Bersama dengan WhatsApp Company, Pemerintah akan mengontrol penyebaran berita hoaks dengan membatasi forward message whatsApp maksimal 5 kali share
PinterPolitik.com
Di tahun 2016, Kamus Oxford mentasbihkan kata “post-truth” sebagai “word of the year” sebagai kata yang digunakan untuk mendefinisikan situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan fakta-fakta yang obyektif.
Kondisi tersebut diyakini sebagai dampak adanya penyebaran hoaks yang begitu masif. Lagi-lagi, media sosial dituduh bertanggung jawab atas fenomena tersebut. Terlebih orang yang menggunakan platform tersebut hampir tak terhitung jumlahnya saat ini.
Pemerintah jadi diktator digital? Share on XOleh karenanya, guna mencegah semakin meluasnya post truth dan demi mencegah berkembangnya hoaks dan disinformasi masyarakat, menjelang Pilpres 2019 pemerintah melalui Menkominfo, Rudiantara bersama Wakil Direktur Kebijakan Publik dan Komunikasi WhatsApp Global, Victoria Grand, menyepakati akan menerapkan aturan mengenai pesan terusan atau forwarded messagedi platform chatting terbesar tersebut.
Mulai 22 Januari 2019, sebuah pesan di WhatsApp hanya bisa diteruskan sebanyak 5 kali. Sungguh sebuah langkah yang mengejutkan dari pemerintah dan pihak WhatsApp.
Tak hanya aturan baru dari WhatsApp, induk perusahaannya, yakni Facebook, juga melakukan langkah-langkah serupa demi menghadapi datangnya momentum politik di Indonesia. Menjelang Pilpres 2019, perusahaan besutan Mark Zuckerberg ini melakukan sejumlah langkah politis demi berpartisipasi aktif dalam membendung serangan hoaks di platform milikinya.
Menyikapi langkah pemerintah tersebut, mungkinkah hal ini murni sebagai niat untuk mencegah berkembangnya hoaks sebagai sesuatu yang buruk? Ataukah ada kemungkinakn tujuan politis lainnya?
Whatsapp dan Facebook di Pusaran Politik
Tentu publik tak lupa peran Facebook dan WhatsApp dalam politik dan pemilu di beberapa Negara. Bahkan dua platform ini sempat menjadi sarana kemenangan bagi beberapa presiden.
Sebut saja kemenangan Trump menjadi presiden AS, yang digadang-gadang menggunakan Facebook sebagai platform penyebar hoaks Trump dan berhasil membentuk preferensi publik tentang kandidat presiden.
Dengan menggandeng perusahaan konsultan digital Cambridge Analytica dan Palantir, Trump menjadi produsen hoaks di Facebook.
Atau kemenangan the tropical Trump, Jair Bolsonaro di Brazil dengan menggunakan hoaks yang disebarkan secara massif melalui pesan WhatsApp.
Belum lagi tuduhan terhadap Presiden Filipina, Rodrigo Duterte yang diduga menggunakan cyber troops untuk menyebarkan berita hoaks melalui platform Facebook.
Beberapa fenomena tersebut pada akhirnya menujukkan bahwa selama ini perusahaan ini sebenarnya berperan aktif dalam konstelasi politik suatu negara.
Dalam konteks politik di Indonesia menjelang Pilpres, WhatsApp dan Facebook memang terkesan begitu kooperatif dengan rezim dalam memberantas hoaks.
Announcing from Jakarta with the elections not far away in Indonesia, WhatsApp says it will limit users to five text forwards to curb rumors & hoax news https://t.co/wGloS63zov
— Ross Tapsell (@RossTapsell) January 22, 2019
Facebook misalnya, mau bekerja sama dengan pihak ketiga dalam memeriksa fakta (third-party fact checking) di antaranya Tirto.id, AFP, Liputan6, Kompas, Tempo, dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo).
Facebook juga menghapus 753,7 juta akun palsu pada Kuartal I-2019 dengan menggunakan teknologi kecerdasan buatan dalam mengidentifikasi akun palsu. Bahkan, Facebook menambah 20 ribu pegawainya untuk menangani akun palsu.
Memang pihak WhatsApp menyebut bahwa kebijakan ini telah diterapkan di India pada pertengahan 2018 lalu. Strategi ini berhasil menekan lalu lintas forwarding message sebesar 20 persen.
Jika memang hoaks menjadi sebuah keresahan global, mengapa WhatsApp dan Facebook tak melakukan hal yang sama ketika pemilu di AS dan Brazil yang kadung dimenangkan oleh sosok kontroversial layaknya Trump dan Bolsonaro juga patut dipertanyakan.
Meskipun begitu, jika melihat pendekatan pemerintah selama ini yang begitu getol mengontrol aktivitas daring masyarakatnya, bisa jadi tak ada pilihan lain bagi WhatsApp dan Facebook untuk tak memihak petahana.
Seperti dalam prinsip bisnis, mengacu pada pragmatisme para pebisnis dalam melakukan adaptasi dalam lingkungan politik di suatu negara. Ian Bremmer dan Preston Keat pernah menuliskan hal tersebut dalam bukunya berjudul The Fat Tail: The Power of Political Knowledge for Strategic Investing, di mana investor yang beroperasi di negara-negara dengan sistem politik yang tak pasti akan selalu beradaptasi dengan jalan mencari aman dengan kecenderungan berdamai dengan rezim.
Terlepas langkah WhatsApp dan Facebook tersebut sebagai bentuk oportunisme bisnis semata ataukah memang ada motif politik di baliknya, masih sulit untuk dibuktikan.
