Sebagai upaya mengakomodir punggawa baru yaitu ASN mantan pegawai KPK, Kapolri membuat Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor). Beberapa pihak menilai korps baru ini adalah saingan KPK dalam pemberatasan korupsi. Lantas, seperti apa fenomena pembentukan korps baru polisi ini?
Kehidupan ibarat siklus, kadang di atas sering pula di bawah. Setidaknya itu yang terlintas saat melihat fenomena dilantiknya Aparatur Sipil Negara (ASN) baru di Trunojoyo. Mereka adalah 44 mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), saat ini dipersilahkan masuk ke institusi berbeda tapi sama rasa, yaitu Polri.
Kekuatan baru Polri ini rencananya akan dimasukkan ke dalam Korps Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) yang merupakan badan baru, kelanjutan dari Direktorat Tindak Pidana Korupsi, sebuah badan yang sebelumnya berada dalam koordinasi Badan Reserse Kriminal Polri. Korps baru ini akan mempunyai empat direktorat, yaitu penyelidikan, penyidikan, pencegahan, dan kerja sama antar lembaga.
Mabes Polri telah mengajukan izin pengubahan struktur organisasi ke Presiden terkait masalah ini. Saat ini, surat Polri telah berada di Sekretariat Negara. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menurut catatan koran Tempo Sabtu 11 Desember 2021 mengatakan, sudah lama ingin membentuk organisasi baru pemberantasan korupsi. Draf aturan soal pembentukan organisasi baru ini telah rampung sejak November 2021.
Jika kita telisik lebih dalam, keberadaan mantan pegawai KPK seperti Novel Baswedan dan rekan-rekan akan memunculkan peran yang signifikan pada Kortas Tipikor ini, meski tentunya pengambilan keputusan tetap berada pada Kapolri sebagai pimpinan puncak institusi.
Asfinawati Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengatakan, Kapolri harusnya memberikan kewenangan yang luas bagi eks pegawai KPK yang saat ini menjadi ASN Polri. Dengan demikian kehadiran mereka di Kortas Tipikor tidak akan sia-sia.
Di saat bersamaan, pemberitaan media juga menyoroti keluhan Ketua KPK yang mengatakan saat ini sedang kekurangan sumber daya manusia di institusinya. Keluhan ini disampaikan langsung kepada Presiden agar dapat direalisasi kebutuhan itu untuk memperkuat KPK.
Beberapa pihak menyoroti fenomena relasi kedua institusi ini, yaitu Polri dan KPK. Ada asumsi bahwa keinginan memperkuat pemberatasan korupsi yang dilakukan melalui pembentukan Kortas Tipikor seolah upaya untuk menyaingi KPK, intitusi yang jamak kita tahu fokus pada penanganan korupsi di Indonesia. Lantas, seperti apa kita menerjemahkan fenomena relai kedua lembaga ini?
Pertunjukan Homo Ludens?
Pembentukan Kortas Tipikor menurut Polri, tidak akan memunculkan kekhawatiran akibat kesan tumpang tindihnya wewenang dalam pemberantasan korupsi. Selama ini fungsi pemberantasan korupsi telah dilakukan oleh KPK, Polri, dan Kejaksaan. Tapi yang menjadi permasalahan adalah keseriusan lembaga ini untuk menangani tindak kejahatan luar biasa itu.
Sosiolog dari Universitas Udayana, Wahyu Budi Nugroho dalam tulisannya Problem Homo Ludens dan Penciptaan Subjek Antikorupsi, menggambarkan sebuah situasi di mana koruptor meski telah mempunyai harta melimpah tetap saja mempunyai kecenderungan untuk korupsi. Ini memperlihatkan koruptor sebenarnya adalah Homo Ludens, sebuah istilah yang ingin mengatakan bahwa manusia adalah makhluk bermain.
Yang menarik dari tulisan Wahyu, bukan hanya koruptor sebagai Homo Ludens, melainkan istilah Homo Ludens itu sendiri dapat kita jadikan sebuah perspektif dalam melihat dimensi yang lebih luas, termasuk pembentukan institusi-intitusi yang bekerja untuk memberantas korupsi, pembuatan Kortas Tipikor dan relasinya dengan KPK, yang juga merupakan dimensi lain dalam menggambarkan bagaimana paradigma homo ludens itu bekerja.
Johan Huizinga dalam bukunya Homo Ludens: A Study of the Play-Element in Culture, berpendapat bahwa bermain (playing) itu tidak kalah pentingnya dari dua kegiatan manusia lainnya, yakni berpikir dan bekerja. Itu sebabnya ia lalu memperkenalkann istilah baru, yaitu Homo Ludens, guna menggenapi dua istilah lain yang telah lama populer sebelumnya, Homo Sapiens dan Homo Faber.
Dalam konsepnya tentang manusia bermain, Huizinga memperlihatkan bahwa bermain adalah gejala alam yang mendahului kebudayaan. Bermain itu mendahului kebudayaan karena gejalanya ditemukan juga dalam perilaku binatang, seperti burung menyanyi dan menari, anak singa asyik berguling di sinar mentari pagi, anak anjing berkejaran dan berkelahian, hingga merak yang bolak-balik berjinjit menebar citra dan pesonanya.
