“Siapa yang enggak takut sama Koopsusgab? Hayo ngomong sama saya,” ~Moeldoko
PinterPolitik.com
[dropcap]T[/dropcap]eroris, temui lawan baru: Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pasukan elit anti-teror ini diklaim telah disetujui oleh presiden untuk diaktifkan kembali. Upaya pemberantasan terorisme pun kini memasuki babak baru.
Pengaktifan kembali Koopsusgab tersebut menandai masuknya TNI ke dalam operasi anti-teror di tanah air. Beberapa kalangan memang berharap angkatan bersenjata tersebut mau ikut serta untuk memberantas terorisme yang kian hari kian meresahkan.
Selama ini, pemberantasan aksi teror lebih banyak ada dalam kendali korps yang lain: Polri. Korps yang dipimpin oleh Tito Karnavian ini memiliki satuan khusus yang bertugas memberantas terorisme, yaitu Densus 88. Meski begitu, di mata sejumlah pihak, kiprah kepolisian dirasa masih belum benar-benar memuaskan.
Kini, kedua korps masing-masing memiliki tugas yang sama dalam perang melawan terorisme. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mengoordinasikan kedua korps tersebut? Apakah akan ada tumpang tindih dari kebijakan tersebut? Apakah kebijakan ini akan membuka luka lama rivalitas TNI-Polri?
Membawa TNI ke Ranah Anti-Teror
Koopsusgab sebenarnya sudah ada jauh sebelum rentetan teror belakangan ini. Jika melihat riwayatnya, pasukan gabungan ini dibentuk oleh TNI di era kepemimpinan Panglima TNI Moeldoko pada tahun 2015. Saat itu, pasukan elite ini dimaksudkan sebagai kekuatan pendukung saat operasi represif. Pasukan ini kemudian dibekukan di era kepemimpinan Gatot Nurmantyo.
Kekuatan dari pasukan tersebut tergolong mentereng. Tiga pasukan elit dari masing-masing matra tergabung ke dalam pasukan gabungan tersebut. Sat-81 Gultor Komando Pasukan Khusus (TNI AD), Detasemen Jala Mengkara (TNI AL), dan Sat Bravo 90 Korps Pasukan Khas (TNI AU) berpadu membentuk pasukan gabungan tersebut.
Menurut Moeldoko, Koopsusgab ini baru akan beroperasi jika ada permintaan dari Kapolri. Ia menyebut bahwa pasukan tersebut membantu kepolisian untuk mengatasi keadaan khusus seperti terorisme. Pasukan ini disebut baru akan diturunkan jika situasi sudah di luar kapasitas polisi.
Di atas kertas, Polri tampak tidak bermasalah jika TNI dilibatkan dalam pemeberantasan terorisme melalui Koopsusgab. Wakapolri Syafruddin menyebut jika bahwa selama ini sudah ada nota kesepahaman perbantuan TNI kepada Polri. Itu menjadi penanda bahwa secara prinsip, Polri tidak ada masalah jika TNI terlibat dalam pemberantasan terorisme.
Kapolri Tito Karnavian juga menambahkan, bahwa keterlibatan TNI ini akan serupa dengan Operasi Tinombala beberapa waktu silam. Kala itu, TNI dan Polri memang bersinergi untuk melawan kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur di Poso, Sulawesi Tengah.
Meski disebut akan bekerja sesuai dengan permintaan Kapolri, kekhawatiran akan adanya tumpang tindih penugasan dari masing-masing korps tetap mengemuka. Apalagi, isu rivalitas antara kedua korps ini seringkali tercium. Tidak jarang, terjadi bentrok fisik dari dua korps yang semula berada dalam satu payung tersebut.
Pengamat terorisme Sidney Jones misalnya menungkapkan kekhawatiran soal persaingan tersebut. Pelibatan TNI di matanya justru dapat menimbulkan duplication of effort dan peningkatan persaingan antarinstansi.
Rivalitas Dua Cabang
Rivalitas tersebut sejalan dengan sebuah konsep, yaitu interservice rivalry atau interservice competition. Samuel Huntington pernah menulis dalam sebuah jurnal mengenai konsep ini. Secara umum, rivalitas antara dua cabang angkatan bersenjata dapat terjadi karena adanya persaingan untuk memperebutkan sumber daya yang terbatas antara kedua angkatan tersebut.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, rivalitas untuk memperebutkan sumber daya – terutama dana – memang kerap terjadi. Di negara adikuasa seperti Amerika Serikat (AS), persaingan misalnya pernah terjadi antara Army atau angkatan darat dengan Navy atau angkatan laut. Selain itu, persaingan juga terjadi antara intelejen khusus, yaitu antara CIA dan FBI.
AS pernah mengalami persaingan cukup mengganggu antara Army dengan Navy di masa Perang Dunia II. Persaingan kedua angkatan perang ini disebut-sebut mengurangi efektivitas operasi militer mereka di masa perang tersebut.
Persaingan mereka bersumber dari perebutan soal dana tahunan yang dibahas di Kongres. Menurut Huntington, masing-masing angkatan memiliki pendukung politik tersendiri yang berada di dalam Kongres. Satu kelompok akan mengurangi pengeluaran untuk kelompok lainnya dalam perdebatan di Kongres tersebut.
Selain soal dana, rivalitas juga dapat bersumber dari hal lain. Masalah prestise atau kepemilikian senjata juga kerap menyebabkan dua angkatan perang saling berkompetisi. Selain itu, permasalahan juga dapat bersumber dari persaingan jabatan politik, seperti siapa yang berhak menjadi kepala seluruh angkatan bersenjata.
