HomeNalar PolitikKonflik Ukraina, 'Tombol Off' Globalisasi?

Konflik Ukraina, ‘Tombol Off’ Globalisasi?

Setelah dunia diterpa bencana ekonomi akibat pandemi Covid-19, saat ini kita dihadapkan tantangan dengan ekonomi baru yang muncul akibat sanksi Barat terhadap Rusia karena serangan militernya ke Ukraina. Mungkinkah ada agenda ekonomi terselubung di balik polemik-polemik global ini? 


PinterPolitik.com 

Amerika Serikat (AS) dan Sekutunya telah menjatuhkan rentetan sanksi ekonomi pada Rusia akibat serangan militernya ke Ukraina. Akibatnya, sebanyak lebih dari 400 perusahaan dikabarkan telah menarik diri dari Negeri Beruang Putih tersebut. 

Sejumlah perusahaan besar Eropa seperti Rolls-Royce, Renault, dan Shell bahkan sudah hampir dipastikan akan rugi akibat sanksi tersebut karena selain memiliki pasar besar di Rusia, mereka juga mendapatkan bahan baku dari negara tersebut. 

Menariknya, sanksi yang merugikan para pegiat ekonomi internasional itu terjadi ketika dunia baru saja berusaha pulih dari serangan pandemi Covid-19, yang juga telah ‘menonjok’ aktivitas perekonomian dunia. Sampai saat ini, masih banyak perusahaan yang mengatur ulang cara mereka mendapatkan barang mentah, akibat melonjaknya biaya tak terduga dalam rantai pasokan global. 

Kalau kita perhatikan, dampak dari konflik Ukraina dan Covid-19 memiliki satu kesamaan, yakni dua-duanya telah menegasikan prinsip inti kebijakan ekonomi dan luar negeri paska-Perang Dingin yang diadopsi oleh AS, Sekutu, serta Rusia dan Tiongkok, yakni integrasi perekonomian global.  

Dengan adanya krisis seperti ini, banyak perusahaan dirugikan oleh investasi internasional, dan terdorong untuk menarik diri dari aktivitas ekonomi mancanegara. 

Karena itu, sejumlah ekonom mulai berpikiran bahwa Covid-19 dan konflik Ukraina adalah salah satu upaya untuk memundurkan globalisasi. Matthew Yglesias, dalam artikelnya We’ll Miss Globalization When It’s Gone di laman Bloomberg menilai bahwa tidak dipungkiri, fenomena ini telah menjadi pukulan besar terhadap gerakan integrasi ekonomi, yang sebelumnya justru selalu dijargonkan oleh Barat. 

Jika benar demikian, muncul pertanyaan menggelitik. Mungkinkah narasi konflik Ukraina, dan Covid-19 sesungguhnya adalah bagian dari upaya untuk memukul balik dampak dari globalisasi? Kalau iya, mengapa ada yang menginginkan hal demikian? 

Menuju Deglobalisasi? 

Untuk mengatakan konflik yang terjadi di Ukraina adalah bagian dari suatu desain besar demi merubah arsitektur ekonomi politik internasional, sesungguhnya bukanlah hal yang terlalu imajinatif. Kenyataannya, konflik yang baru terjadi selama satu bulan ini sudah mendikte sejumlah aktor ekonomi besar untuk bertindak sesuai keinginan sang hegemon, yaitu AS. 

Di dalam studi hubungan internasional, fenomena seperti ini diberi istilah “deglobalisasi”. Markus Kornprobst, dkk, dalam bukunya Theorizing World Orders: Cognitive Evolution and Beyond, menjelaskan deglobalisasi adalah sebuah gerakan untuk mewujudkan dunia yang kurang bergantung satu sama lain, dan melemahkan prinsip integrasi ekonomi global.  

Indikator deglobalisasi di antaranya dicirikan oleh munculnya kembali peran segelintir negara yang kuat, melemahnya institusi internasional, dan hilangnya jaminan investasi serta kerja sama ekonomi internasional. 

Kalau kita perhatikan poin-poin yang disampaikan di atas dengan apa yang sedang terjadi saat ini, maka kita akan menemukan sebuah kesamaan. Di tengah konflik, AS sebagai negara yang paling ditunggu perannya dalam mendamaikan konflik Ukraina justru malah bertindak sangat represif dalam menerapkan sanksi-sanksi ekonominya.  

Baca juga :  Ridwan Kamil dan "Alibaba Way"

Lalu, sejumlah harga komoditas dunia seperti migas dan gandum mengalami fluktuasi yang cukup intens karena konflik Ukraina telah menciptakan sebuah ketidakpastian ekonomi. Di sisi lain, hanya segelintir sektor saja yang benar-benar diuntungkan, yakni sektor industri pertahanan, yang sebagian besar datang dari AS sendiri. 

Lalu jika narasi deglobalisasi memang sedang dijalankan, siapa yang jadi targetnya? 

Well, setelah globalisasi mewabah saat akhir abad ke-20, jendela bagi negara mana pun untuk masuk ke pusaran kekuatan ekonomi global terbuka dengan lebar. Meski sering dianggap sebagai oposisi, Rusia dan Tiongkok termasuk jadi bagian dari negara-negara yang memanfaatkan sistem perekonomian dunia ala barat. 

Tiongkok mendapat keuntungan besar dari jasa buruh dan perangkat-perangkatnya murah, sementara Rusia dapat keuntungan dari perdagangan energi, seperti minyak bumi dan gas alam. Ironisnya, keuntungan yang mereka dapatkan berasal dari Barat. Rusia adalah pemasok energi terbesar Eropa, sementara itu, Tiongkok juga menjadi salah satu mitra dagang terbesar bagi Sekutu. 

