Para mahasiswa yang berdemonstrasi baru-baru ini menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terkait revisi terhadap UU KPK. Jokowi pun menolak dan menyebutkan bahwa revisi tersebut merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
PinterPolitik.com
“I love to play the blame game, I love you more. Let’s play the blame game for sure. Let’s call out names, I hate you more. Let’s call out names for sure” – John Legend, penyanyi R&B asal Amerika Serikat
Gelombang demonstrasi baru-baru ini tampak terjadi dalam skala besar. Para mahasiswa dan mahasiswi di berbagai daerah turun ke jalan menyuarakan aspirasinya.
Besarnya skala berbagai demonstrasi mahasiswa tersebut seakan-akan mengingatkan masyarakat dan pemerintah atas peristiwa serupa yang terjadi pada tahun 1998 – ketika demonstrasi massal berhasil meruntuhkan kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto.
Sosok mantan aktivis 1998 Budiman Sudjatmiko misalnya, menjadi buah bibir yang tengah hangat dibicarakan oleh para warganet di Twitter. Sebagian membandingkan peran Budiman ketika turun melawan Orde Baru dengan peran Budiman yang kini disebut-sebut lebih dekat dengan pusaran kekuasaan Istana.
Drop your favorite protest posters. #HidupMahasiswa #MosiTidakPercaya #MahasiswaBergerak #ReformasiDikorupsi pic.twitter.com/mWFA2RLaGO
— Yeahmahasiswa (@yeahmahasiswa) September 24, 2019
Terlepas dari adanya memori tersebut, para demonstran mahasiswa tersebut menuntut beberapa hal, yakni membatalkan berbagai rancangan undang-undang (UU) yang dianggap bermasalah, seperti RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), RUU Pemasyarakatan, RUU Mineral dan Batu Bara (Minerba), serta RUU Pertanahan. Selain itu, salah satu tuntutan juga meminta presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) atas revisi UU No. 32 Tahun 2002 (UU KPK).
Berbeda dengan empat RUU sebelumnya disetujui oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk dibatalkan, usulan pembuatan Perppu tersebut justru ditolak. Mantan Wali Kota Solo tersebut menyatakan bahwa revisi UU KPK merupakan inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) – berbeda dengan RUU lainnya yang merupakan inisiatif dari pemerintahannya.
Penolakan Jokowi atas tuntutan tersebut pun menimbulkan beberapa pertanyaan. Mengapa Jokowi perlu melibatkan DPR dalam pernyataannya? Lalu, mengapa presiden merasa perlu menolak untuk mengeluarkan Perppu?
Kepresidenan “Teflon”
Pencatutan DPR dalam pernyataan Jokowi dapat saja dipahami sebagai permainan kesalahan (blame game). Permainan seperti ini kerap digunakan oleh para politisi dan pengambil kebijakan.
R. Kent Weaver dalam tulisannya yang berjudul The Politics of Blame Avoidance menjelaskan bahwa para politisi banyak dimotivasi oleh keinginan untuk menghindari kesalahan atas tindakan dan keputusannya yang dianggap tidak populer. Dalam upaya menghindari kesalahan tersebut, para politisi memanfaatkan beberapa strategi.
Dalam tulisan tersebut, Weaver menyebutkan beberapa strategi, yakni dengan membatasi agenda dan isu yang sensitif, memberikan opsi alternatif atas agenda sensitif, mencegah atau menunda kesalahan dalam agenda tertentu, mendelegasikan dan menyebarkan kesalahan, mencari kambing hitam, hingga beralih mengikuti posisi populer.
Politik penghindaran dari kesalahan ini pernah dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Ronald Reagan. Politisi mantan aktor tersebut disebut-sebut sebagai presiden “teflon” – dengan citranya yang dinilai bersih dari kesalahan.
Weaver menilai apa yang dilakukan Reagan kebanyakan adalah strategi “mencari kambing hitam.” Gaya kepemimpinan Reagan yang terdesentralisasi membuatnya mudah dalam menyalurkan kesalahannya ke bawahan-bawahannya apabila terjadi kesalahan dalam kebijakan.
Para politisi banyak dimotivasi oleh keinginan untuk menghindari kesalahan atas tindakan dan keputusannya yang dianggap tidak populer. Share on XSkandal Iran-Contra misalnya, Reagan diduga terlibat dalam penjualan persenjataan secara tersembunyi ke Iran – kala itu diberi sanksi embargo – dan pembiayaan atas Contra – gerakan pemberontakan sayap kanan di Nikaragua. Namun, pemerintahan Reagan dinilai memilih menghindari keterlibatan dengan menyatakan ketidaktahuan atas skandal tersebut dan meletakkan kesalahan pada Dewan Keamanan Nasional AS (NSC).
Selain menyalahkan bawahan-bawahannya, Reagan dan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher juga menggunakan strategi serupa terhadap lawan-lawan politiknya. Dalam menjalankan kebijakan penghematannya misalnya, Reagan menyalahkan belanja anggaran yang berlebihan oleh Kongres dan kepresidenan sebelumnya.