Huizinga menolak anggapan psikologis yang memandang bermain hanyalah sebagai suatu jenjang dalam proses pertumbuhan manusia, seperti masa kanak-kanak artinya masa bermain, masa muda bermakna masa belajar, dan masa dewasa adalah fase terakhir, yaitu masa kerja. Dalam pandangan semacam ini, bermain lantas dianggap sekadar kegiatan pengisi waktu luang dan latihan menyiapkan diri ke jenjang hidup berikutnya.
Menurut Huizinga, bermain adalah unsur yang permanen di tiap jenjang hidup manusia, bahkan meresapi dan menyemarakkan bidang-bidang kebudayaan lainnya, termasuk turut berperan dalam agama, politik, bisnis, hukum, seni dan sastra. Semua dimensi bermain yang terakhir ini disebut dengan istilah ludic elements.
Filsus Belanda, Joost Raessens, mengelompokkan permainan menjadi empat jenis. Pertama, permainan dengan konsep mimicry, yaitu permainan yang di dalamnya para pemain mengimitasi suatu konsep di tempat lain dan diterapkan dalam permainan. Permainan ini dapat juga diartikan dalam konteks mengimitasi lawan bermain.
Kedua, konsep permainan agon, para pemain melahirkan sikap antagonistik antara satu dengan lainnya, tujuannya tidak lain agar hidupnya memiliki suasana kompetisi sebuah permainan (competitive games).
Ketiga, konsep permainan alea, di mana para pemain dalam sebuah permainan mempunyai faktor keberuntungan. sehingga faktor ini dapat menjadi penentu kemenanagan seorang pemain (games with a luck-factor).
Keempat, konsep permainan ilinx, sebuah permainan yang melibatkan daya psikis tertentu sehingga muncul tensi orang lain untuk ikut terlibat bermain atau bahkan serius untuk menyaksikan permainan.
Well, jika relasi Kortas Tipikor dengan KPK dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep manusia bermain yang diurai di atas, maka permainan apa yang terjadi sebenarnya?
Bermain Membangun Peradaban
Ludic element menjadi kata kunci untuk menjawab pertanyaan yang telah disinggung di atas. Kepolisian dengan dengan membentuk Kortas Tipikor memberikan gambaran bahwa ada elemen permainan yang diperlihatkan oleh institusi ini, tentunya hal itu tidak lepas dari upaya polisi untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap polisi.
Permainan ini semakin jelas terlihat saat pembentukan Kortas Tipikor, yang jika ubah akronimnya, maka akan terbaca Korps Pemberantasan Korupsi, dan jika disingkat akan menjadi KPK. Di sini indikasi mimicry dalam konsep permaian di atas terlihat. Bukan hanya punya kesamaan dalam akronim tentunya, pada tupoksinya juga antara Kortas Tipikor dengan KPK sama-sama mempunyai tugas pemberantasan korupsi.
Dari mimicry, kita berpindah pada kategori kedua, yaitu agon. Bisa kita lihat dari komposisi yang dilibatkan dalam Kortas Tipikor, yaitu para mantan pegawai KPK, mereka adalah pegiat antikorupsi yang dikeluarkan dari KPK dengan alasan tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK). Dengan demikian, kedua lembaga ini akan dilihat saling menegasikan, membentuk sikap antagonistik antara satu dengan lainnya.
Selanjutnya, konsep permainan alea juga terlihat. Kehadiran Novel Baswedan yang fenomenal sebagai aktor senior dalam dunia tindak pidana korupsi mempunyai nilai lebih bagi Kortas Tipikor. Faktor Novel yang mempengaruhi cara bertindak dalam menjalankan mekanisme penanganan korupsi juga berpengaruh terhadap pandangan masyarakat. Novel dapat dikatakan semacam simbol perlawanan dari drama besar upaya penggembosan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Tentunya kompetisi kedua lembaga ini akan menghasilkan ilinx, sebuah permainan yang melibatkan daya psikis tertentu sehingga muncul tensi dan atensi publik. Publik seolah secara psikis masuk dan mengikuti kompetisi karena mempunyai sikap keberpihakan kepada salah satu lembaga yang seolah berkompetisi.
Keempat jenis permainan di atas, merujuk pada Joost Raessens, bisa diresapi oleh dua suasana atau semangat yang terliihat, yaitu semangat paidia yang menggambarkan spontanitas, improvisasi, dan impulsif yang berlangsung dalam sebuah permaian. Semangat lainnya, yaitu ludus, adalah lahirnya kebutuhan untuk meningkatkan personal skills, dan disiplin dalam sebuah permainan.
Kembali pada pandangan Johan Huizinga. Bermain adalah gejala alam yang mendahului kebudayaan, bermain bukan diartikan dalam arti sempit bahwa apa yang ditunjukkan oleh pemain hanyalah sebuah kesenangan. Mungkin dapat disimpulkan, terbentuknya Kortas Tipikor mempunyai semangat Homo Ludens, semangat ini yang akan melahirkan budaya baru, yaitu budaya antikorupsi di Indonesia. (I76)