Oleh karena itu, entah disengaja atau tidak, globalisasi sesungguhnya telah membuat dua negara tersebut menjadi pemain ekonomi internasional yang penting. Bahkan jika digabungkan, perekonomian mereka telah mencakup 20% dari total perekonomian dunia. 

Namun, dengan munculnya hujan sanksi ekonomi akibat konflik Ukraina, ketergantungan ekonomi yang selama ini dimanfaatkan oleh Rusia dan Tiongkok seakan-akan mendapat pukulan besar, karena hal yang membuat mereka kuat sampai saat ini, telah menjadi duri bagi siapapun yang berani beroposisi dengan Barat. 

Dani Rodrik, seorang profesor ekonomi politik internasional dari Harvard Kennedy School, mengatakan bahwa dengan narasi deglobalisasi ini, AS sepertinya sedang melempar pesan pada dunia bahwa interdependensi akibat globalisasi bisa dijadikan senjata untuk melawanmu.  

Dengan sanksi yang dijatuhkan pada Rusia, banyak negara yang bukan mitra setia AS kini lebih sadar akan bahayanya terikat secara ekonomi dengan Negeri Paman Sam beserta sekutunya. Karena itu, tidak heran ketika Tiongkok melakukan pendekatan langsung ke Eropa setelah Rusia dijatuhkan sanksi, sepertinya Tiongkok pun ingin mendapatkan kepastian tentang hubungan ekonominya. 

Oleh karena itu, besar kemungkinannya bila dugaan deglobalisasi ini benar sedang dijalankan, melalui isu besar seperti konflik Ukraina dan pandemi Covid-19, maka AS dan Barat tampaknya sedang berupaya meredam bangkitnya negara-negara berkembang yang dapat menjadi hegemon ekonomi internasional baru. 

Lantas, apa yang terjadi bila deglobalisasi sudah tercapai? 

Dominasi atau Berkubu? 

Sebagai upaya dalam meraba bagaimana hasil skenario deglobalisasi ini akan terjadi, penulis setidaknya merunutkan kemungkinannya menjadi dua poin utama. Pertama, jika Rusia dan Tiongkok tidak bisa mencari jalan alternatif dan akhirnya tunduk pada AS, maka besar probabilitasnya tatanan dunia akan kembali ditarik ke bentuk unipolarisme, di mana AS duduk sebagai hegemon tunggal. 

Baca juga :  Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Kedua, jika Rusia dan Tiongkok melawan, maka dunia akan terkubu-kubu layaknya pagar di perkebunan yang memisahkan jenis tanaman yang satu, dengan yang lainnya. Namun berbeda dengan keadaan ketika Perang Dingin, kubu-kubuan ini akan lebih bersifat menjaga kestabilan wilayah masing-masing, bukan untuk berkonfrontasi. 

Hal ini karena keadaan saat ini tidak seperti ketika Perang Dingin. Ketika Perang Dunia II selesai, terdapat kekosongan kursi hegemon, tidak ada yang benar-benar menguasai tatanan dunia. Oleh karena itu, Uni Soviet dan AS saling mengadu kekuatan untuk mendapatkan posisi tersebut.  

Tapi, saat ini keadaannya tidak seperti itu. Tidak bisa kita pungkiri bahwa AS saat ini tetap negara yang paling kuat, dari segi ekonomi, militer, maupun teknologi. Dengan demikian, akan tidak masuk akal bila Rusia ataupun Tiongkok membangun blok yang tujuannya adalah untuk melengserkan AS, karena itu akan sangat menghabiskan tenaga dan waktu. 

Kemudian, melihat fenomenanya sekarang, AS pun tampaknya tidak akan bertindak lebih untuk menjadi hegemon yang benar-benar mengatur segalanya di dunia.  

Ian Bremmer, analis ekonomi politik dari Eurasia Group, meyakini bahwa AS akan berusaha semampu mungkin agar tidak memberikan perhatian yang terlalu banyak ke semua negara. Hal ini karena peran hegemon tunggal sesungguhnya telah menyakiti perekonomian AS. 

Dengan demikian, bila Rusia dan Tiongkok tetap mencari alternatif untuk tetap eksis, maka yang akan terjadi sepertinya adalah suatu hal yang disebut economic regionalism. Barry Eichengreen dalam tulisannya Economic Regionalism: Evidence from Two 20th Century Episodes, menjelaskan bahwa terpaan beban ekonomi yang datang dari globalisasi akan membuat beberapa negara menciptakan koalisi kawasan demi menjamin kelangsungan kehidupannya. 

Berangkat dari pandangan ini, bisa kita spekulasi bahwa ke depannya bila Rusia dan Tiongkok masih diberi sanksi berat dari Barat, maka mereka akan mencoba berkonsolidasi dengan negara-negara berkembang di sekitarnya, seperti di wilayah Timur Tengah, atau Asia Pasifik, di mana banyak negara yang sangat terbuka untuk berhubungan dengan mereka. 

Alhasil, perekonomian dunia akan mengemban sistem baru di mana Rusia dan Tiongkok memegang posisi tertinggi dari wilayah Timur, dan AS akan lebih memfokuskan diri ke wilayahnya di Barat. 

Akhir kata, ini semua hanya interpretasi belaka. Meski begitu, alasan untuk melihat konflik Ukraina dan pandemi Covid-19 sebagai bagian dari suatu desain besar untuk meredam dampak dari globalisasi terlalu sulit untuk diabaikan. 

Apakah deglobalisasi dilakukan AS semata-mata untuk mencegah munculnya Rusia dan Tiongkok sebagai hegemon baru? Atau justru AS memang ingin membuat dunia menjadi terkubu-kubu? Well, tinggal kita tunggu dan lihat saja. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?