres-cawapres juga bisa mempersiapkan lebih matang tentang apa yang akan disampaikan di panggung debat.
Namun, metode ‘bocoran’ soal dalam debat seperti ini akhirnya menuai kontroversi. Kubu Prabowo-Sandi yang diwakili oleh jubir BPN Andre Rosiade kembali mengkritik kebijakan lembaga penyelenggara pemilu tersebut.
Ramai-ramai menyerang KPU ini menjadi menarik jika diamati dalam kondisi perpolitikan menjelang Pilpres yang semakin panas.
Mengapa kubu Prabowo kini rajin berurusan dengan KPU dengan berbagai serangan-serangannya? Mungkinkah ada makna di balik sikap kritis BPN terhadap lembaga tersebut?
Serangan Beruntun
Seiring dengan semakin dekatnya gelaran pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia, kinerja KPU kian menjadi sorotan dan sasaran kritik kubu oposisi.
Tak hanya mempersoalkan soal skema ‘bocoran soal’ yang telah dirancang KPU, jika di flashback ke belakang, tim Prabowo-Sandi tampak sering menggoyang lembaga penyeleggara pemilu tersebut.
Sebut saja menyoal kritik terhadap kotak suara, mempermasalahkan DPT, hingga hoaks tujuh kontainer surat suara yang telah dicoblos yang beberapa bulan menjelang Pilpres ini sering menjadi headline berita.
Dalam konteks kotak suara, BPN Prabowo-Sandi mengkritisi kebijakan KPU yang akan menggunakan kotak suara berbahan karton. Dengan dalih mengurangi kredibilitas pelaksanaan pemilu, kondisi fisik kotak suara berbahan karton tersebut akan memunculkan kecurigaan masyarakat terhadap KPU akan terjadinya kecurangan.
Sementara itu, menyoal DPT, Anggota Direktorat saksi BPN, Ahmad Riza Patria beberapa waktu lalu dan menilai perlu dilakukan untuk memberi gambaran detail pemilih dengan dalih ketidakpercayaan kubunya terhadap data DPT yang selama ini dimiliki KPU .
Pada tahun 1978, Pemilihan Ketua Dewan Mahasiswa ITB dilakukan secara demokratis dan langsung, tidak bertahap seperti biasanya (pilih senator dulu baru Ketua DM). Ada seri debat yg seru. Ini kok @kpu_id mau buat demokrasi mundur dgn bocorkan materi debat. Quo vadis KPU ?
— Dr. Rizal Ramli (@RamliRizal) January 6, 2019
Selain itu, ada pula hoaks 7 kontainer surat suara yang telah dicoblos yang menyeret politisi partai Demokrat, Andi Arief. Kabar 7 kontainer surat suara tercoblos ini banyak beredar di media sosial, dimana di twitter Andi Arief menyampaikan informasi adanya 7 kontainer surat suara yang telah tercoblos dan diamankan Tanjung Priok. Statement Andi Arief tersebut sontak membuat KPU reaksioner dan semakin memanaskan atmosfer kontestasi Pilpres.
Kini, pihak Prabowo mengkritik keras KPU karena merasa dirugikan dengan kebijakan mengenai bocoran soal debat. Menurut BPN, metode semacam itu akan menguntungkan petahana karena akan lebih siap dalam menyiapkan contekan.
Sementara itu, Direktur Materi dan Debat Prabowo-Sandiaga, Sudirman Said, menilai pemilih akan dirugikan dengan keputusan KPU itu dimana pemilih akan kehilangan hak untuk mengetahui kempampuan asli calon pemimpinnya.
Dalam konteks kritikan tersebut, terlihat bahwa adanya insecurity dari kubu oposisi. Insecurity yang dirasakan kubu oposisi memang wajar terjadi dalam setiap gelaran pesta demokrasi lima tahunan ini. Hal ini karena posisi KPU sebagai lembaga penyelenggara KPU dapat dibilang rawan dipolitisasi.
Jika belajar dari Negara lain, sebuah lembaga penelitian bernama GEC menerbitkan sebuah laporan yang menyoroti politisasi lembaga pemilihan umum menjelang pemilu legislative di Republik Demokratik Kongo pada akhir tahun 2018 lalu.
Dua lembaga kunci dalam penyelenggaraan pemilu yakni Independent National Electoral Commission (CENI) dan Mahkamah Konstitusi, yang diduga melakukan serangkaian aksi manipulatif terhadap proses pemilu di Kongo.
