Site icon PinterPolitik.com

Konflik Ukraina Buat TimTeng Revolusi?

Konflik Ukraina Buat TimTeng Revolusi?

Aksi protes dilakukan oleh masyarakat Mesir di Lapangan Tahrir, Cairo. (Foto: bbc.com)

Terhambatnya rantai pasokan gandum dari Rusia dan Ukraina ke kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, diramalkan akan memicu konflik, bahkan revolusi. Alasannya sederhana, yaitu mengingat roti yang terbuat dari gandum merupakan pangan pokok di sana. Lantas, mungkinkah revolusi di Arab akan terjadi kembali?


PinterPolitik.com

Dampak dari konflik Rusia-Ukraina menjalar hingga ke bagian selatan arena pertempuran, tepatnya di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara. Krisis pangan di kedua wilayah tersebut menarik atensi pimpinan dunia untuk memberikan peringatan akibat ekses lanjutan krisis pangan di sana.

Presiden Prancis Emmanuel Macron, mengatakan ketidakstabilan yang disebabkan oleh konflik di Ukraina dapat menjerumuskan negara-negara di Afrika dan Timur Tengah ke dalam krisis pangan yang parah.

Naiknya harga bahan pangan akibat berkurangnya suplai gandum dari Rusia dan Ukraina menyiagakan negara-negara di Timur Tengah. Sejak dimulainya invasi Rusia terhadap Ukraina, harga gandum yang kebanyakan diimpor dari kedua negara, dibanderol 50 persen lebih mahal. Hal ini yang menyebabkan demonstrasi mulai dilakukan oleh warga pekan lalu di Kota Naisiriyah di selatan Irak, akibat harga roti dan minyak makan yang meroket tajam.

Perang di timur Eropa itu menandai kelangkaan pangan di Timur Tengah. Saat ini separuh hasil produksi gandum di Ukraina diekspor ke negara-negara Arab. Jumlah yang tak kalah besar juga dibeli dari Rusia yang merupakan eksportir gandum terbesar di dunia.

Sarah Shawqi dari Yayasan Muslim Hands, mengatakan konflik Ukraina membuat harga-harga di Yaman meningkat dua kali lipat, khususnya harga tepung. Sebelumnya, satu kantung sekitar US$21-$25, sekarang mencapai US$50. Menurut Bank Dunia, sekitar 40 persen gandum Yaman diimpor dari Ukraina dan Rusia.

Michael Tanchum, peneliti senior di Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa (ECFR), mengatakan konflik Ukraina dapat menjadi petaka bagi banyak warga di Timur Tengah yang bergantung hidup dari roti. Di negara-negara ini, harga roti yang terjangkau bagi kelas pekerja adalah bagian dari kontrak sosial.

Menarik untuk merenungkan pernyataan Tanchum. Jika kekhawatiran ini tepat, apakah konflik Ukraina dapat mengakibatkan Revolusi Roti. Lantas, seperti apa Revolusi Roti yang pernah terjadi bagi bangsa Arab yang mendiami kawasan Timur Tengah dan Afrika  Utara tersebut?

Mengenang Revolusi Roti Arab

Roti mempunyai sejarah yang cukup panjang dengan bangsa Arab. Menurut penelitian arkeologi, roti ditemukan pada situs bersejarah Shubayqa 1 di Yordania. Penemuan arkeologis ini menandai bahwa roti pertama di dunia berusia sekitar 14.400 tahun yang lalu.

Hal ini semakin memperjelas lekatnya sejarah roti di Timur Tengah. Roti merupakan jenis makanan yang penting dikonsumsi sejak ribuan tahun lalu. Sejak dahulu, roti dikenal sebagai makanan yang paling sering disajikan dalam acara atau ritual keagamaan.

Seperti dalam Yudaisme, roti secara ritual selalu disimpan di rumah ibadah. Sementara dalam tradisi Arab Lebanon, roti khusus masih digunakan dalam upacara untuk memperingati orang yang sudah meninggal.

Hal ini yang mewajarkan jika di masa lalu, lonjakan harga roti berulang kali memicu aksi protes yang mengarah pada pergantian politik di Timur Tengah. Roti bukan sekadar makanan pokok, melainkan telah menjadi lokus dari sebuah kebudayaan masyarakat.

Husein Sanusi dalam tulisannya Revolusi Mesir Gara-gara Roti, mengatakan pada tahun 1977 Mesir mengalami “kerusuhan roti” ketika pemerintah memotong subsidi yang memicu demonstrasi berdarah di penjuru negeri. Akibatnya, sebanyak 70 orang meninggal dunia akibat kerusuhan ini.

