Negara-negara di dunia berharap konflik Ukraina dapat diselesaikan secepat mungkin. Mirisnya, Amerika Serikat (AS) seringkali bersikap provokatif terhadap Rusia. Anehnya, kalau aksi militer yang dilakukan Rusia memang sebegitu besar pengaruhnya bagi AS, mengapa mereka masih menjalin hubungan diplomatis? Mungkinkah ada permainan di belakang layar?
Aksi militer Rusia ke Ukraina yang dimulai pada 24 Februari lalu masih menyita perhatian dunia. Seperti yang sudah sering diberitakan, negara-negara Barat seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan NATO telah melemparkan kecaman-kecaman yang keras pada Vladimir Putin.
Ancaman tersebut bukan ucapan belaka. Presiden AS Joe Biden bahkan diberitakan telah menjatuhkan sejumlah sanksi ekonomi pada Rusia, dan juga para pengusaha besarnya. Yang tidak kalah menariknya, Biden pun melakukan pelarangan impor minyak dari Rusia secara bertahap, dan meminta agar sekutu-sekutunya di Uni Eropa (UE), serta Asia untuk melakukan hal yang sama.
Ya, sesuai pemberitaannya, AS dan Biden memang terlihat telah merespons konflik Ukraina dengan cukup tegas, bahkan cenderung provokatif. Banyak kemudian yang khawatir jika Biden masih bersikeras memberi tekanan ekonominya pada Rusia, namun Putin masih tidak menghentikan aksi militernya, maka ini akan berpotensi bereskalasi ke Perang Dunia III.
Tapi tampaknya kita semua terlalu terlarut dalam arus pemberitaan, sehingga telah melewatkan satu pertanyaan penting. Jika memang konflik Ukraina sedemikian bahaya potensinya, mengapa sampai saat ini belum ada negara-negara Barat, termasuk AS, yang memutus hubungan diplomatisnya dengan Rusia?
Hal ini sesungguhnya pernah disinggung oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Ukraina, Dmytro Kuleba pada akhir Februari lalu. Ia meminta pada para anggota NATO untuk memutus hubungan diplomatik dengan Rusia, karena menurutnya itu adalah cara tepat untuk menunjukkan aksi penolakan terhadap apa yang sedang dilakukan oleh Rusia.
Tetapi, sampai saat ini belum ada negara NATO yang melakukan hal tersebut, bahkan AS sendiri sebagai negara yang terlihat paling vokal mengecam Rusia pun masih menjalin hubungan diplomatis.
Lantas, mengapa AS tidak memutus hubungan diplomatik dengan Rusia?
Drama Diplomasi AS?
Penting untuk diketahui bahwa dalam diplomasi, tidak ada yang namanya keputusan tanpa penilaian yang mendalam. Meski secara umum kita akan melihat tindakan seperti sanksi ekonomi atau kecaman sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan, nyatanya diplomasi memiliki norma tersendiri bila ada negara yang ingin menunjukkan ketidak setujuannya terhadap manuver politik negara lain.
Aila Lonka dalam tulisannya Why Countries Cut Ties in Peace-Time, mengatakan bahwa dalam berdiplomasi, ada yang namanya ladder of disapproval atau tangga ketidak setujuan. Ini adalah tingkatan-tingkatan aksi diplomatis yang digunakan oleh suatu negara untuk menunjukkan sikapnya terhadap suatu permasalahan lintas negara.
Di dalamnya, Lonka merangkum ada 6 tingkatan: pertama, adalah ekspresi keprihatinan; kedua, kecaman publik; ketiga, penarikan sejumlah perwakilan diplomatik; keempat, pemutusan hubungan diplomatik; kelima, aksi non-recognition atau tidak mengakui landasan politik suatu negara; keenam, tindakan militer langsung.
Mengacu pada tingkatan tersebut, maka sesungguhnya apa yang selama ini dilakukan oleh AS dan negara NATO terhadap Rusia, masih termasuk dalam tingkat ke-2, yakni kecaman publik. Hal ini menjadi ironi tersendiri mengingat gelagat yang ditunjukkan AS dalam pemberitaan yang ada menunjukkan seakan-akan kita sedang berada di ujung tanduk suatu perang besar.
Yang lebih menariknya lagi adalah, ladder of disapproval ini juga merepresentasikan informasi yang diketahui oleh negara yang memberikan sanksi, dan tingkat antisipasinya terhadap manuver politik negara yang jadi oposisinya.
Jika suatu serangan benar-benar adalah kejutan dan tidak ada persiapan sebelumnya, maka negara tidak hanya akan mengatakan keprihatinan, tapi ia juga langsung merusak hubungan diplomatis, dan tidak ragu-ragu memutus hubungan diplomatis seperti yang terjadi antara AS dan Jerman ketika Perang Dunia II dahulu.
Namun, ladder of disapproval juga memiliki penilaian tersendiri dalam pembagian tingkatannya. A. J. Christopher dalam tulisannya The Pattern of Diplomatic Sanctions against South Africa 1948–1994, menilai bahwa selama suatu negara tidak secara sepihak memutus hubungan diplomasi, maka sanksi-sanksi yang dilakukannya bisa dimaknai sebagai aksi simbolik saja.
Meski memang dapat merubah stabilitas ekonomi, sanksi yang diberlakukan pada ‘masa damai’ (dalam artian belum memutus hubungan diplomatik) merupakan hasil pertimbangan yang mendalam, sehingga konsekuensinya bisa diantisipasi.
