KPU dan Bawaslu memiliki sikap berbeda terhadap mantan napi korupsi yang nyaleg.
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]emilu tinggal menunggu beberapa bulan lagi, namun KPU dan Bawaslu masih belum satu suara dalam melihat fenomena pencalonan mantan napi koruptor menjadi caleg. Korupsi memang merupakan penyakit kronis yang telah menggerogoti negara ini. Karena perilaku korup para politikus, anggaran negara terbuang begitu saja.
Hasil penelitian dari Centre For Strategic and International Studies (CSIS) tentang persepsi masyarakat terhadap korupsi di Indonesia menyebutkan bahwa sebagian besar masyarakat melihat korupsi sebagai bagian dari budaya yang sudah ada dalam kehidupan sehari-hari. Kasus korupsi yang menjerat pejabat tinggi negara sudah tidak lagi mengejutkan masyarakat. Karena masyarakat menganggap bahwa politisi itu memang selalu identik dengan kasus korupsi.
Penegakan hukum yang lemah terhadap koruptor pada akhirnya membuka ruang bagi partai-partai politik untuk kembali mencalonkan anggotanya yang pernah terjerat kasus korupsi untuk menjadi caleg pada pemilu mendatang. Menurut laporan Bawaslu, terdapat 199 mantan narapidana koruptor yang terdaftar sebagai bakal caleg pada Pemilu 2019.
Menanggapi hal tersebut, KPU dan Bawaslu selaku lembaga pelaksana dan pengawasan pemilu ikut angkat bicara. Ketua KPU Arief Budiman mengatakan bahwa korupsi merupakan bentuk pengkhianatan pejabat publik kepada negara. Karena itu, koruptor tidak pantas diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin. Lain hal dengan Ketua KPU, Abhan, Ketua Bawaslu mengatakan bahwa pelarangan mantan koruptor maju sebagai caleg merupakan bentuk pelanggaran hak asasi.
Komitmen KPU untuk membersihkan parlemen dari unsur-unsur koruptor berbuah pada keluarnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 20 tahun 2018 sebagai dasar hukum untuk menghentikan laju mantan koruptor maju pada kontestasi Pemilu 2019. Sebelumnya, usulan pelarangan itu ditentang oleh mayoritas anggota DPR. Wakil Ketua Komisi II Nihayatul Mafiroh mengatakan bahwa PKPU 20/2018 itu bertentangan dengan UU Pemilu No.7 tahun 2017.
Senada dengan pendapat para politisi di DPR, Bawaslu kompak menolak aturan yang melarang mantan narapidana korupsi untuk maju pada Pileg mendatang. UU Pemilu No.7 Tahun 2017 menyebutkan bahwa mantan narapidana boleh mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Abhan, Ketua Bawaslu mengatakan ia komitmen untuk memberantas korupsi, tetapi caranya bukan dengan melarang mantan narapidana korupsi maju dalam pemilu.
Sangat jelas ada perbedaan sikap antara KPU dan Bawaslu ketika berhadapan dengan arus deras para koruptor yang ingin maju ke parlemen. Masyarakat tentu patut bertanya, jika memang Bawaslu berkomitmen ingin memerangi korupsi, kenapa justru mereka menolak pelarangan koruptor maju dalam Pemilu?
Pepesan Kosong Pakta Integritas
Pada awal bulan Juli, Bawaslu memberitahu publik bahwa mereka telah membuat sebuah pakta integritas untuk menciptakan pemilu yang sehat. Salah satu isi pakta integritas tersebut adalah Bawaslu meminta partai politik berkomitmen untuk tidak mencalonkan Anggota DPR, DPRD atau Presiden dan Wakil Presiden yang melakukan atau terlibat tindak pidana korupsi, obat-obatan terlarang, terorisme, dan kejahatan seksual.
Bawaslu juga meminta para ketua partai politik untuk menandatangi pakta integritas tersebut sebagai komitmen untuk menyodorkan calon anggota legislatif yang bersih dan amanah. Partai-partai politik peserta pemilu pun menandatangani pakta integritas dari Bawaslu itu, seolah-olah mereka berkomitmen ingin mencalonkan kadernya yang bersih dari kasus korupsi.
Data dari Bawaslu jadi bukti bahwa pakta integritas yang ditandatangani oleh partai politik peserta pemilu itu hanya menjadi pepesan kosong. Selain Partai Solidaritas Indonesia (PSI), tak ada partai yang benar-benar membuktikan komitmen tersebut. Mantan narapidana koruptor tampak masih tercantum dalam daftar bakal caleg yang diajukan oleh partai politik.
Sikap seperti ini merupakan bukti tidak berkomitmennya partai-partai politik untuk memberantas korupsi di bangku pemerintahan. Selain partai politik, perilaku pejabat negara pun tak jauh berbeda. Bahkan Menteri Hukum dan HAM menyatakan bahwa majunya para koruptor dalam pemilu itu merupakan hak politik seseorang yang tak bisa dilarang oleh aturan KPU.
Cita-cita Bawaslu dalam pakta integritas bahkan sudah dinodai oleh lembaga itu sendiri dengan menolak keputusan KPU yang menolak koruptor untuk menjadi caleg. Sangatlah wajar jika rakyat semakin pesimis pada pemerintahan saat ini, karena lemahnya penegakan hukum di Indonesia terhadap para pelaku korupsi. Bagaimana mungkin para koruptor diberikan kesempatan lagi untuk menguasai pemerintahan, sementara di negara ini kita tak kekurangan orang-orang baik dan jujur yang jauh lebih pantas untuk menjadi pemimpin masyarakat. Jika banyak orang baik, mengapa memilih yang bermasalah?