Jokowi adalah Presiden Pertama Indonesia yang paling banyak di olok olok rakyat. Paling banyak diledek rakyat. Paling banyak di kritik rakyat. Paling banyak di bully rakyat
Baru kali ini seorang presiden hampir tak ada harganya didepan rakyat.!#2019GantiPresiden #KPUCurang
— FERDINAND HUTAHAEAN (@Ferdinand_Haean) January 7, 2019
Dalam laporan tersebut, dikatakan bahwa kelemahan lembaga pemilu ini adalah dipolitisasi oleh otoritas berwenang untuk mengendalikan, mengkooptasi atau memecah kekuatan-kekuatan politik dan sosial yang seharusnya berfungsi sebagai penyeimbang seperti oposisi, masyarakat sipil dan organisasi profesi.
Dalam laporan tersebut, politisasi lembaga penyelenggara pemilu tersebut terjadi karena sebagian besar anggota CENI dan Mahkamah Konstitusi hari ini menunjukkan kedekatan dengan koalisi Presiden Kongo, Joseph Kabila. Sehingga, peran lembaga yang bertanggung jawab untuk memastikan transparansi dalam proses pemilu ini hampir tidak efektif.
Hal itu menjadi gambaran bahwa lembaga penyelenggara pemilu memang rentan mengalami manipulasi. Gambaran tersebut menjadi alarm bahwa lembaga seperti KPU harus amat berhati-hati sehingga tidak melakukan hal serupa.
Antisipasi Kekalahan?
Selain sebagai representasi insecurity, kritik oposisi terhadap KPU bisa jadi diejawantahkan sebagai sebuah strategi politik untuk mendelegitimasi hasil pemilihan umum yang masih akan berlangsung ini. Bagaimana hal tersebut mungkin terjadi?
Dalam penelitian Lucilia Pereira yang berjudul Free and Fair: The Politicization of Election Monitoring Reports menemukan bahwa politisasi terhadap laporan monitoring pemilu jamak terjadi di beberapa negara. Hal ini disebabkan karena pihak oposisi dari sebuah pemerintahan memang memiliki kepentingan untuk mempersoalkan legitimasi pemilu yang pada kadar tertentu akan berdampak terhadap kepentingan-kepentingan politik tertentu.
KPU terburuk dalam sejarah Indonesia:
================
-Orang gila ikut milih.
-Data misterius 31juta.
-Menolak audit forensik.
-Batalkan debat visi.
================
kalian ini KPU apa Timses? #KPUWasitRasaTimses— Haikal Hassan Baras (@haikal_hassan) January 7, 2019
Sementara itu, dalam konteks Indonesia, berdasarkan penjelasan sebelumnya, lembaga penyelenggara pemilu memang rawan untuk dipolitisasi, meskipun hal tersebut sangat jarang bisa dibuktikan dalam konteks politik Indonesia.
Oleh karenanya, untuk melawan politisasi yang mungkin saja dilakukan oleh kubu petahana, kubu oposisi kini terlihat mencoba untuk memainkan konteks legitimasi yang cukup krusial dalam pemilu.
Hal ini sejalan dengan pendapat Kimmo Grönlund dan Maija Setälä dalam tulisanya berjudul Low Electoral Turnout: An Indication of a Legitimacy Deficit yang menyebut bahwa pemilu adalah simbol kuat legitimasi demokratis dalam sebuah negara, dan oleh karenanya kepercayaan publik terhadap hasil pemilu menjadi krusial bagi legitimasi sebuah pemerintahan.
Jika legitimasi pemilu dipermasalahkan, maka pada kadar tertentu bisa saja akan berdampak pada degradasi publik terhadap kepercayaan terhadap pemerintah. Sehingga menyerang KPU dan mempermasalahkan netralitasnya menjadi salah satu strategi yang memungkinkan untuk melawan otoritas petahana yang mendapat keuntungan lebih dibanding oposisi.
Oleh karenanya,dengan cara menyerang KPU, jika proses delegitimasi ini berjalan masif dan konsisten, dampaknya bisa jadi akan terasa bahkan hingga pasca pemilu berlangsung.
Kebijakan dan tingkah laku KPU kini tengah dipertaruhkan dihadapan pemilih. Tentunya, Pilpres 2019 adalah pertaruhan dimana demokrasi di Indonesia menjadi sorotan berbagai pihak, terlebih posisi KPU sebagai lembaga independen penyelenggara KPU.
Pada akhirnya, terlepas apakah benar kubu oposisi sedang mendelegitimasi pemilu sedari awal, pola yang terlihat tak bisa dianggap remeh. Kini, sebaiknya kubu petahana berhati-hati terhadap pancingan-pancingan yang dikeluarkan oleh oposisi melalui serangan terhadap lembaga penyelenggara pemilu. (M39)