Dari hasil penangkapan KPK selama ini, diketahui bahwa korupsi di perusahaan swasta lebih mendominasi dibanding korupsi di pemerintahan dan birokrasi. Bisakah KPK menjadi pengawas korupsi swasta?
PinterPolitik.com
“Makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi.” ~ Soe Hok Gie
[dropcap]A[/dropcap]ndai Soe Hok Gie masih hidup saat ini, entah apa yang akan ia katakan lagi untuk mengungkapkan kesedihannya. Di era kapitalis dan konsumtif saat ini, korupsi sudah seperti budaya yang mengakar dari generasi ke generasi. Sehingga dari waktu ke waktu, pemberantasannya semakin sulit dan penuh dengan perjuangan.
Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seakan menjadi angin sejuk bagi masyarakat, apalagi bila dilihat dari kinerjanya saat ini. Hanya saja, sebagai lembaga negara, KPK memiliki keterbatasan dalam melakukan pengawasan dan penindakan. Salah satunya, pengawasan KPK hanya berlaku bagi lembaga negara dan pemerintahan.
Padahal, korupsi tidak hanya membudaya di institusi negara saja, tapi juga di sektor swasta. Berdasarkan data KPK, dari 670 koruptor yang ditangani sejak 2004 hingga 2017, terdapat sekitar 170 koruptor atau 25 persennya berasal dari swasta. Data ini menunjukkan kalau korupsi di swasta sebenarnya lebih banyak, dibanding kepala daerah, anggota legislatif, maupun penyelenggara negara lainnya.
Walaupun berdasarkan undang-undang (UU) KPK dan UU Pemberantasan Korupsi, KPK dapat mengusut swasta, namun hanya terbatas pada pihak swasta yang memiliki keterlibatan dengan pegawai negeri atau penyelenggara negara semata. Di luar itu, KPK tidak memiliki kewenangan, walaupun korupsi yang dilakukan swasta tersebut dapat saja berpotensi menimbulkan kerugian bagi negara.
Oleh karena itu, KPK tengah berupaya mendapatkan kewenangan untuk dapat mengusut tindak pidana korupsi yang pelakunya sektor swasta. Baik Ketua KPK Agus Rahardjo maupun Wakil Ketua KPK Laode M Syarif sama-sama berharap pemerintah maupun parlemen dapat membuat kerangka hukum soal korupsi di sektor swasta ini.
Belajar dari lembaga pemberantasan korupsi di Singapura dan Hong Kong, menurut Agus, sebenarnya pemerintah dapat memperluas kewenangan KPK hingga ke sektor swasta. Sebab walau Indonesia telah memiliki UU pencegahan korupsi di sektor swasta, namun penanganannya hingga kini belum dapat dikatakan maksimal.
Korupsi Di Sektor Swasta
“Sebuah pemerintahan, yang hanya melindungi kepentingan bisnis saja, tak lebih dari sekadar cangkang, dan segera runtuh sendiri oleh korupsi dan pembusukan.” ~ Amos Bronson Alcott, penulis.
Berdasarkan temuan KPK, sebagian besar kasus korupsi yang terjadi di sektor swasta adalah tindakan penyuapan pada pejabat publik untuk memuluskan kepentingannya. Peraturan dan birokrasi yang berbelit, pada umumnya menjadi ujung pangkal terjadinya penyuapan pejabat negara oleh pihak swasta.
Menurut Laode, angka suap yang terjadi pun jumlahnya bisa mencapai miliaran dan sebagian besar menyatakan kalau uang tersebut berasal dari kantong pribadi. Alasan tersebut bagi Laode merupakan kebohongan, sebab bila orang tersebut mengatasnamakan perusahaan, pasti uangnya juga berasal dari perusahaan.
Sayangnya, penindakan yang dapat dilakukan KPK hanyalah sebatas pelaku yang memberikan suap atau penerima keuntungan dari tindak korupsi yang dilakukan. Sementara, pihak perusahaan sebagai pembuat keputusan untuk melakukan penyimpangan hukum tersebut tidak dapat disentuh oleh KPK.
Di sisi lain, Indonesia sebenarnya telah memiliki landasan hukum mengenai korupsi di sektor swasta. UU No. 7 tahun 2006 merupakan hasil ratifikasi konvensi PBB dalam melawan korupsi atau United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Di salah satu pasalnya, dijelaskan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya korupsi, termasuk larangan memberikan suap pada pejabat publik, baik di dalam maupun luar negeri.
Hanya saja, dalam pelaksanaannya UU tersebut tidak banyak digunakan karena ketiadaannya pengawasan di sektor swasta. Apalagi dalam UU anti korupsi (tipikor), seperti UU No. 20 tahun 2001 dan UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK, belum secara tegas mengatur mengenai pengawasan dan pencegahan korupsi di sektor swasta. Oleh karena itu, KPK berharap dapat memperluas pengawasannya ke sektor tersebut.
