Korupsi itu bisa terjadi karena kuatnya relasi antara politisi dan pebisnis untuk ‘berbagi’ sumberdaya negara –John Girling
PinterPolitik.com
[dropcap]U[/dropcap]ntuk kesekian kalinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) kembali menetapkan pejabat politik sebagai tersangka kasus korupsi. Setelah ramai pemberitaan mengenai mantan Gubernur Jambi, Zumi Zola yang menggunakan uang gratifikasi untuk membeli action figure di Singapura, kini Idrus Marham, mantan Menteri Sosial 2018 itu diseret oleh KPK sebagai tersangka kasus suap pembangunan PLTU di Riau. Kedua nama itu merupakan sebagian dari sekian banyaknya pejabat politik yang sudah lebih dulu tersandung kasus korupsi.
Kasus korupsi yang menjerat Idrus Marham diduga kuat karena keterlibatannya secara aktif dalam proses kesepakatan proyek senilai Rp 12,8 triliun. Ketika itu, Idrus merupakan Plt Ketua Umum Golkar menggantikan Setya Novanto sampai proses pemilihan ketua baru di Munaslub (Musyawarah Nasional Luar Biasa) Partai Golkar. Dia berperan sebagai pintu pembuka aliran dana dari para investor untuk Partai Golkar. Diduga kuat aliran dana ini digunakan untuk membiayai Munaslub Partai Golkar pada Desember 2017 lalu.
Partai-partai kok seperti jadi institusi-institusi lahirnya koruptor ya? Share on XJohn Girling dalam tulisan berjudul Corruption, Capitalism and Democracy, mengatakan bahwa korupsi, terutama kasus suap itu bisa terjadi karena kuatnya relasi antara politisi dan pebisnis untuk ‘berbagi’ sumber daya negara. Dalam sudut pandang seperti ini, kasus suap yang menjerat Idrus Marham ataupun Zumi Zola dalam proyek pembangunan infrastruktur di Jambi merupakan “deal-dealan” politik antara politisi dengan pebisnis untuk mengeruk sumberdaya negara.
Deal-dealan antara politisi dan pebisnis bisa terjadi karena masih kuatnya politik uang dalam kontestasi politik elektoral. Dalam hal ini, para politisi yang ingin memenangkan pemilihan memerlukan modal yang tidak sedikit, sementara para pebisnis yang memiliki modal lebih bersedia mendukung sang politisi secara finansial dengan catatan politisi itu bersedia membagi-bagi proyek negara kepada para pebisnis.
Fenomena ini terjadi pula di Korea Selatan ketika para pebisnis di negeri ginseng itu membangun perusahaan multinasional dengan sokongan penuh dari rezim yang berkuasa saat itu Mereka menjalin hubungan mesra (cozy relationship) dengan penguasa untuk memperoleh konsesi dan lisensi. Pola seperti ini lazim terjadi dalam politik sebagai upaya balas budi politisi kepada pebisnis.
Pertanyaannya, mungkinkah Idrus Marham, Zumi Zola dan sederat nama-nama pejabat korup lainnya merupakan aktor politik yang disiapkan oleh partai untuk mengeruk keuntungan dikursi pemerintahan? Mengingat, data terbaru menyebutkan bahwa aliran dana suap proyek PLTU yang dilakukan oleh Idrus Marham digunakan untuk Munaslub Golkar. Lantas, untuk permasalahan korupsi ini, kita harus salahkan siapa?
Siapa Juara Korupsi?
Menurut data dari detik.com pada tahun 2017, Golkar merupakan partai paling korup di Indonesia, sedangkan PDIP berada di urutan kedua. Alasan kedua partai disebut sebagai partai terkorup adalah karena para kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi sebagian besar merupakan kader dari kedua partai ini.
Jauh sebelum kasus korupsi Idrus Marham, kader PDIP sudah lebih dulu berulah di beberapa daerah sepanjang tahun 2018. Pada bulan Januari, anggota DPR dari Fraksi PDIP kena OTT KPK karena kasus suap. Beberapa bulan setelah itu, kader PDIP yang menjabat sebagai kepala daerahdi Purbalingga, Blitar dan Tulungagung juga tersandung kasus korupsi.
Anehnya, dari ketiga kepala daerah itu, hanya Bupati Purbalingga Tasdi yang dipecat dari keanggotaan partai. Sementara PDIP memilih membela dua kader lainnya, yakni Walikota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar dan Bupati Tulungagung Syahri Mulyo yang juga terjerat kasus korupsi. Ketika ditanya mengapa pembelaan itu terjadi, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menilai OTT KPK bermuatan politis.
Pembelaan terhadap anggota partai yang korup ditunjukan pula oleh Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dalam kasus korupsi Idrus Marham. Pimpinan tertinggi Golkar itu menyatakan bahwa partainya siap memberi bantuan hukum kepada Idrus Marham yang terjerat kasus dugaan suap proyek PLTU di Riau.
Kita pun harus bertanya, mengapa akhirnya kedua partai politik itu tetap membela kader mereka yang tersandung kasus korupsi? Apakah ini merupakan indikasi bahwa Golkar dan PDIP secara institusi merasa ‘diuntungkan’ dengan adanya aliran dana suap yang masuk ke kantong partai?
