Isu Dewan Kolonel (loyalis Puan Maharani) di internal PDIP yang ditandingi dengan Dewan Kopral (relawan Ganjar Pranowo) tampaknya mengindikasikan masih kuatnya nuansa pengaruh militer di Pemilu 2024. Mengapa itu bisa terjadi?
Isu keberadaan kelompok khusus di internal PDIP bernama Dewan Kolonel sebagai tim strategis pemenangan Puan Maharani telah berhembus sejak pekan lalu. Belakangan, Dewan Kopral yang merupakan relawan Ganjar Pranowo muncul sebagai penantang.
Mulanya, Dewan Kolonel dibentuk oleh fraksi PDIP di DPR. Tugas utamanya, demi meningkatkan citra Ketua DPR sekaligus Ketua DPP PDIP Puan Maharani hingga ke daerah pemilihan (dapil) masing-masing anggota.
Tujuan luhung Dewan Kolonel sendiri tak lain untuk menyokong Puan sebagai calon presiden (capres) di kontestasi elektoral 2024.
Menurut Anggota Fraksi PDIP Trimedya Panjaitan, Johan Budi merupakan inisiator Dewan Kolonel. Trimedya sendiri berperan sebagai koordinator yang membawahi 12 anggota.
Nama beken anggotanya pun telah beredar, antara lain Utut Adianto, Bambang “Pacul” Wuryanto, Hendrawan Supratikno, hingga Masinton Pasaribu.
Menariknya, berbeda dengan Puan yang dikabarkan senang dengan keberadaan Dewan Kolonel, Ketua Umum (Ketum) PDIP yang juga Ibunda Puan, Megawati Soekarnoputri justru sebaliknya.
Berdasarkan informasi dari Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto, Mega memintanya meluruskan bahwa tidak ada yang namanya Dewan Kolonel. Hasto menambahkan, eksistensi dewan itu tak lain hanyalah guyonan politik semata.
Akan tetapi, relawan politisi PDIP lainnya yang juga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo seolah menantang keberadaan Dewan Kolonel tiga hari berselang, yakni dengan membentuk Dewan Kopral.
Ganjar yang notabene kader PDIP dengan elektablitas tertinggi sebagai Capres 2024, nyatanya masih terus didorong agar partai banteng lebih meliriknya dibanding Puan.
Penggagas Dewan Kopral ialah Ketua Relawan Ganjar Pranowo (GP) Mania Immanuel Ebenezer atau Noel. Menurutnya, Kopral merupakan singkatan dari Komando Perjuangan Rakyat Jelata.
Akan tetapi, sosok yang pada Pilpres 2019 lalu menjadi ketua relawan Joko Widodo (Jokowi) itu menegaskan kembali imbauan Ganjar kepada para relawan, yaitu tetap tenang dan tidak memperkeruh suasana.
Jika ditelisik lebih dalam, penamaan semacam kelompok ad-hoc yang mengadopsi pangkat kemiliteran seperti Kolonel dan Kopral itu seolah mengindikasikan hal yang cukup ironis.
Itu tak lain dari kecenderungan masih kuatnya pengaruh impresi kemiliteran dalam politik tanah air, meskipun Reformasi yang mengamanatkan profesionalitas tentara pasca Orde Baru (Orba) telah berjalan lebih dari dua dekade.
Lantas, mengapa itu bisa terjadi?
Terjebak Metafora Militer?
Di permukaan, politik penamaan merupakan bagian dari proses ketika aktor mengklasifikasikan lingkungan tempat di mana mereka berinteraksi.
Dalam telaah sosiologis, intrik politik penamaan di balik Dewan Kolonel dan Dewan Kopral kiranya bisa dipahami lewat buku Pierre Bourdieu yang berjudul Language and Symbolic Power.
Sosiolog asal Prancis itu menjabarkan hakikat sebuah penamaan dalam ilmu sosiologi, yakni sebagai tindakan pemaksaan simbolis yang menjadikan aktor tertentu sebagai pemegang monopoli dan kekuatan simbolik yang sah.
Secara lebih spesifik, Valerie Alia dalam publikasi berjudul The Politics of Naming menggagas penamaan politik dalam bingkai konsep political onomastic dan permainan penamaan (naming games).
Dalam analisisnya, dunia politik nyatanya membutuhkan penamaan dalam berbagai elemen interaksi di antara para aktor di dalamnya. Mulai dari penamaan sebuah partai politik (parpol) hingga gerakan politik yang sedang dilakukan.
Tujuan utama dari political onomastic dan naming games adalah sebagai alat klasifikasi sekaligus pemersatu. Selain itu, dua konteks itu juga sering dilakukan demi mewujudkan, menciptakan, dan memelihara hubungan hak istimewa kekuasaan politik yang ada.
Pada konteks penamaan dewan dengan pangkat kemiliteran seperti Kolonel dan Kopral, intrik politik di antara para aktor yang terlibat kiranya dipengaruhi oleh adopsi metafora klasik terkait peperangan.
