Drama politik kembali melanda KPK. Kali ini lembaga anti rasuah itu diserang oleh Pansus Hak Angket yg dibentuk oleh DPR. Katanya, Jokowi ingin memberantas korupsi, tapi kok dia diam saja, ada apa?
Pinterpolitik.com
Lagi-lagi sikap Presiden Jokowi mengambang dalam drama politik yang melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Drama ini bermula kala KPK membongkar kasus korupsi pengadaan E-KTP yang disinyalir merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun. Kasus ini pun menyeret anggota Komisi II DPR periode 2009-2014, Miryam Haryani, sebagai tersangka. Sejurus dengan jalannya persidangan Miryam, puluhan anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 lainnya juga disebut menerima fee dari uang yang dianggarkan dalam proyek E-KTP tersebut. Seolah tidak terima anggotanya ‘disenggol’, sejumlah fraksi di DPR menyerang balik dengan membentuk panitia khusus (pansus) hak angket guna mengevaluasi kinerja KPK.
“Itu wilayahnya DPR”
Anehnya, kala ditanya wartawan terkait pembentukan pansus hak angket, Presiden Jokowi hanya memberi muka masam dan jawaban singkat. “Itu wilayahnya DPR,” ujar Jokowi. Menurut keterangan yang diberikan Staf Khusus Bidang Komunikasi Kepresidenan, Johan Budi, Jokowi dapat memiliki peran ketika pansus hak angket telah mengeluarkan hasil. Bila hasilnya berujung pembubaran KPK, Jokowi dikatakannya akan menolak hasil tersebut.
Saat dibentuk, pansus hak angket terdiri dari 23 orang. Separuhnya diisi oleh anggota Fraksi PDIP dan Fraksi Golkar. Enam orang berasal dari Fraksi PDIP dan lima orang berasal dari Fraksi Partai Golkar. Jelas sekali ‘Banteng’ dan ‘Beringin’ mesra mendominasi pansus.
Dengan komposisi tersebut, hanya butuh 1 orang lagi untuk merajai konstelasi politik pansus hak angket. Tentu saja, partai Nasdem – partai yang dikenal loyal kepada PDIP – tidak akan sungkan untuk mengirim kadernya untuk mendukung langkah PDIP dan Golkar.
Sebenarnya, Jokowi bisa saja menempuh langkah politik dengan mengusulkan ke partainya, PDIP, untuk tidak mengirimkan perwakilan ke pansus hak angket. Akan tetapi, lagi-lagi Jokowi memberikan jawaban mengambang. “Hak angket KPK ini wilayahnya DPR, sekali lagi,” ujar Jokowi. Andai saja Jokowi berani, tentu dia bisa saja melobi Ketua Umum PDIP, Megawati, untuk mencegah kader-kadernya masuk dalam pansus hak angket. Tapi hal ini urung dilakukannya.
Ada apa dengan Jokowi?
Para Bos Partai Yang Diburu KPK
Bukan barang baru lagi, untuk urusan korupsi, PDIP dan Golkar memang rajin menjadi buronan KPK.
Tahun 2016 lalu, ada 10 kepala daerah yang terjerat korupsi. Lima di antaranya berasal dari PDIP dan Golkar, yakni Bupati Subang Ijang Sohandi (PDIP), Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan (PDIP), Bupati Nganjuk Taufiqurrahman (PDIP), Bupati Rokan Hulu Suparman (Golkar), dan Bupati Banyuasain Yan Anton Ferdian (Golkar).
Ketua Umum PDIP, Megawati, juga berpotensi diseret ke dalam jeratan KPK. April 2017 silam, KPK menetapkan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Temenggung, sebagai tersangka kerena menerbitkan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI). Dibalik Syafrudin, ada Megawati yang mengeluarkan Inpres 8/2002 yang menjadi landasan dikeluarkannya SKL BLBI ke sejumlah bank yang bermasalah. Akibat Skandal BLBI ini, negara rugi sebesar Rp 138,442 Triliun.
Setelah sekian lama beku, KPK seolah membakar lagi sekam BLBI yang lama terpendam.
Setali tiga uang, KPK juga menetapkan Ketua Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) Fahd El Fouz Arafiq sebagai tersangka dalam kasus korupsi dalam pengadaan Al Quran. Sebelumnya KPK juga memproses hukum mantan politisi Partai Golkar, Zulkarnaen Djabar, dan putranya, Dendy Prasetia.