Antony Giddens mengatakan bahwa perilaku aktor di dalam masyarakat harus disikapi sebagai hasil dari perpaduan antara determinan sosial dan psikologi. Untuk itu, kita harus benar-benar menelusuri, kenapa akhirnya seorang aktor politik melakukan tindakan korup ketika dia sedang memegang jabatan pemerintahan? Giddens memberi tawaran bahwa kita harus melihat tindakan itu dari faktor sosial (partai/institusi) dengan faktor psikologis (latarbelakang individu).
Kasihan pada gagal paham, makna Ksatria itu nggak maling, bukan juga gak ketangkep.
Tapi ya begitulah Ksatria 2018 mungkin memang sudah beda maknanya..
malaing ya maling..
maling kok ksatria..#adusairmakam#IdrusMarham— Mohamad Munif (@MohamadMunif) August 24, 2018
Pada kasus korupsi Idrus Marham kita bisa melihat bahwa teori Giddens ini berlaku. Tidak ada faktor yang lebih dominan, tindakan korup Idrus Marham kemungkinan besar dipengaruhi oleh kedua faktor, yakni determinasi psikologis dan sosial. Faktor pertama, adanya indikasi bahwa Idrus Marham memang seorang politisi yang tak berintegritas. Kedua, hasil penyelidikan sementara, KPK menduga ada tekanan partai terhadap Idrus Marham untuk mengalirkan dana suap proyek PLTU Riau ke anggaran Munaslub Partai Golkar.
Pasalnya, Bendahara Munaslub Partai Golkar Eni Saragih menyatakan bahwa dirinya pernah menyetor uang dari proyek PLTU Riau untuk keperluan Munaslub Partai Golkar. Maka dugaan sementara bahwa Partai Golkar ‘bermain’ dalam kasus ini bisa saja benar. Artinya, Idrus Marham bukan aktor satu-satunya.
Kalaupun korupsi Idrus Marham dilakukan tanpa ada keterlibatan partai, maka Golkar tetap harus disalahkan karena korupsi itu. Pertanyaannya, bagaimana mungkin partai politik bisa ‘kecolongan’ dalam proses seleksi kader yang akan maju ke pemerintahan? Apakah partai tak cukup kompeten untuk mengetahui mana kader yang integritas dan yang tidak?
Padahal sebelum menduduki jabatan pemerintahan, para politisi itu sudah lebih dulu melewati tahap seleksi di tubuh partai, sebelum akhirnya menjabat sebagai kepala daerah anggota legislatif, atau menteri. Artinya, ketika ada kader partai yang tejerat kasus korupsi ketika ia sedang menjabat, kita tak bisa lagi hanya fokus pada kesalahan individunya saja. Tapi juga melihat pola seleksi partai yang ternyata bermasalah.
Menakar Kekuatan Aktor Politik
Data terbaru dari KPK menyebut bahwa sepanjang tahun 2016-2017 sudah ada 205 anggota DPR dan DPRD terlibat dalam kasus korupsi. Dari data itu, kita tahu bahwa salah satu korupsi besar-besaran yang dilakukan anggota DPR terjadi dalam kasus E-KTP.
Menariknya, korupsi E-KTP yang merugikan negara hingga Rp. 2,3 triliun itu tidak menyeret nama Basuki Tjahaja Purnama, sekalipun mantan Gubernur DKI itu telah menjabat sebagai anggota DPR dari partai Golkar ketika korupsi E-KTP berlangsung.
Ahok menjadi bukti bahwa meski berasal dari partai yang dianggap korup, ia tidak ikut terbawa arus. Hal serupa berlaku pada Jokowi. Berdasarkan penuturan Mahfud MD, lawan-lawan politik Jokowi sampai kebingungan mencari kelemahan Jokowi dalam urusan korupsi karena memang Jokowi tak memiliki rekam jejak terlibat dalam kasus korupsi.
Walaupun Jokowi merupakan kader PDIP, ia sama sekali tak bisa dibuktikan telah melakukan tindakan korupsi. Jokowi bisa diibaratkan sebagai bunga yang tumbuh di antara kubangan lumpur.
Namun, Jokowi sebagai aktor politik hanya bisa menahan hasrat untuk tidak korupsi. Pada akhirnya, ia pun terjebak pada lingkungan elite kekuasan yang memaksa dia untuk mengeluarkan kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Dalam hal ini sikap Jokowi sebagai seorang presiden mampu dikontrol oleh kepentingan elite, yang bisa disebut sebagai determinasi sosial dalam istilah Giddens.
Hasrat inilah yang menurut Mitchel sebagai penyebab utama berlakunya hukum besi oligarki. Pemimpin partai selalu mengendalikan keputusan partai maupun anggotanya, termasuk mengendalikan kandidat yang telah didukung dan dipromosikan pada kontestasi pemilu.
Jokowi dalam pandangan Mahfud MD tak bisa menahan arus permintaan elite politik dalam partai koalisi untuk memilih wakil presiden secara mandiri. Maka bukan tak mungkin Jokowi menjadi tak kuasa menahan tekanan para elite-elite partai ketika ia kembali menang di Pilpres mendatang. Dampaknya, akan lebih banyak kebijakan ‘titipan’ ketimbang kebijakan demi kepentingan rakyat secara luas.
Maka terjebaknya Jokowi dalam kepentingan politik elite makin mempersulit kita untuk ambil kesimpulan pada saat ini: lebih kuat mana, integritas individu atau tekanan institusi politik? (D38)