Bagi Agus, pemerintah sebenarnya dapat meniru lembaga anti korupsi di Singapura (Corrupt Practices Investigation Bureau/CPIB) dan Malaysia (Malaysia Anti-Corruption Commission/MACC) yang memberikan kewenangan penuh pada lembaga anti rasuahnya untuk mengusut korupsi di sektor swasta secara langsung.
Selain dapat mengawasi sektor swasta yang terkait lembaga negara, CPIB maupun MACC juga sudah mampu menindak korporasi yang melakukan penyimpangan, meski tidak melibatkan penyelenggara negara maupun tidak merugikan keuangan negara. Termasuk kewenangannya untuk menindak korporasi yang menyusun pembukuan keuangan ganda.
Bisakah Peran KPK Diperluas?
“Korupsi itu seperti bola salju, setelah menetap akan bergulir terus membesar dan membesar.” ~ Charles Caleb Colton
Untuk mendapatkan kewenangan luas seperti CPIB maupun MACC, KPK memang harus melalui jalan berliku terlebih dahulu. Karena untuk dapat memperluas kewenangannya, harus ada UU yang disahkan pemerintah maupun legislatif sebagai landasan hukumnya. Padahal saat ini, kinerja KPK saja masih menjadi sorotan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK di DPR.
Di lain pihak, keinginan KPK untuk memperkuat kerangka hukum tersebut, ternyata mendapat respon positif dari Pemerintah. Presiden Jokowi telah menyatakan akan menerbitkan peraturan mengenai pencegahan korupsi yang terkait swasta, saat membuka acara peringatan Hari Anti Korupsi Internasional, Senin (11/12) lalu.
Peraturan tersebut, terutama yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa, pencegahan penerimaan negara dari pajak, hingga manajemen antisuap di sektor swasta. Jokowi berharap dengan lahirnya kebijakan tersebut, akan memperkecil ruang korupsi secara sistematis. Penegakan hukum ini penting, terutama dengan pemberantasan tersebut pada 2016-2017, uang negara yang terselamatkan bisa mencapai Rp 3,55 triliun.
Presiden @jokowi: Seluruh institusi pemerintah dan swasta harus memperkecil peluang korupsi dengan meningkatkan deregulasi melalui pemangkasan regulasi yang tidak penting, memperbaiki sistem dan meningkatkan transparansi. #LintasiNewsSore pic.twitter.com/ZblszTPOiQ
— Lintas_MNCTV (@Lintas_MNCTV) December 11, 2017
Seiring dengan tekad tersebut, KPK bekerjasama dengan Kementerian Tenaga Kerja juga telah menetapkan adanya certified integrity officer atau Kompetensi Ahli Pembangunan Integritas. Kesepakatan ini dikukuhkan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri dengan ditandatanganinya Surat Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia tentang Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Ahli Pembangun Integritas (SKKNI API).
SKKNI API ini, menurut Agus, merupakan salah satu dari upaya KPK dalam melakukan langkah-langkah pencegahan dari internal korporasi di sektor swasta. Sebab SKKNI API ini wajib dimiliki oleh sebuah perusahaan, dan bertugas untuk memperteguh visi dan nilai-nilai integrasi organisasi tersebut.
Begitu pun dengan upaya kerjasama KPK dengan KADIN beberapa waktu lalu, agar pencegahan korupsi juga dapat menjangkau ke seluruh operasional perusahaan di Indonesia. Langkah lainnya, KPK tengah menyusun panduan pencegahan korupsi berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 yang diharapkan selesai pada 2018 mendatang.
Panduan yang disusun berdasarkan Perma ini, ke depannya akan bertugas sebagai ‘tempat bertanya’ mengenai berbagai hal yang menyangkut korupsi, seperti pemberian gratifikasi, suap, dan lainnya. Bila panduan tersebut telah selesai, KPK akan berupaya untuk mengusulkannya menjadi undang-undang.
Sadar akan kemungkinan kendala yang akan dihadapi KPK di tingkat legislatif, KPK pun mengajak lembaga negara lainnya, seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Mabes Polri untuk merumuskan tata cara penegakan hukum pidana korporasi yang dirumuskan dalam Perma tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi tersebut.
Apalagi, Perma ini akan memudahkan aparat penegak hukum (KPK, Polisi, Jaksa, Hakim) dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan memutus perkara-perkara yang melibatkan korporasi. Kehadiran Perma ini juga diharapkan sebagai ‘early warning’ bagi korporasi agar tidak lagi melakukan penyuapan kepada pejabat publik, karena aparat telah memiliki ‘guidance’ lengkap untuk menjerat korporasi nakal.
Untuk itulah, KPK juga merasa perlu untuk melakukan sejumlah langkah preventif lainnya, termasuk membentuk Komite Advokasi Nasional untuk Antikorupsi. Komite ini, rencananya akan terdiri dari regulator pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM), asosiasi, dan akademisi. Bila semua penegak hukum dan unsur masyarakat ini telah bersatu untuk mencegah terjadinya tindak korupsi di segala sektor, impian Indonesia menjadi negara yang bebas korupsi tentu akan mampu tercipta. (R24)