Kader Golkar Budi Supriyanto pun ditahan lantaran diduga menerima suap dalam proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun anggaran 2016. Selain itu, KPK juga menangkap kader Golkar sekaligus Walikota Cimahi nonaktif, Atty Suharti.
Yang paling mutakhir, dalam kasus korupsi E-KTP, Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto, disebut meminta fee 10% ke Paulus Tanos, pemilik perusahaan pemenang tender E-KTP. KPK pun memanggil pria yang akrab dipanggil SetNov itu, tapi dia selalu mangkir.
Melihat berbagai kasus di atas, wajar jika akhirnya PDIP dan Golkar disinyalir sengaja membentuk pansus hak angket guna melemahkan KPK. Pertama, dalam rangka mengevaluasi, tentu para anggota pansus akan sering bertemu dan meminta keterangan dari para pimpinan KPK. Akibatnya, pimpinan KPK akan sering meninggalkan pos kerja yang diembannya untuk memenuhi panggilan pansus. Kontan, hal ini dapat menyebabkan pecahnya fokus para pimpinan KPK dan melambatkan penanganan kasus-kasus korupsi.
Kedua, pada titik yang paling ekstrem, bisa jadi pansus mengeluarkan hasil evaluasi yang menyatakan bahwa KPK harus dibubarkan. Tentu, ini adalah kemunduran bagi pemberantasan korupsi di Indonesia dan tentu bertentangan dengan program Nawacita yang dicanangkan Jokowi, yakni ‘Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.’
Tetapi, mengapa Jokowi masih tetap diam?
Menuju 2019
Jokowi memang dihadapkan dengan posisi yang tidak diuntungkan karena, di sisi lain, PDIP dan Golkar adalah dua partai yang sangat bersemangat mendukung Jokowi maju sebagai calon presiden di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Sudah semenjak tahun 2016 lalu, Golkar terang-terangan mendeklarasikan Jokowi sebagai calon presidennya nanti di Pilpres 2019.
Untuk pindah ke partai lain, pilihan Jokowi yang satu ini pun tampaknya sulit. Saat ini, PDIP, Nasdem, dan Golkar bersikeras presidential threshold (Pres-T) ditetapkan minimal 20 persen. Jika kebijakan Pres-T ditetapkan 0 persen, Jokowi bisa saja lari ke partai-partai kecil. Namun jika kebijakan Pres-T 20 persen itu gol, mau tidak mau Jokowi mesti bergandengan dengan PDIP dan Golkar, karena koalisi ketiganya saja sudah cukup untuk bisa mencalonkan calon presiden.
Tidak mungkin juga Jokowi pindah ke partai besar seperti Gerindra, karena sudah ada Prabowo. Golongan partai menengah, seperti Demokrat, PAN, atau PKB pun tampaknya belum berminat dengan Jokowi. Dengan sistem demokrasi yang mensyaratkan presiden mesti dicalonkan dari partai, bisa dibilang, tanpa PDIP dan Golkar, Jokowi bukanlah siapa-siapa di Pilpres 2019 nanti.
Di sini lah letak kuncian yang diberikan partai kepada Jokowi. Di satu sisi, Jokowi ingin memberantas korupsi – yang pada akhirnya pun menjerat kader dan petinggi partai pendukungnya. Di sisi lain, Jokowi masih mengharapkan partai-partai pendukungnya – PDIP dan Golkar – tersebut menjadi kendaraannya di Pilpres 2019 nanti. Apakah gara-gara ini sikap Jokowi menjadi diam, mengambang, dan seolah hilang berani?
Di lain pihak, berbagai kalangan, dari mahasiswa, Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), himpunan Guru Besar Antikorupsi, sampai 400 dosen Universitas Gajah Mada (UGM) menolak pembentukan pansus hak angket. Ketua ILUNI UI, Tommy Suryatama, menganggap, penggunaan hak angket ini adalah serangan balik koruptor kepada KPK.
Jelas, tidak mungkin Jokowi tidak membaca bahwa angin dukungan rakyat sedang berpihak kepada KPK. Pertanyaannya, ada di kubu mana Jokowi – sebagai presiden pilihan rakyat itu – berpihak? Apakah pembentukan pansus hak angket benar-benar untuk mengevaluasi kinerja KPK agar lebih baik ke depannya atau ini adalah manuver politik para petinggi partai untuk membelenggu langkah Jokowi menguatkan KPK menuntaskan kasus-kasus korupsi?
Berikan pendapatmu.
(H31)