Di sisi lain, sanksi tersebut juga lebih berfungsi sebagai alat politik. Dampaknya pada negara yang jadi sasaran ataupun negara lain yang terkait, bukanlah hal yang dilakukan tanpa pemikiran matang terlebih dahulu.
Berdasarkan pemaparan di atas, rasanya masuk akal bila kita mengatakan bahwa gembar-gembor konflik yang dilakukan AS sebenarnya masih berupa gertakan semata. Jika serangan Rusia merupakan hal yang benar-benar tidak terduga dan mengancam kepentingan NATO, maka AS tidak akan bermain-main dari sanksi ekonomi saja.
Dari situ, sepertinya kita bisa artikan bahwa sepertinya saat ini sedang terjadi sebuah fenomena yang disebut diplomatic drama atau drama diplomatik. Ellen R. Welch dalam bukunya A Theater of Diplomacy, mengatakan bahwa sejatinya hubungan diplomasi adalah ibarat drama. Diplomasi bertindak sebagai skrip drama, sementara para diplomat adalah aktor dari skrip tersebut.
Hal ini karena aktivitas politik internasional sesungguhnya memiliki tingkat kerahasiaan yang cukup tinggi. Dunia intelijen mengatur alur informasi dan gerakan-gerakan politik dari semua negara. Hanya jika ingin diketahui publik saja sebuah narasi politik internasional dimunculkan.
Dan layaknya drama, para aktor diplomasi yang dimunculkan ke publik akan memainkan serangkaian aksi di panggung untuk dapat memenuhi perannya, apakah dia adalah seorang antagonis, atau protagonis.
Ini membawa kita ke pertanyaan penting selanjutnya, apa yang sebenarnya terjadi di belakang layar panggung konflik Ukraina?
Permainan Biden?
Ahli bahasa sekaligus filsuf AS ternama, Noam Chomsky dalam bukunya How the World Works, mengatakan bahwa AS sebagai negara hegemon memiliki satu kekuatan yang umumnya sering dilupakan orang-orang. Menurut Chomsky, AS adalah satu-satunya negara yang saat ini mampu menciptakan, sekaligus mengatur persepsi internasional.
Oleh karena itu, kita patut bertanya, jika rangkaian peristiwa yang terjadi sekarang semakin menunjukkan bahwa AS tampak kelimpungan dan ‘ompong’ dalam menghadapi aksi militer Putin, apa jaminannya bahwa itu bukan bagian dari niatan AS sejak awal?
Di sebuah wawancara dengan organisasi berita Truthout, dalam artikel yang berjudul Chomsky: Peace Talks in Ukraine “Will Get Nowhere” If US Keeps Refusing to Join, Chomsky menduga bahwa perkembangan konflik Ukraina sepertinya adalah suatu hal yang dianggap memuaskan oleh para politisi di Washington.
Chomsky bisa beranggapan demikian karena kenyataannya saat ini pihak yang benar-benar dibuat bingung, selain Ukraina, adalah Uni Eropa. Seperti yang kita ketahui, Prancis dan Jerman adalah negara yang sangat bergantung secara ekonomi pada Rusia, tapi anehnya, AS tidak henti-hentinya mendorong Eropa untuk embargo impor energi dari Rusia, sembari tetap memprovokasi Putin.
Karena itu, Chomsky menilai, sepertinya bisa diasumsikan bahwa AS dan Putin telah bergerak ‘seirama’ di belakang layar. Dengan terus memanas-manasi konflik Ukraina, Eropa yang sejak Perang Dingin ingin menjadi entitas politik yang bebas dari kekangan kekuatan AS, menjadi terhambat.
Selain skenario yang disampaikan Chomsky, ada satu skenario lain yang juga menarik untuk kita renungi. Ian Bremmer dalam bukunya Every Nation For Itself: Winners and Losers in a G-Zero World, mengatakan bahwa sekarang ini, sesungguhnya tidak ada negara yang mau menjadi hegemoni tunggal dalam sistem dunia.
Semakin hilangnya pengaruh AS terhadap negara seperti Tiongkok dan Rusia, menurut Bremmer, merupakan bagian dari suatu desain besar. Hal ini karena hegemoni tunggal sesungguhnya telah menyakiti AS. Sebagai satu-satunya polisi dunia, AS harus memberi perhatian ke banyak negara.
Oleh karena itu, kebangkitan Rusia bisa dikatakan adalah hal yang diinginkan AS, karena ia tidak perlu lagi menjadi negara yang harus mengeluarkan tenaga dan uangnya demi menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sesungguhnya pun tidak menguntungkan AS. Dengan adanya Rusia dan Tiongkok, AS berharap pembagian permasalahan dunia akan terdelegasi.
Well, itulah dua skenario kuat yang sepertinya sedang dilakukan oleh Biden. Bisa jadi, konflik Ukraina ini adalah hasil perundingan dengan Rusia untuk meredam bangkitnya Eropa, dan juga mungkin saja, tanpa menarget Eropa, Biden memang ingin Rusia bangkit sebagai negara yang kuat secara ekonomi maupun politik agar AS tidak tersakiti oleh harga dari hegemoni.
Pada akhirnya, ini semua hanya interpretasi belaka. Apa yang memotivasi panasnya konflik Ukraina memang masih menjadi pertanyaan besar semua orang. Semoga saja konflik ini bisa cepat diselesaikan. (D74)