Tensi persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan (LTS), khususnya perairan Natuna terus meningkat seiring dengan manuver AS bersama Australia dan Inggris membentuk aliansi. Lantas, apakah politik luar negeri bebas-aktif masih relevan merespons tensi ini?
Sudah rahasia umum jika salah satu perairan Indonesia, Natuna merupakan penghasil minyak dan gas alam yang melimpah. Bahkan menurut data dari Kementerian ESDM cadangan gas terbesar Indonesia berada di Natuna, tepatnya di blok East Natuna dengan 49,87 triliun kaki kubik (TCF). Maka tidak heran apabila Natuna disebut sebagai wilayah dengan cadangan gas terbesar di Asia Pasifik.
Potensi sumber daya alam yang melimpah tentu menjadi keuntungan bagi Indonesia. Hal ini juga terlihat dari Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi yang mengundang investor Amerika Serikat (AS) untuk berinvestasi di Kepulauan Natuna. Tawaran tersebut disampaikan kepada Menlu AS di era Donald Trump, Mike Pompeo.
Selain menawarkan kepada AS ruang untuk berinvestasi, Indonesia juga mengajak pemerintah Jepang untuk melakukan hal yang sama di Natuna. Ajakan tersebut tidak lepas dari hubungan kerja sama yang telah terjalin dengan baik antara Indonesia dengan Jepang di Natuna dalam pembangunan sentra kelautan dan perikanan.
Sektor ini berpotensi menjadi sumber ekspor yang menjanjikan bagi Tanah Air. Badan Pusat Statistik (BPS) Kepulauan Riau mencatat bahwa nilai ekspor ikan dan udang dari Kabupaten Natuna meningkat pada tahun 2019. Pada bulan September 2019 ekspor ikan dan udang dari Natuna mencapai 11.050 kg, senilai US$31.258,23. Kemudian pada bulan November 2019 meningkat menjadi 8.654 kg, senilai US$42.681,73. Dan Desember mencapai 18.554 kg, senilai US$60.499,47.
Baca Juga: Drama TNI dan Ancaman AS-Tiongkok
Faktor kekayaan sumber daya alam inilah yang menjadi daya tarik tersendiri dari Natuna. Maka, tidak heran jika beberapa kali terjadi polemik di perairan tersebut karena kapal milik negara asing, seperti Tiongkok menembus masuk. Padahal, jika mengacu pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), perairan Natuna masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Namun, alasan Tiongkok mengklaim perairan Natuna mengacu pada sembilan garis putus-putus atau nine-dash line. Adapun, dasar pernyataan sembilan garis putus-putus ini dibuat secara sepihak oleh Tiongkok. Maka, perbedaan pandangan, tidak jarang memicu polemik sehingga terjadi gesekan antara Indonesia dengan Tiongkok perihal perairan Natuna.
Di tengah manuver Tiongkok, ternyata AS di era Joe Biden juga tidak tinggal diam. Pergerakannya di Natuna terlihat dari kesepakatan antara AS dan Indonesia untuk membangun pusat pelatihan maritim baru di wilayah Batam, Kepulauan Riau senilai US$3,5 juta atau setara Rp 50 miliar.
Pusat pelatihan yang dioperasikan oleh Badan Keamanan Laut (Bakamla) ini dilengkapi beberapa fasilitas berupa ruang kelas, barak, dan landasan peluncuran. Alhasil, Tiongkok disebut bereaksi dengan mengirim pesawat siluman 8Q dan pesawat KJ-500 Airbone Early Warning and Control (AEW&C) di lapangan terbang Fiery Cross Reef, tepatnya wilayah Kepulauan Spratly.
Fenomena ini sekaligus memperlihatkan bahwa Indonesia terus berada di dalam tekanan dua kekuatan besar yang saling ‘unjuk gigi’ di wilayah perairan Natuna. Lantas, bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?
Security Dilemma di Perairan Natuna
Menanggapi masuknya ribuan kapal asal Tiongkok dan Vietnam di perairan Natuna, Indonesia melalui Sekretaris Utama Bakamla Laksda S. Irawan menegaskan bahwa keterbatasan sarana dan prasarana menjadi alasan yang mendasari sulitnya mengusir kapal-kapal tersebut dari perairan Natuna.
Kondisi ini tentunya berpotensi mengganggu keamanan Indonesia karena kapal milik AS juga terdeteksi berada sekitar kurang lebih 50 mil laut dari wilayah Natuna. Bahkan situasi semakin mengkhawatirkan dengan munculnya aliansi tiga negara yang meliputi Amerika Serikat, Australia, dan Inggris. Tujuan terbentuknya aliansi ini untuk membendung pengaruh Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan (LTS).
Meski demikian, satu hal yang menjadi sorotan seiring dengan terbentuknya aliansi ini adalah rencana Amerika Serikat untuk memberikan akses teknologi kepada Australia yang berujung pada pembangunan delapan kapal selam bertenaga nuklir.