James F. Childress dalam The War Metaphor in Public Policy: Some Moral Reflections menjabarkan tendensi penggunaan istilah perang dan militer sebagai kiasan sastra dan retorika yang telah lama digunakan.
Dalam penggunaan politik, metafora perang dan militer kerap diutilisasi untuk mengelola masalah maupun konflik sosial yang dirasakan, antara lain dengan mengambil sudut pandang komparasi musuh hingga strategi dalam peperangan yang sesungguhnya.
Sebagai sampel, frasa “perang terhadap narkoba”, “perang budaya”, hingga “perang dagang” menjadi sesuatu yang barang tentu tak asing terdengar.
Akan tetapi, dalam konteks intrik politik Dewan Kolonel vs Dewan Kopral, para aktor yang terlibat kiranya justru terjebak dan agaknya tak harus memunculkan penamaan tersebut.
Preseden nama “Dewan Jenderal” yang lekat dengan Gerakan 30 September (G30S) serta kesan adopsi unsur kemiliteran dalam politik praktis yang berdampak minor pada era Orba membuat penamaan dua kelompok itu semestinya tak dilakukan.
Di konteks PDIP misalnya, dengan aliran Marhaenisme yang menjadi ideologinya, adopsi nama-nama yang mengandung unsur perjuangan kelas bawah boleh jadi lebih membumi dan tidak meninggalkan kesan koersif dalam sebuah manuver politik.
Lalu, apakah hal itu menggambarkan fenomena politik tertentu?
Sipil Masih Inferior?
Natalie Sambhi dalam publikasinya berjudul Generals gaining ground: Civil-military relations and democracy in Indonesia menyebutkan satu faktor terpenting dalam pola hubungan baru sipil-militer di Indonesia, yakni Presiden Jokowi.
Ya, dengan merangkul banyak purnawirawan militer dan seolah memberikan ruang lebih bagi militer aktif dalam perkara sipil, Presiden Jokowi dianggap menciptakan semacam degradasi terhadap amanah Reformasi.
Yang menjadi ironis, kesan-kesan superioritas segala hal terkait kemiliteran kiranya menjadi semacam patologi warisan Orba yang cukup sulit hilang hingga kini.
Kuatnya cengkraman militer dalam memengaruhi kehidupan multidimensi di masa kepemimpinan Soeharto membuat teori kekuatan sosial atau social power theory begitu terasa dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat setelah Reformasi, termasuk dalam dimensi politik.
Teori itu sendiri ditenarkan oleh Barry E. Collins, Bertram Raven, dan John Schopler yang menjelaskan bagaimana kepatuhan sosial kerap dapat berjalan lebih efektif dengan mengerahkan simbol kekuatan inheren manusia, yang mana dalam dunia modern erat dengan maskulinitas, konflik, peperangan, dan militer.
Jika dielaborasi, penggunaan simbol-simbol kekuatan itu ditujukan bukan untuk melawan musuh militer yang konkret yang dapat dikalahkan, tetapi sebagai simbol dari jumlah usaha, pengorbanan, dan dedikasi yang perlu diterapkan dalam sebuah perebutan kekuasaan politik.
Padahal, impresi superioritas tersebut bisa saja hanya bersifat semu. Anggota Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik yang juga pengamat militer Khairul Fahmi mengemukakan istilah satire, yakni mitos kesatria.
Menurutnya, tendensi untuk melakukan glorifikasi terhadap simbol-simbol kemiliteran sebagai esensi yang lebih baik dibandingkan simbol dan kekuatan sipil justru keliru.
Terdapat faktor inferiority complex atau keadaan minor di mana mental atau kondisi psikologis yang cenderung merasa inferior maupun lebih rendah dibanding pihak lain.
Sebuah penelitian dari R.D. McKinlay dan A.S. Cohan yang dipublikasikan dalam Comparative Analysis of the Political and Economic Performance of Military and Civilian Regimes juga menegasikan postulat yang menyiratkan segala hal tentang militer lebih baik dibandingkan sipil.
McKinlay dan Cohan melakukan perbandingan kinerja di bidang politik, pertahanan, dan ekonomi di antara negara-negara yang dikelola militer dan negara-negara yang dikelola sipil.
Hasilnya, tidak terdapat banyak perbedaan antara sipil dan militer, sekaligus membantah persepsi pihak yang cenderung menginferiorkan kalangan sipil.
Dengan kata lain, mengemukanya intrik Dewan Kolonel vs Dewan Kopral agaknya harus dipandang sebagai indikasi sekaligus peringatan bahwa residu pengaruh kemiliteran dalam politik praktis masih ada.
Padahal, supremasi sipil seharusnya terus dikedepankan demi implementasi penyelenggaraan negara yang demokratis dan bebas dari tendensi koersif apapun. (J61)