Indikasi Tidak Netral
Dalam rapat pleno di Kantor Bawaslu Jakarta pada 13 April 2017, Abhan terpilih sebagai ketua Bawaslu RI untuk periode 2017-2022. Rekam jejak Abhan di masa muda termasuk gemilang. Abhan adalah salah satu pendiri dari Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme atau lebih sering disingkat KP2KKN pada 1998. Bersama anak muda lainnya, ia menyuarakan pentingnya bangsa ini bersama-sama untuk memberantas korupsi.
Belakangan, latarbelakang Ketua Bawaslu itu selaku mantan aktivis anti-korupsi mulai dipertanyakan karena sikap Abhan dalam menyikapi caleg yang memiliki rekam jejak sebagai narapidana korupsi tak sesuai dengan cita-cita yang selama ini dia pegang.
Kondisi tersebut membuat Ketua Bawaslu, Abhan terindikasi tidak netral dalam Pemilu kali ini. Abhan misalnya tercatat pernah mengabulkan permintaan PBB (Partai Bulan Bintang) untuk ikut serta pada Pemilu 2019. Ketua PBB, Yusril Ihza Mahendra menyatakan dalam Mukernas partai bahwa kelolosan PBB ke Pemilu 2019 adalah berkat bantuan Ketua PBNU Said Aqil yang telah menelepon Ketua Bawaslu agar meloloskan PBB. Terlihat bahwa lembaga sekelas Bawaslu bisa terkena intervensi.
Rencana KPU melarang napi koruptor nyaleg ini bagus sekali. Aneh mengapa Bawaslu lebih sepakat dengan DPR yang tak melarang napi koruptor nyaleg?
Kita harus dukung keberanian KPU untuk terus jalan menolak napi koruptor menjadi caleg. Kayak ngga ada orang lain aja! pic.twitter.com/ll0PoJWXFu
— Tsamara Amany Alatas (@TsamaraDKI) May 24, 2018
Ketidaknetralan Abhan bisa saja bersumber dari latarbelakang Abhan sebagai seorang kader NU. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa Bawaslu bisa saja ditunggangi oleh kepentingan partai politik karena Said Aqil adalah pengurus besar NU yang memiliki kedekatan dengan PKB. Saat ini, PKB adalah salah satu partai dalam Koalisi Indonesia Kerja pengusung Jokowi-Ma’Ruf Amin pada Pilpres 2019.
Kedekatan Ketua Bawaslu dengan tokoh partai politik tertentu bisa memungkinkan terjadinya politik transaksional antara Bawaslu dengan partai politik. Menurut Boissevain, politik transaksional adalah hubungan kekerabatan dalam lingkungan politik. Faktor kekerabatan dapat menentukan sebuah keputusan politik. Pada kondisi tertentu pendekatan politik transaksional meletakkan peran individu lebih dominan, dan tidak terikat kepada peraturan atau sistem.
Sedangkan Dosen Fakultas Ekonomi Universitas 17 Agustus 1945 Cirebon, Sumaryono, mengatakan bahwa pemimpin model ini sangat suka mengambil kebijakan-kebijakan berdasarkan dari transaksi-transaksi politik, baik dengan pemilik modal, kolega politik maupun pihak-pihak lain. Hasilnya implementasi kebijakan pemimpin semacam ini tak lagi berpihak kepada rakyat.
Tidak menutup kemungkinan Bawaslu bisa menjadi alat dari kepentingan partai-partai lain. Sebagaimana diketahui, anggota-anggota Bawaslu dipilih oleh DPR. Dalam proses seleksi semacam ini di DPR, seringkali terendus ada transaksi antara anggota DPR dan calon pejabat. Hal ini membuat Abhan dan Bawaslu rawan disetir parpol. Apalagi, sudah ada indikasi intervensi melalui pernyataan Yusril dalam kasus PBB.
Artinya, pertentangan antara Bawaslu dengan KPU mengenai penetapan bakal caleg dari mantan narapidana korupsi bisa jadi juga karena terdapat unsur kepentingan partai politik. Pertanyaannya, mungkinkah Bawaslu bisa menjaga kenetralannya pada Pemilu mendatang?
Mengingat bahwa netralitas election commision (Bawaslu dan KPU) adalah harga yang tidak bisa ditawar demi terciptanya pemilu yang jujur, adil dan terbuka. Ketidakberpihakan itu juga bisa membantu KPU dan Bawaslu mengambil keputusan tanpa mewakili kepentingan dari pihak manapun.
Hal ini sejalan dengan pendapat Yutaka Onishi. Menurutnya, netralitas electoral management bodies (EMB) adalah hal yang penting dalam demokrasi. Netralitas EMB seperti KPU dan Bawaslu amat berpengaruh terhadap kredibilitas hasil pemilu. Berdasarkan kondisi tersebut, maka indikasi intervensi terhadap Bawaslu adalah hal yang mengerikan bagi kredibilitas Pemilu negeri ini. Bawaslu dan perangkat penyelenggara pemilu lain harus berbenah agar pesta demokrasi kelak menghasilkan pemimpin terbaik. (D38)