Terkait resesi ekonomi, Reagan juga kerap menyalahkan Partai Demokrat AS – khususnya pemerintahan Jimmy Carter. Selain itu, kongres juga tidak terlepas dari sasaran kesalahan Reagan.
Jika permainan kesalahan ini dapat dimainkan oleh Presiden AS Reagan, bagaimana dengan di Indonesia? Apakah politik penghindaran kesalahan ini juga berlaku di Indonesia?
Hampir sama dengan Reagan, Jokowi tampaknya kerap menggunakan strategi “kambing hitam.” Dalam beberapa kegagalan kebijakan, mantan Wali Kota Solo tersebut kerap meluapkan kemarahannya terhadap bawahan-bawahannya.
Mengenai impor minyak dan gas yang masih tinggi misalnya, Jokowi memilih untuk memarahi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno. Selain soal impor migas, Jokowi juga kerap menyalahkan beberapa menterinya terkait lambatnya birokrasi investasi.
Menanti Perppu Jokowi
Polemik yang hampir mirip sebenarnya pernah dialami oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono misalnya, melakukan berbagai strategi dalam menghadapi polemik UU Pilkada pada tahun 2014.
UU Pilkada yang memberikan kewenangan pemilihan kepala daerah kembali pada DPRD menimbulkan polemik di masyarakat – dianggap berlawanan terhadap mimpi reformasi. Kala itu, SBY mengeluarkan pernyataan bahwa dirinya kurang sepakat dan telah memberikan opsi-opsi kebijakan lain melalui Fraksi Partai Demokrat.
Pada akhirnya, presiden keenam tersebut menggunakan strategi jump on the bandwagon – di mana SBY mengikuti alternatif kebijakan yang lebih populer – dengan mengeluarkan dua Perppu. Bila Presiden SBY mampu menggunakan strategi-strategi penghindaran tersebut, bagaimana dengan Jokowi?
Dalam polemik revisi UU KPK, sebenarnya Jokowi juga telah menggunakan strategi serupa, khususnya jump on the bandwagon. Pada tahun 2015 dan 2016, mantan Wali Kota Solo tersebut kerap mengikuti permintaan populer di masyarakat dengan menunda revisi tersebut.
Lalu, mengapa kini Jokowi tak lagi menggunakan strategi serupa – misalnya menolak menerbitkan Perppu – terkait isu pelemahan KPK baru-baru ini?
Tidak adanya strategi jump on the bandwagon dari Jokowi terkait revisi UU KPK kini mungkin bisa diamati dari bagaimana presiden mengatur keseimbangan kekuatan (balance of power) ada di sekitarnya. SBY sendiri di masa jabatannya sebenarnya juga menghadapi persoalan yang sama dengan Jokowi.
Baik SBY maupun Jokowi berupaya menjaga keseimbangan berbagai kekuatan di pemerintahannya. Berbagai partai politik biasanya akan diakomodasi ke dalam pemerintahan guna mengamankan posisi kepresidenannya.
Stephen Sherlock dalam tulisannya yang berjudul A Balancing Act menjelaskan bahwa SBY perlu menciptakan kabinet pelangi agar apa yang terjadi dengan kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) – dilengserkan oleh legislatif – tidak lagi terulang pada masa jabatannya. Namun, Sherlock menilai bahwa DPR yang memiliki balance of power sendiri memiliki sikap yang kerap menghalangi kebijakan-kebijakan SBY – membuat hubungan eksekutif-legislatif tetap tidak stabil.
UU Pilkada – dijelaskan oleh Sherlock – merupakan salah satu contoh dari ketidakstabilan hubungan tersebut. Perppu SBY pun dinilai sebagai peristiwa politik yang penting bagi kepresidenannya.
Lantas, bagaimana dengan Perppu Jokowi yang dinanti-nanti? Apa yang membedakan kepresidenan SBY dengan Jokowi?
Upaya penyeimbangan serupa juga dilakukan oleh Jokowi dalam mengamankan kekuasaannya. Perbedaan di antara keduanya mungkin terletak pada faktor waktu.
Berbeda dengan SBY yang kala itu telah berada di penghujung kekuasaannya, Jokowi mungkin masih membutuhkan sumber-sumber kekuatan partai politik guna menyongsong masa kepresidenan keduanya. Selain itu, sebagai politisi yang berasal dari luar lingkaran elite dan oligarkis, mantan Wali Kota Solo tersebut bisa jadi masih perlu sokongan partai-partai yang mendorong revisi UU KPK.
Mungkin, hubungan blame game Jokowi dengan partai-partai politik di DPR ini tergambarkan dalam lirik John Legend di awal tulisan. Meskipun kerap saling menyalahkan, keduanya pun sebenarnya saling membutuhkan. Menarik untuk dinanti kelanjutan hubungan love-hate di antara keduanya. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.