Kabar pungutan liar di rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai perhatian luas. Tidak hanya terjadi pungutan di rutan KPK, tetapi juga korupsi perjalanan dinas. Bagaimana bisa lembaga anti rasuah justru terjerat kasus korupsi?
PinterPolitik.com
“Never underestimated the effectiveness of a straight cash bribe.” – Claud Cockburn
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali dirundung berita yang tidak mengenakkan. Bagaimana tidak? Kabar mengenai dugaan pungutan liar di rumah tahanan (rutan) KPK terhembus kencang di depan publik. Berita mengenai pungutan tersebut pada gilirannya muncul bersamaan dengan dugaan kasus asusila yang dilakukan kepada istri salah satu narapidana.
Dewan Pengawas KPK menemukan pungutan tersebut sudah berlangsung sejak Desember 2021 hingga Maret 2022. Pungutan yang ditarik pun bukan main-main. Albertina Ho sebagai anggota Dewas menyebut bahwa pungutan di dalam rutan tersebut berhasil meraup Rp4 miliar, jauh melampaui denda yang perlu dibayarkan oleh narapidana korupsi yang tertangkap KPK.
Merespons temuan ini, juru bicara KPK Ali Fikri menyatakan bahwa KPK berjanji akan mengusut tuntas praktik tersebut. Terhitung sejak hari ini, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut pihaknya sudah mencopot puluhan pejabat yang melakukan pungli. Selain itu, Marwata menegaskan bahwa KPK akan mengedepankan profesionalitas dalam memberantas tindak korupsi, termasuk menindak tegas pungli yang jelas bertentangan dengan nilai-nilai antikorupsi.
Dugaan pungutan liar ini jelas memicu kritik dari berbagai pihak. IM57 Institute, misalnya, mengkritik kasus tersebut sebagai “bukti” lanjutan dari pelemahan KPK. Lebuh lanjut, mantan penyidik KPK Novel Baswedan menyebut bahwa pungutan liar sebenarnya bukan “barang baru” bagi lembaga penegak hukum seperti KPK, namun ia memandang kasus ini menjadi bukti inkompetensi KPK yang kini dipimpin oleh Firli cs.
Kasus tersebut menuai pertanyaan, mengapa pungutan liar bisa terjadi di lembaga pemberantasan korupsi sebesar KPK?
Bukti Pelemahan KPK?
KPK sebagai lembaga penegak hukum di luar kekuasaan yudikatif menempati posisi “istimewa” sejak pembentukannya. Hal ini dikarenakan pendirian KPK sendiri diamanatkan secara langsung oleh konstitusi untuk memberantas korupsi tanpa ada intervensi dari tiga cabang kekuasaan. Melalui independensi KPK, diharapkan hal tersebut akan membasmi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi “penyakit” khas Orde Baru.
Namun demikian, independensi KPK dinilai sirna ketika revisi Undang-Undang KPK berhasil diloloskan oleh pemerintah dan DPR. Revisi tersebut dinilai menempatkan KPK sebagai subordinasi kekuasaan eksekutif, yang artinya KPK tidak lagi netral dari intervensi kekuasaan.
Well, terlepas dari kritik itu, kasus pungutan liar menjadi “serangan” yang sekiranya berdampak langsung terhadap kredibilitas KPK sebagai penegak hukum. Sebagai lembaga “istimewa”, pungutan liar memang dianggap tidak wajar jika dikaitkan dengan posisi KPK saat ini.
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa pungutan liar dapat terjadi di lembaga seperti KPK, terutama dalam pengelolaan narapidana. Alfred Kornfled dalam tulisannya Social Learning versus Conditioning menyebutkan pungutan liar merupakan konsekuensi langsung dari desensitisasi di lingkungan penjara. Desentisitasi berlangsung ketika batas-batas norma mulai lentur karena berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang bertentangan dengan norma yang ada.
Pada kasus pungutan liar, bisa dipahami bahwa pelaku pungutan terpengaruh oleh kondisi lingkungan di penjara. Penjara sebagai “tempat hukuman” pelaku kejahatan pada kenyataannya tidak bisa mengubah perilaku orang-orang di dalamnya karena perilaku tersebut sudah dinormalisasi oleh semua orang, termasuk sipir sendiri. Alhasil, sang sipir tidak lagi menganggap pungutan sebagai hal yang tabu, dan bahkan memungut secara tidak wajar kepada narapidana di dalamnya.