Sementara pemerintah Indonesia merespons melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dengan mengingatkan agar Australia menghormati komitmen untuk mematuhi nonproliferasi nuklir. Pada intinya, Kemlu menegaskan Australia harus memenuhi kewajiban untuk menjaga stabilitas keamanan di kawasan sesuai dengan Treaty of Amity and Cooperation.
Secara garis besar perjanjian ini membahas bahwa negara-negara yang berada di kawasan Indo Pasifik wajib untuk saling menghargai wilayah negara lain dan menjamin perdamaian kawasan. Maka melihat manuver AS bersama dengan dua negara lainnya, Australia dan Inggris, wajar jika Indonesia khawatir akan keamanan negaranya.
Baca Juga: Jokowi di Tengah “Boneka Perang” LTS?
Terkait situasi ini, kita dapat memahami situasi di Natuna, khususnya Indonesia dan Australia tengah mengalami security dilemma. Dalam tulisan berjudul The Security Dilemma and Ethnic Conflict karya Barry R. Posen menegaskan bahwa dalam perspektif realis, sektor yang diutamakan oleh setiap negara adalah keamanan. Maka, masing-masing negara berlomba untuk meningkatkan keamanannya untuk meminimalisir ancaman yang akan datang dari negara lain.
Pada dasarnya, semua negara menginginkan kedamaian, namun dengan cara pandang anarki. Solusi untuk mewujudkannya yaitu dengan memperkuat pertahanan. Inilah awal munculnya security dilemma, yaitu negara meningkatkan keamanannya sebagai bentuk reaksi atas tindakan yang sama dari negara lainnya. Sebuah bentuk kerja sama juga dinilai sulit terjadi karena ada perasaan curiga antar satu negara dengan negara lainnya, sehingga setiap negara tidak saling percaya satu sama lain.
Dalam fenomena ini, Indonesia masih terus berpegang teguh pada prinsip politik luar negeri bebas-aktif sehingga tidak memihak kepada salah satu dua kekuatan besar, AS dan Tiongkok. Lantas apakah kebijakan politik luar negeri bebas-aktif masih relevan jika diterapkan di tengah persaingan dua negara besar di perairan Natuna?
Bebas-Aktif Masih Relevan?
Politik luar negeri bebas-aktif masih menjadi prinsip utama bagi Indonesia untuk menentukan sikap, khususnya dalam konteks isu di Laut Tiongkok Selatan. Hal ini diterapkan oleh Indonesia dengan tidak mengikrarkan diri atau secara terang-terangan memilih untuk mendukung salah satu negara antara AS atau Tiongkok. Jika saat ini Indonesia telah membangun pusat maritim bersama dengan AS, hal tersebut belum bisa disebut sebagai indikator telah memihak kepada negeri Paman Sam.
Dalam tulisan berjudul Understanding Deterrence karya Michael J. Mazarr, dijelaskan bahwa suatu negara bisa melakukan upaya untuk menekan negara lain agar tidak melakukan suatu tindakan yang sifatnya mengancam. Maka, jika mengacu pada pengertian ini, kerja sama antara Indonesia dan AS dalam membangun pusat maritim bisa dikategorikan sebagai penerapan konsep deterrence terhadap Tiongkok, khususnya di perairan Natuna. Hal ini tidak lepas dari manuver Tiongkok dengan kapal-kapalnya di perairan tersebut.
Kini persoalan lama yang berpotensi menjadi ganjalan adalah keterbatasan alutsista untuk meningkatkan pengawasan terhadap kedaulatan. Terbukti dari pernyataan Bakamla pada rapat bersama Komisi I DPR yang menegaskan bahwa pihaknya masih kekurangan sarana dan prasarana untuk melakukan patroli laut. Maka tidak heran apabila Indonesia cenderung menggunakan konsep deterrence untuk menekan negara lain karena tidak memiliki kapasitas militer yang mumpuni.
Baca Juga: Saatnya Jokowi Tinggalkan Bebas-Aktif?
Namun, apabila Indonesia ingin meningkatkan kapabilitas militer, pemerintah bisa melihat Swiss. Negara ini memiliki prinsip netral dalam politik luar negerinya sehingga setiap mengambil kebijakan wajib mengacu pada prinsip tersebut. Dalam tulisan berjudul Swiss Neutrality yang dikeluarkan Federal Department of Defense Civil Protection and Sports (DDPS), dijelaskan bahwa netralitas yang dimaksud adalah menjunjung tinggi perdamaian, namun tetap melakukan kerja sama militer dengan negara lain. Hingga saat ini, prinsip tersebut masih dipegang teguh oleh pemerintah Swiss.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah negara ini mampu bertahan dengan politik luar negeri bebas-aktif di tengah persaingan dua negara? Menarik untuk terus diikuti penerapan politik luar negeri bebas-aktif di kawasan Laut Tiongkok Selatan, khususnya perairan Natuna. (G69)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.