Berebut Lampu Sorot
Pengaktifan kembali Koopsusgab dapat menjadi sinyal dari interservice rivalry antara TNI dan Polri. Ada persoalan dana dan juga prestise yang diperebutkan melalui pembentukan pasukan tersebut.
Koopsusgab dapat menjadi tanda bahwa TNI ingin mengambil alih lampu sorot dan segala jenis keuntungan yang dinikmati Polri dalam aksi pemberantasan terorisme. TNI yang semula hanya jadi penonton, kini punya medan laga untuk menunjukkan kapabilitasnya sebagai angkatan perang.
Maraknya aksi teror memang memberikan kewenangan khusus kepada mereka. Mereka misalnya dapat terlihat amat gagah dan disambut bak pahlawan tatkala berhasil melumpuhkan teroris melalui kontak senjata. Hal ini tidak bisa dinikmati oleh TNI.
mmg gak hrs gitu, nglawan org mbawa samurai kan cukup pake silat & aparat teritorial @tni_ad utk kontra-radikalisasi, sdg utk penindakan cukup Kopassus yg gak pernah gagal (gak perlu kekuatan arisan/gab) @jokowi @PolhukamRI @Puspen_TNI @DPR_RI @KSPgoid https://t.co/3qhLcRp6g3
— J.S. Prabowo (@marierteman) May 18, 2018
TNI memang tidak memiliki musuh nyata serupa dengan Polri. Angkatan perang tersebut memang tidak memiliki medan kombat atau musuh besar yang membuat mereka harus angkat senjata secara heroik, apalagi di era yang tidak banyak perang seperti sekrang ini. Saat kepolisian tampil memberantas teroris, praktis mereka hanya menjadi penonton.
Jika ditarik jauh, pasca pemisahan TNI dan Polri dari ABRI, TNI memang perlahan mulai tergeser pamornya. Polri misalnya secara struktur berada langsung di bawah kendali Presiden. Sementara itu, TNI berada di bawah Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Perbedaan struktur ini berdampak secara langsung dalam urusan penganggaran.
Pasca pemisahan TNI dan Polri, Polri memang seperti mendapat angin baru. Gelontoran dana cenderung lebih banyak mengalir untuk kepolisian. Aliran dana tersebut menjadi semakin tinggi setelah kepolisian mendapatkan tugas khusus untuk memberantas terorisme.
Dana yang diterima secara utuh oleh Polri cenderung akan lebih besar melalui pembagian struktur seperti ini. Pada APBN 2018, dana sebesar Rp 96,3 triliun digelontorkan utuh untuk Polri. Sementara itu, dana yang dialirkan untuk Kemenhan berjumlah Rp Rp 170,7 triliun.
Di atas kertas, anggaran Polri memang terlihat lebih rendah. Akan tetapi, anggaran TNI masih harus dibagi terlebih dahulu dengan anggaran Kemenhan. Selain itu, TNI juga terdiri dari tiga matra yang masing-masing harus menerima aliran dana khusus. Hal ini jelas merugikan jika dibandingkan dengan Polri yang aliran dananya utuh dan khusus untuk mereka.
Secara khusus, aliran dana untuk Densus 88 tergolong cukup besar. Di APBN 2017 misalnya, detasemen anti-teror tersebut menikmati aliran dana khusus sebesar Rp 1,9 triliun dari anggaran negara. Aliran dana tersebut tergolong cukup besar untuk sebuah pasukan khusus.
Fadli Zon: Percuma Bentuk Koopsusgab, Teror Masih Terjadi https://t.co/KF2JQa8RjP
— Fadli Zon (@fadlizon) May 22, 2018
Densus 88 bahkan disebut-sebut menerima bantuan biaya khusus dari pihak luar. DPR pernah mengungkapkan bahwa detasemen khusus tersebut memang menerima bantuan dana dari negara lain seperti AS dan Australia. Hal ini membuat pundi-pundi kepolisian menjadi lebih tebal.
Jika Koopsusgab benar-benar beroperasi, maka TNI bisa menerima dana yang kurang lebih serupa dengan yang diterima Polri melalui Densus 88. Hal ini jelas menguntungkan korps yang bermarkas di Cilangkap tersebut.
Sejauh ini, menurut Moeldoko, pembentukan Koopsusgab tidak akan memerlukan anggaran khusus. Ia menyebut bahwa anggaran TNI untuk aktivitas anti-teror sudah tersedia. Pengaktifan pasukan ini menurutnya tidak akan membebani anggaran negara. Meski begitu, jika pasukan ini berlanjut, bukan tidak mungkin ada aliran dana khusus yang mengalir untuk mereka.
Berdasarkan kondisi tersebut, bisa dilihat bahwa masuknya TNI melalui Koopsusgab tidak semata-mata murni soal kebutuhan di lapangan. TNI dapat menikmati keuntungan dana dan senjata yang melimpah jika kebagian jatah untuk memberantas terorisme.
Pengaktifan Koopsusgab kemudian dapat dipandang dari sisi rivalitas TNI-Polri terutama dari sisi dana. Aliran dana khusus bisa saja diberikan kepada korps yang dipimpin oleh Hadi Tjahjanto jika agenda melawan teror masih menjadi agenda utama republik ini. Selain berhasil menarik sorotan lampu kepada mereka, aliran dana kepada mereka juga jelas menjadi keuntungan tersendiri. (H33)