Selain desensitisasi, pungutan liar yang terjadi di rutan tidak bisa lepas dari ketidakseimbangan relasi kuasa di dalamnya. Iqrak Sulhin dalam artikelnya Diskontinuitas Penologi
Punitif menyebutkan ketimpangan relasi kuasa kerap terjadi antara sipir dengan narapidana. Ketika sipir memiliki kuasa untuk mengatur kehidupan narapidana, maka ada tendensi bahwa sipir tersebut justru akan melakukan tindakan kejahatan kepada mereka.
Hal ini dikarenakan sipir kerap disejajarkan dengan “atasan” yang dapat memerintah narapidana. Relasi ini dapat mendorong perilaku sipir untuk berlaku “sewenang-wenang” kepada narapidana karena merasa lebih berkuasa.
Bila ditelisik lebih jauh, pungutan liar ini tentu akan “memusingkan” KPK dalam menindak kasus korupsi, tidak hanya dari luar, namun juga dari dalam.
Paradoks KPK
KPK seringkali berurusan dengan penindakan kasus korupsi, yang artinya menindak pelakunya dari luar. Namun, di satu sisi KPK juga perlu menyelesaikan permasalahan dari narapidana yang sudah tertangkap di dalam rumah tahanan. Itu artinya KPK masih berkewajiban untuk mencegah korupsi, baik dari dalam rutan maupun dari pegawainya sendiri.
Akan tetapi, seperti halnya penegak hukum lainnya, KPK juga “kecolongan” dengan kasus ini. Dengan demikian, fenomena ini kembali membuka paradoks mengenai dua sisi mata uang dari eksistensi penegak hukum. Di satu sisi, penegak hukum dituntut oleh masyarakat dan negara untuk memberantas kejahatan secara konsekuen. Namun, di sisi lain, praktik kejahatan juga masih jamak dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri.
Adrianus Meliala dalam artikelnyaKorupsi di Lembaga Pemasyarakatanmenyebutkan bahwa rumah tahanan KPK tidak memberikan status “istimewa” di dalamnya. Hal ini dikarenakan setiap lembaga pemasyarakatan rentan akan pelanggaran hukum dari dalam. Kasus pungutan liar di rutan KPK menjadi bukti bagaimana sipir sekalipun dapat melakukan pemerasan kepada narapidana.
Belum selesai pungutan liar diberantas, KPK kembali dirundung kasus serupa baru-baru ini. KPK mengungkapkan adanya penggelapan uang dinas oleh salah satu pegawainya. Pegawai berinisial NAR diduga memanfaatkan anggaran sebesar Rp550 juta untuk kepentingan pribadinya dan korupsi ini berlangsung ketika KPK menangani korupsi Bupati Probolinggo pada 2021 silam.
Kendati kasus ini belum diselesaikan, namun penggelapan ini menggambarkan bagaimana pegawai KPK sekalipun dapat melakukan korupsi. Bisa dikatakan bahwa desensitisasi dan relasi kuasa relevan dalam menganalisis motif di balik penggelapan tersebut.
Namun demikian, besar kemungkinan bahwa relasi kuasa menjadi pendorongnya. Hal ini dikarenakan sang pelaku dapat memanfaatkan celah yang ada untuk menggelapkan dana tersebut.
Well, sebagai penutup, kasus pungutan liar dan penggelapan uang dinas dapat disebut sebagai paradoks di tubuh KPK. Sebagai lembaga anti rasuah, KPK justru terjerat kasus korupsi dari internalnya sendiri.
Kasus-kasus tersebut tentu akan menimbulkan tanda tanya serius di benak publik. Seberapa jauh KPK dapat dipercaya untuk memberantas korupsi jika internalnya melakukan korupsi?
Jika kasus-kasus tidak ditangani dengan baik, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa kredibilitas KPK tengah digerogoti dari dalam. KPK perlu meyakinkan publik bahwa mereka adalah lembaga anti rasuah yang dapat diandalkan. (D90)