Demonstrasi terjadi di Bali untuk menuntut pembebasan pemain drum Superman Is Dead (SID) Jerinx atas kasus “IDI kacung WHO” karena dinilai tidak bersalah. Dengan Indonesia yang menerapkan politik demokrasi, haruskah pernyataan kontroversial Jerinx dinilai sebagai bentuk kebebasan berekspresi?
“Prinsip-prinsip liberal bisa menjadi penghancur bagi bentuk-bentuk patriotisme tertinggi yang penting bagi kelangsungan hidup suatu komunitas” – Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man
Telah lama pemain drum Superman Is Dead (SID) I Gede Ari Astina alias Jerinx mendapat sorotan tersendiri dari publik karena berbagai aksi dan pernyataan kontroversialnya. Publik tentu masih ingat bagaimana kerasnya Jerinx sebagai aktivis ketika menolak reklamasi Teluk Benoa.
Tanpa takut, pria bertato ini bahkan mengkritik keras Gubernur Bali, I Wayan Koster karena enggan membeberkan isi surat yang dikirim kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait posisinya atas proyek tersebut.
Di tengah sorotan publik perihal pandemi Covid-19, Jerinx pun tidak ketinggalan bersuara. Tidak tanggung-tanggung, dengan lantang dan konsisten Ia menegaskan bahwa Covid-19 adalah konspirasi semata. Lebih kontroversialnya, Jerinx bahkan menyebut Covid-19 sebenarnya tidak berbahaya.
Jerinx juga aktif menyuarakan agar rapid test yang terbukti tidak efektif ditiadakan karena justru menimbulkan polemik, seperti kasus kematian bayi karena rapid test menjadi syarat persalinan.
Kini, Jerinx si suara lantang tengah menghadapi pengadilan karena dijerat UU ITE dalam posting-annya yang menyebut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai “kacung” Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Beberapa waktu yang lalu, demonstrasi di Bali terjadi untuk menuntut pembebasan Jerinx. Menurut mereka, Jerinx tidaklah bersalah karena hanya menyuarakan keresahan masyarakat. Mereka juga menuntut agar UU ITE dihapuskan dan persidangan dilakukan secara tatap muka.
Dalam kasus ini, opini publik tampaknya terbelah antara yang mendukung dan yang kontra. Lantas pertanyaannya, dengan mengacu pada politik demokrasi yang diterapkan di Indonesia, haruskah Jerinx dibebaskan dalam kasus ini?
Masalah Demokrasi Liberal
Berbeda dengan pandangan optimisnya dalam The End of History and the Last Man, dalam bukunya The Origin of Political Order dan Political Order and Political Decay, Francis Fukuyama mengutarakan dua perubahan terpentingnya dalam melihat masa depan demokrasi. Pertama adalah kesulitan untuk mengembangkan negara demokrasi liberal modern yang impersonal. Kedua adalah kemungkinan demokrasi liberal modern tengah mengalami pembusukan atau bergerak mundur.
Dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, Fukuyama menerangkan persoalan penting yang intangible (tidak berwujud) sebagai masalah utama untuk mewujudkan demokrasi liberal modern, yakni masalah identitas.
Menurutnya, terdapat tiga masalah yang sukar diselesaikan oleh demokrasi liberal modern, yakni thymos, isothymia, dan megalothymia.
Thymos adalah bagian dari jiwa manusia yang sangat membutuhkan pengakuan akan martabat. Isothymia adalah tuntutan untuk dihormati atas dasar kesetaraan dengan orang lain. Sedangkan megalothymia adalah keinginan untuk diakui sebagai yang lebih unggul.
Ketiga hal tersebut menuntut satu hal, yakni hasrat untuk diakui atau dihormati. Masalahnya adalah, kendati demokrasi liberal modern menjanjikan kehormatan yang setara, pada praktiknya janji tersebut begitu sulit terjadi.
Dengan jaminan kesamaan hak, seperti kebebasan berpendapat, setiap individu ataupun kelompok sosial akan berusaha untuk menyuarakan identitas ataupun kepentingannya agar mendapatkan pengakuan. Akan tetapi, tidak mungkin setiap identitas dan kepentingan tersebut diakui secara setara.
Donny Gahral Adian dalam bukunya Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme dengan lebih dalam mengurai persoalan ini. Masalah demokrasi liberal yang disebutkan Fukuyama tersebut menurutnya berawal ketika demokrasi dijadikan satu paket dengan liberalisme.
Menurut Tenaga Ahli Utama Kepala Staf Presiden (KSP) ini, demokrasi yang sebagai demos atau kolektivitas politik justru kehilangan kemampuannya untuk membentuk proyek-proyek kolektif (kesejahteraan umum) karena ia disibukkan dengan euforia untuk mewujudkan individualisme yang dijunjung oleh liberalisme.
Dengan mengutip Carl Schmitt, Donny menerangkan bahwa demokrasi liberal merupakan sebuah kontradiksi konseptual. Bagaimana mungkin individualisme berada dalam gelas yang sama dengan kolektivitas?
Dalam bukunya yang lain, Teori Militansi: Esai-Esai Politik Radikal, Donny kembali menyinggung hal serupa. Tegasnya, liberalisme yang mengusung supremasi individu alias mendahului kolektivitas, secara langsung telah berkonsekuensi pada pengambilan keputusan secara agregatif. Oleh karenanya, ini menimbulkan persoalan, yakni voting dinilai setara dengan common good atau kebaikan bersama.