Alexander Gerschenkron dalam bukunya Bread and Democracy in Germany, mengatakan ada kaitan antara keberadaan roti (kebutuhan hidup) dengan demokrasi (hak-hak sosial-politik). Tetapi sesungguhnya makna “roti” atau “demokrasi” bisa menjadi faktor pengguncang dalam konteks keberlangsungan sebuah negara.

Guncangan ini pernah terjadi pada revolusi berskala besar di Timur Tengah. Dimulai dari Tunisia, merambat ke Mesir dan memanaskan situasi di Libya, Bahrain, Yaman, Oman, Yordania dan bahkan Arab Saudi.

Naimah dalam tulisannya Revolusi Roti dan Tarian Negara Timur Tengah, mengatakan bahwa  revolusi pada 2011, yaitu gerakan demonstrasi sipil yang ikut menumbangkan kediktatoran Hosni Mubarak, mengusung slogan “roti, kebebasan dan keadilan sosial” di setiap aksi protesnya. Slogan ini rupanya punya akar yang sama dengan revolusi roti pada pertengahan tahun 1980-an.

Tidak heran kemudian, jika terus berkepanjangan, banyak pihak yang meramalkan bahwa konflik Rusia-Ukraina akan memicu kembali revolusi yang pernah terjadi di Timur Tengah, terutama di Suriah, Lebanon dan Yaman. Dengan struktur pemerintahan yang rapuh, ketergantungan yang tinggi terhadap impor gandum bisa membuat situasi menjadi semakin kompleks.

Ferid Belhaj, Wakil Direktur Timur Tengah dan Afrika Utara di Bank Dunia, melihat datangnya “badai sempurna” ke arah Timur Tengah, karena selain gangguan pada rantai suplai akibat perang dan pandemi, perubahan iklim semakin menyusutkan kemampuan negara-negara Arab untuk memproduksi bahan pangan sendiri.

Well, muncul pertanyaan besar yang saat ini menghantui analis wilayah Timur Tengah. Apakah konflik Rusia-Ukraina yang menurunkan daya pasok gandum yang membuat kelangkaan roti di Timur Tengah akan memicu Arab Spring Jilid II?

Arab Spring Jilid II?

Arab Spring merupakan sebuah istilah politik yang menggambarkan gelombang gerakan revolusioner di sejumlah negara Timur Tengah pada sekitar tahun 2011. Rakyat Arab sendiri menyebut Arab Spring sebagai al-Tsaurah al-Arabiyah, yaitu revolusi yang akan mengubah tatanan masyarakat dan pemerintahan Arab menuju ke arah ideal.

Muhammad Fakhry Ghafur dalam tulisannya Munculnya Kekuatan Politik Islam di Tunisia, Mesir dan Libya, mengatakan fenomena Arab Spring disebabkan oleh krisis politik, ekonomi, dan pemerintahan di beberapa negara Timur Tengah.

Rezim otoriter yang berlangsung selama puluhan tahun, tingginya tingkat kesenjangan sosial dan ekonomi, keinginan masyarakat Arab untuk memperbaiki sistem sosial-politik, mengakibatkan terjadinya Arab Spring di Timur Tengah.

Ini adalah variabel elementer yang memunculkan  revolusi di Timur Tengah. Sedangkan indikator protes akibat harga roti dan minyak yang meroket tajam, merupakan faktor komplementer dari pemicu gerakan revolusioner, karena hanya terikat pada satu dimensi yaitu dimensi ekonomi.

Barrington Moore Jr. dalam bukunya Social Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasant in the Making of the Modern World, mengandaikan sebuah metode komparasi politik harusnya bersandar pada hal yang elementer. Sifat elementer ini yang menjadi landasan analisis terpenting melihat apakah gejala yang dibandingkan akan terjadi atau tidak.

Nah, melihat pada situasi saat ini, permasalahan elementer seperti rezim otoriter, kesenjangan sosial, dan kebebasan sipil belum terlihat menjadi variabel kunci. Apalagi perlu dicatat kepentingan negara-negara Barat untuk melakukan demokratisasi di Timur Tengah juga merupakan faktor terjadinya Arab Spring pada 2011 yang lalu.

Dengan demikian, agaknya terlalu menggeneralisir jika mengatakan peristiwa kelangkaan roti yang dipicu oleh terhambatnya rantai distribusi gandum ke Timur Tengah persis sama dengan faktor-faktor pemicu Arab Spring.

Secara relasi historis, meski Arab Spring dipicu oleh protes roti yang pernah terjadi pada dekade 80-an, tapi kelangkaan roti saat ini bisa saja hanya menjadi permasalahan domestik tiap negara-negara Arab.

Sebagai penutup, dapat pula dikatakan bahwa menyandingkan dua contoh peristiwa ini termasuk dalam kategori false analogy, yaitu keliru atau kurang tepat dalam menghadirkan komparasi atau perbandingan. (I76)


Exit mobile version