Kontrol WhatsApp, Kontrol Privasi?
Bagi beberapa orang, kerja sama pemerintah dengan WhatsApp dapat diartikan bahwa negara tengah berusaha untuk memasung dan membatasi kebebasan masyarakatnya dalam menggunakan sosial media.
Kekhawatiran kontrol pemerintah menggunakan skema algoritma ini sebenarnya telah diperingatkan oleh Yuval Noah Harari dalam buku terbarunya berjudul 21 Lessons for 21st Century.
Di era kecanggihan teknologi ini, industri digital memungkinkan kemunculan apa yang disebut sebagai kekuasaan tiranikal, yakni kekuasaan depostik yang dikonstruksi melalui skema algoritma berbasis big data yang amat melimpah dengan tingkat keberagaman yang tinggi.
Mayoritas hoax di Indonesia beredar bukan di website, seperti di Amerika Serikat, tapi via Whatsapp. Ini membuat peredaran hoax jadi liar sekali, karena peredarannya sangat personal, tidak bisa sama sekali dikontrol oleh pemerintah. https://t.co/enFOZUJCkn pic.twitter.com/zjozzEfLIP
— Assyaukanie (@idetopia) February 15, 2018
Yuval juga menyebutkan kemungkinan munculnya digital dictatorship – diktator digital –dimana di tangan seseorang yang sangat ambisius untuk menjadi penguasa, teknologi digital akan menjadi bencana yang sangat mematikan.
Dalam konteks politik, bisa jadi fenomena ini mendorong munculnya penguasa politik tiranikal yang dapat melakukan ekspansi ke dimensi paling pribadi dengan menciptakan program algoritma yang menguntungkan aktivitas politiknya. Rezim semacam ini bahkan mampu melakukan kontrol terhadap warga negaranya.
Selaras dengan pendapat Yuval, pembatasan penyebaran pesan WhatsApp ini juga mengindikasikan bahwa pemerintah memiliki kuasa dalam mengontrol privasi masyarakat.
Sementara WhatsApp merupakan bagian dari properti yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga dengan adanya aturan tersebut, Kemenkominfo pada akhirnya memiliki wewenang penuh untuk melakukan pengambilan hak properti seseorang, secara spesifik, melalui pengawasan terhadap aktivitas personal dalam fitur personal chatting secara sepihak.
Di samping itu, dampak dari adanya kebijakan ini bisa saja juga akan merugikan aktivitas bisnis yang juga seringkali memanfaatkan layanan broadcasting yang ada di fitur WhatsApp.
Dalam rezim yang demokratis, tentu kebijakan pemerintah ini berpotensi menimbulkan spekulasi dan pertanyaan publik. Lalu mengapa pemerintah memilih jalan kebijakan pembatasan ini menjelang tahun politik?
Pemerintah Khawatir
Hoaks memang bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, ia berbahaya karena menyebabkan masyarakat menjadi terpolarisasi dan bahkan berpotensi memicu konflik horizontal. Namun di sisi lain, hoaks dianggap sebagai strategi politik yang manjur.
Realitas hoaks menjadi begitu fenomenal beberapa tahun belakangan ini menyebabkan strategi menyebar hoaks banyak diadopsi oleh beberapa politisi untuk memenangkan pemilu.
Dgn alasan "penyebaran hoax" terusan WhatsApp dibatasi, bgm klu yg ingin disampaikan adlh kebenaran ? rezim panik..@Fahrihamzah @haikal_hassan
— AkunRetjeh (@GusMoelyadi) January 22, 2019
Ross Tapsell dalam tulisannya di New Mandala setahun lalu juga mengingatkan masyarakat yang disinformatif menjadi ancaman serius bagi pemilu di Indonesia yang rentan dipolitisasi demi kepentingan Pilpres.
Maka, wajar jika siapapun terutama kubu petahana mulai merasa terganggung dengan aktivitas penyebaran hoaks dan berupaya untuk menggencarkan kampanye anti-hoaks. Berbagai kampanye anti hoaks kian menguat pasca tragedi Ratna Sarumpaet menghebohkan panggung politik tanah air.
Dari situlah, nampaknya Jokowi sebagai pemerintah sekaligus petahana yang akan maju dalam gelaran Pilpres 2019 terkesan kian preventif terhadap serangan-serangan berita bohong yang kerap kali menyerang sosoknya.
Jika belajar dari pemilu di Malaysia, menurut Ross Tapsell dalam jurnal terbarunya berjudul The Smartphone as the “Weapon of the Weak” mengungkap bahwa WhatsApp dan Facebook juga menjadi fasilitator penyebar berita untuk menyerang pemerintah Najib Razak di negeri Jiran tersebut pada pemilu 2018 lalu.
Namun pemerintahan Najib Razak menanggapi beragam berita dan pandangan alternatif yang dibagikan di Facebook dan WhatsApp menjelang periode kampanye dengan menyusun dan mengeluarkan apa yang disebut RUU anti Berita Palsu atau Anti-Fake News Bill.
Sementara itu dalam konteks Indonesia, mungkinkah langkah menggandeng WhatsApp dan Facebook ini merupakan bentuk kepanikan petahana seiring dengan masifnya hoaks yang beredar di dunia maya? Tentu jawabanya belum bisa dipastikan.
Pada akhirnya, memerangi hoaks untuk kepentingan politik justru akan semakin membenarkan apa yang diramalkan Harari dengan kemungkinan munculnya digital dictatorship -dalam konteks ini pemerintah- dan menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. (M39)