Konteks masalah kontradiksi ini sebenarnya telah disadari oleh Fukuyama, bahkan sudah tersurat dalam bukunya The End of History and the Last Man. Dalam pembahasannya mengenai The Last Man atau Manusia Terakhir, menariknya Fukuyama menyinggung persoalan liberalisme seperti yang dikemukakan oleh Donny.
Menurutnya, jika didasarkan pada prinsip-prinsip liberal, konsep kekeluargaan benar-benar tidak berfungsi karena anggotanya tidak didasarkan pada ikatan cinta kasih, melainkan pada kalkulasi untung-rugi (cost-benefit calculus). Pun begitu pada tingkat asosiasi terbesar seperti negara. Prinsip liberal justru dapat meniadakan bentuk-bentuk patriotisme yang penting bagi keberlangsungan suatu komunitas.
Dalam bukunya Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, Fukuyama kembali menyinggung persoalan ini. Menurutnya, prinsip-prinsip individualisme yang cenderung egois atau tidak menjunjung ikatan kolektif, justru berkonsekuensi tidak hanya pada praktik politik, melainkan juga buruk bagi ekonomi.
Penekanannya adalah, tanpa adanya ikatan cinta kasih atau perasaan kolektif, trust atau rasa saling percaya akan sulit tumbuh. Sebagai pengganti trust tersebut, biaya produksi tambahan untuk mengikat agen-agen ekonomi harus dilakukan.
Singkatnya, jika kita membaca buku-buku Fukuyama, kendati Ia mempromosikan demokrasi liberal, tesisnya justru mengarah pada kolektivitas dan ikatan-ikatan sosial. Dengan kata lain, seperti yang ditegaskan oleh Donny, demokrasi sejatinya adalah sistem yang memungkinkan untuk mewujudkan kebaikan bersama atau kolektivitas masyarakat.
Bagaimana dengan Jerinx?
Pada kasus Jerinx, terdapat dua hal yang harus dipahami secara terpisah, kendatipun memiliki relasi. Pertama adalah persoalan penerapan hukum. Kedua adalah persoalan individualisme dalam demokrasi.
Yang pertama, tentu banyak dari kita sepakat bahwa UU ITE yang menjerat Jerinx telah menjadi pasal karet yang banyak digunakan untuk membungkam kritik. Ini poin yang mudah dipahami secara bersama. Namun yang kedua, pernyataan-pernyataan kontroversial Jerinx tidak bisa semata-mata dibenarkan atas nama kebebasan berekspresi, seperti yang ditegaskan olehnya.
Seperti dalam pembahasan sebelumnya, sistem politik demokrasi memang menjanjikan kesetaraan hak, seperti kebebasan berpendapat. Akan tetapi, harus dipahami bahwa keinginan untuk diakui tersebut tidak boleh terbentur dengan kepentingan kolektif.
Pada kasus Jerinx, tentu hak politiknya untuk menyebut Covid-19 sebagai konspirasi diakui. Akan tetapi, ketika Ia menegaskan dan membawa massa untuk menyebutkan Covid-19 tidak berbahaya, itu berbenturan dengan keinginan kolektif untuk menangani pandemi Covid-19.
Saat ini, salah satu masalah utama penanganan pandemi adalah rendahnya kedisiplinan masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan. Masalahnya, narasi-narasi Jerinx telah berkonsekuensi secara langsung dan tidak langsung dalam menurunkan kepatuhan tersebut. Tidak sedikit pihak yang enggan mengikuti protokol kesehatan, seperti menggunakan masker karena berdalih Covid-19 tidak berbahaya atau bahkan dinilai tidak benar-benar ada.
Singkatnya, jika kita benar-benar ingin menegakkan substansi demokrasi untuk menuju kebaikan bersama, memang akan ada hak-hak individu yang harus dikecualikan demi terwujudnya kebaikan bersama. Dalam kasus ini, hak Jerinx untuk menyebut Covid-19 tidak berbahaya dapat dikecualikan karena kontraproduktif dengan penanganan pandemi.
Oleh karenanya, menjadi aneh untuk dilihat mengapa Jerinx justru dijerat dengan UU ITE. Padahal, tindakannya telah berkonsekuensi pada nyawa orang banyak. Lalu, narasi Jerinx juga tidak hanya membahayakan secara kesehatan, melainkan juga secara ekonomi. Pasalnya, penanganan pandemi yang terhambat akan berkonsekuensi pada semakin lamanya pemulihan ekonomi.
Namun di sini, opininya terkait rapid test tidak dapat diabaikan. Dalam praktiknya, jenis test tersebut kerap kali dimanfaatkan sebagai komoditi bisnis, alih-alih sebagai upaya dalam melawan pandemi. Terlebih lagi, tidak sedikit epidemiolog yang mengkritik penerapan test tersebut.
Pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan dua hal. Pertama, kasus Jerinx harus dibedakan antara persoalan hukum dengan persoalan substansi demokrasi. Kedua, narasi Jerinx terkait rapid test sudah seharusnya didengar.
Kita nantikan saja bagaimana bergulirnya kasus Jerinx ke depannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)