Site icon PinterPolitik.com

Koruptor Terpilih, Salah Siapa?

Lawan korupsi politik: Foto: Istimewa

Sepandai-pandai tupai melompat, jatuh juga: sepandai-pandai pejabat, korupsinya ketahuan juga.


PinterPolitik.com

[dropcap]T[/dropcap]erpilihnya dua tersangka korupsi pada Pilkada 2018 telah menjadi dilema tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Kedua tersangka itu adalah calon gubernur Maluku Utara dan calon bupati Tulungagung.

Pada hasil hitung cepat (quick qount) calon gubernur Maluku Utara, Ahmad Hidayat Mus unggul dengan perolehan suara sebanyak 31,82 persen, mengalahkan rivalnya Abdul Gani Kasuba-M Yasin dengan perolehan 30,40 persen suara.

Sementara itu, calon bupati Tulungagung Syahri Mulyo unggul dengan perolehan suara 59,8 persen, sedangkan rivalnya, Margiono-Eko meraih 40,2 persen suara.

Di Indonesia, kasus di atas bukan hal baru, pada Pilkada 2013, laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan terdapat 10 tersangka kasus korupsi yang memenangkan Pilkada 2013. Tiga di antara 10 tersangka itu adalah,  Mochamad Salim (Bupati Rembang), Satono(Bupati Lampung Timur) dan Agusrin Najamudin, (Gubernur Bengkulu).

Kemenangan Hidayat Mus dan Mulyo dalam beberapa pekan terakhir telah memicu polemik tersendiri, sekaligus kritik terkait penegakan hukum (lawenforcement) di Indonesia.

Kasus ini sekaligus mengindikasikan bahwa tata kelola pemerintahan (good governance) di Indonesia masih lemah. Tentu, good governance adalah sebuah konsep yang berkelindan dengan penegakan hukum atau setidaknya, pendapat ini sejalan dengan konsep Plato mengenai nomoi. Konsep nomoi mengacu pada sebuah tatanan pemerintahan yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik.

Tapi fenomena di Indonesia tampaknya tidak demikian. Ini karena tersangka korupsi masih diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam politik elektoral yang secaralegal didukung oleh peraturan KPU (PKPU) Pasal 78 dan 79 yang berbunyi:

Seseorang dengan status tersangka masih tetap bisa mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pergantian terhadap seorang tersangka koruptor hanya  bisa dilakukan terkecuali seorang calon berhalangan akibat meninggal dunia, sakit parah atau telah menyandang status terpidana berdasarkan putusan tetap dari pengadilan”.

Pasal di atas mengindikasi bahwa aturan mengenai tersangka korupsi untuk ikut berpartisipasi dalam politik elektoral masih terbuka lebar. Ini artinya, prinsip good governance sebagai perwujudan dari demokrasi tidak berjalan beriringan dengan proses penegakan hukum. Implementasi demokrasi makin baik, namun hukum lemah.

Tentu, hukum yang lemah menjadi biang keladi dari praktik korupsi. Hal itu sejalan dengan hasil survei CSIS pada 2016 yang mengatakan bahwa 64 persen masyarakat Indonesia menilai kasus korupsi yang meningkat diakibatkan oleh lemahnya penegakan hukum. Idealnya, hukum dan demokrasi mestinya saling melengkapi, sehingga tujuan akhir demokrasi untuk menciptakan kesejahteraan rakyat dapat terwujud.

Hal di atas setidaknya pernah juga dipaparkan oleh ilmuwan politik dari Northwestern University, Amerika Serikat, Jeffrey Winters dalam diskusi bertajuk: “Pengadilan Husni Mubarak: Pelajaran untuk Indonesia”. yang pernah diadakan oleh Rumah Perubahan 2.0, beberapa tahun silam.

Winters mengungkapkan bahwa demokrasi di Indonesia yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat belum tercapai, dan masalah yang lebih serius adalah penegakan hukum tidak berjalan. Hal ini berkebalikan dengan Singapura, memiliki hukum yang kuat tapi demokrasi melemah.

Selain dari sisi penegakan hukum, faktor budaya masyarakat Indonesia yang permisif juga memberi kesempatan kepada tersangka korupsi, sehingga rekam jejak seorang kandidat menjadi kabur. Permisif adalah suatu sikap dan pandangan masyarakat yang memperbolehkan dan mengizinkan segala-galanya.

Tentu, memberikan kesempatan kepada tersangka korupsi untuk kembali menjabat sebagai penguasa adalah sesuatu yang berbahaya. Dalam level tertentu, situasi ini tentu akan memperburuk keadaan dan menciptakan kondisi dimana negara menjadi semakin lemah. Negara menjadi lemah karena praktik korupsi yang makin tak terbendung.

Hal itu mirip dengan paparan Robert Rotberg dalam “Nation–state failure: Acurring Phenomenon”. Rotberg mengklasifikan negara ke dalam empat bagian. Pertama, strong state dimana negara dapat mengontrol teritori dan penduduk mereka, dan biasanya tipe negara ini memiliki Gross Domestic Product (GDP) yang tinggi.

Kedua adalah weak state, negara dimana terdapat perbedaan etnis, religi dan bahasa yang menjadi hambatan untuk menjadi negara kuat. Pada negara weak state konflik biasanya terjadi secara terbuka dan korupsi menjadi hal yang umum. Selanjutnya adalah failed states dan collapsed state,  suatu keadaan negara dimana lebih buruk dari strong state dan weak state.

Meski kategori Robert Rotberg tentang keadaan negara itu masih bisa diperdebatkan, namun kasus korupsi di Indonesia tetap harus jadi perhatian khusus. Tanpa penegakan hukum, sebuah negara ideal tak akan pernah ada. Dan negara ideal selalu berkelindan dengan moralitas. Penegakan hukum yang buruk dalam urusan korupsi, bisa saja membuat Indonesia dikategorikan sebagai negara lemah versi Rotberg.

Muhammad Hatta dalam “Alam Pikiran Yunani” menulis konsep negara ideal menurut Plato adalah situasi dimana semua orang hidup dalam moralitas yang baik dan terpuji khususnya para pemimpin. Negara harus menekankan pada kebajikan karena kebajikan adalah sebuah pengetahuan. Bagi Plato, segala sesuatu yang dilakukan oleh negara harus bertujuan untuk menghadirkan kebajikan.

Ini artinya politik sebagai alat untuk mencapai kekuasaan harus sejalan dengan prinsip moralitasyang diatur melalui sebuah sistem hukum. Hanya saja, dalam kasus di atas, hukum di Indonesia tampak belum solid dalam mengatur seorangtersangka korupsi, padahal penetapan sebagai tersangka telah melalui beberapa bukti awal.

Pragmatisme Politik

Terlepas dari kondisi di atas, terpilihnya tersangka korupsi dalam kontestasi politik dapat pula disebabkan oleh minimnya pemilih cerdas dan berkualitas di sebuah komunitas tertentu. Munculnya pemilih cerdas tentu merupakan hasil dari proses demokrasi yang semakin baik.

Tapi, kasus di Maluku Utara dan Tulungagung memberikan kesan bahwa pemilih cerdas di Indonesia masih minim. Sebaliknya, fenomena itu justru menunjukan pragmatisme yang akut.

Pragmatisme sebenarnya tidak hanya terjadi pada pemilih, tapi partai politik (parpol) sebagai sarana partisipasi politik juga melakukan hal demikian. Fenomena ini menurut Kuskridho Ambdardi dalam “Mengungkap Politik Kartel: Studi Tentang Kepartaian di Indonesia”merupakan kartelisasi atau politik kartel.

Dalam politik kartel, alih-alih sebuah partai menggunakan ideologi dalam kerja-kerja politik, yang terjadi justru partai-partai digerakkan oleh kepentingan untuk mendapatkan kekuasaan dengan melakukan cara-cara pragmatis, sehingga petugas partai rela untuk melakukan migrasi ideologi. Pendeknya, dalam dunia politik kartel, ideologi tidaklah menjadi barang mahal atau tidak menjadi sesuatu yang penting dalam menentukan perilaku partai.

Melalui praktik kartel tersebut, partai kemudian tidak ragu mengirim calon paling populer untuk bertarung meski terindikasi tidak bersih. Tujuannya hanya satu: memperoleh sebanyak-banyak suara tanpa peduli konsekuensinya bagi pemilih.

Pada akhirnya, tentu tidak salah jika mengatakan terpilihnya dua tersangka korupsi pada Pilkada 2018 merupakan bagian dari rendahnya kesadaran pemilih untuk melihat kontestasi politik elektoral sebagai ajang perubahan sosial. Tapi, dalam konteks ini, harusnya parpol juga berperan penting dalam membangun kesadaran politik di masyarakat. Selain itu, masalah penegakan hukum seperti dijelasakan di atas, turut menjadi momok menakutkan bagi masa depan kehidupan bangsa dan negara.

Tapi, tentu kita tetap harus optimis, bagaimanapun, negara ini selalu bergerak ke arah yang lebih baik. Dan yang terpenting dari kasus di atas adalah: rakyat harus memilih dengan akal sehat, karena suara rakyat adalah suara Tuhan.

Semoga, kita bisa belajar dari kasus di atas!

Exit mobile version