Konflik Israel-Palestina memanas kembali setelah terjadinya bentrokan di Masjid Al-Aqsa. Disebutkan bentrokan tersebut merupakan salah satu kekerasan terparah antar kedua negara. Konflik yang sudah terjadi bertahun-tahun membawa kita ke pertanyaan mengapa konflik Israel-Palestina tidak kunjung usai? Apa saja faktor yang mempengaruhi penundaan penyelesaian konflik?
Israel telah meluncurkan serangan udara yang mengkibatkan sejumlah masyarakat Palestina luka-luka hingga meninggal dunia. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan Israel akan terus menyerang Palestina hingga sampai “kekuatan penuh.” Hal ini merupakan bentuk balas dendam Israel atas serangan udara Hamas kepada Israel.
Hamas memperingatkan eskalasi konflik jika Israel tidak menarik mundur pasukannya dari komplek Masjid Al-Aqsa hingga akhirnya Hammas menembakkan roket ke Israel pada Senin (10/5).
Perselisihan antara Israel dan Palestina sudah berlangsung sangat lama. Konflik bahkan sudah terjadi sejak Israel dibentuk, yakni ketika Israel mencaplok wilayah Palestina. Hingga saat ini wilayah Israel kian membesar dan mendominasi daerah Palestina.
Lantas mengapa pertikaian Israel-Palestina berlangsung begitu lama? Apakah Israel memiliki daya tawar yang tinggi di regional hingga menghalangi penyelesaian konflik dengan Palestina?
Kuatnya Diplomasi Ekonomi Israel
Dalam menanggapi konflik Israel dan Palestina, banyak negara berada pada pihak Palestina. Negara-negara Islam atau yang tergabung dengan Organization of Islamic Cooperation (OIC) mengecam kekerasan yang dilakukan oleh Israel. Dukungan terhadap Palestina juga didasari oleh nilai muslim brotherhood antar negara tersebut.
Walaupun Palestina memperoleh banyak dukungan, tetapi negara-negara tersebut juga memberikan aksi yang minim untuk membantu Palestina. Tindakan negara hanya sampai di kecaman terhadap Israel.
Baca Juga: Israel-Palestina di Tengah Corona
Tulisan Steven Erlanger yang berjudul Arab World Condemns Israeli Violence but Takes Little Action menjelaskan alasan di balik negara-negara Arab bertindak minimal dalam membantu Palestina. Erlanger mengatakan bahwa saat ini adanya peralihan fokus negara Arab terhadap isu di regional.
Negara Arab tidak lagi memusatkan perhatiannya kepada Palestina tetapi isu lainnya, seperti kekhawatiran atas pengaruh Iran, munculnya bentrok di berbagai negara Arab dan meningkatkan rekognisi atas Israel.
Erlanger mengatakan bahwa dukungan terhadap Palestina hanya merupakan gimmick belaka karena tuntutan masyarakat. Tingginya sentimen terhadap Israel oleh masyarakat Muslim memaksa negara untuk bertindak membela Palestina, walaupun tindakan tersebut minim.
Dalam menanggapi isu Palestina, berbagai negara terhimpit atas dua kepentingan. Yang pertama mengikuti tuntutan masyarakat untuk membantu Palestina. Yang kedua, kepentingan ekonomi antara negara Arab dan Israel. Keduanya tentu bertentangan
Dualitas tersebut dijelaskan melalui tulisan Muhammad Zulfikar yang berjudul Indonesia’s Two Faces Israel-Palestine. Zulfikar menjelaskan sikap Indonesia yang memiliki dualitas atas Israel, di mana Indonesia tidak mengakui Israel secara diplomatik tetapi memiliki hubungan ekonomi yang dekat dengan Israel.
Konteks Indonesia serupa dengan negara Arab lainnya. Di satu sisi negara mengecam Israel, namun di sisi lain negara Arab juga membutuhkan Israel atas kepentingan ekonomi dan teknologi. Apa yang ditampilkan di depan panggung berbeda dengan belakang panggung untuk menghindari kecaman dari masyarakat.
Secara geopolitik, Israel berada pada posisi yang rentan akan konflik. Tingginya sentimen terhadap Israel oleh masyarakat Muslim mengancam posisi Israel.
Walaupun Israel dikecam oleh negara Arab, diplomasi ekonomi dan teknologi penting untuk memelihara hubungan Israel dengan negara Arab. Tulisan Marta Gonzalez yang berjudul Israel and the geopolitics of the Middle East menjelaskan bahwa kekuatan ekonomi Israel membantu mengamankan posisi Israel di regional Timur Tengah yang rentan akan konflik.
Di tengah kerentanan tersebut, Israel merupakan salah satu negara yang paling maju di antara tetangganya. Perekonomian Israel berkembang pesat, terutama pada bidang manufaktur dan teknologi. Pada tahun 2008, Israel memilki 11.000 pabrik yang menghasilkan US$ 58 miliar. Separuhnya diekspor ke seluruh dunia.
Israel bahkan disebut sebagai Startup Nation karena memiliki jumlah startup per kapita terbesar di dunia. Pada 2006, sektor teknologi menyumbang 70 persen produk industri. Hampir 80 persen produk teknologi diekspor.
Israel juga unggul di sektor pertanian. Israel merupakan salah satu negara pengekspor alat-alat teknologi pertanian dan peternakan tercanggih.
Tingginya teknologi juga tidak lepas dari pusat penelitian dan pengembangan (R&D) yang selalu menempati peringkat 10 besar dunia. Israel bahkan menerima pendanaan untuk R&D dari berbagai negara, termasuk negara Islam, seperti Turki.
Israel memiliki kerja sama ekonomi dengan 1/3 negara Arab, terutama pada ekspor produk teknologi. Produk tersebut biasanya berupa alat intelijen, seperti drone ke Maroko, perangkat pengawasan ke Uni Emirat Arab (UEA) dan produk intelijen secara umum ke Saudi Arabia senilai US$ 250 miliar. Israel juga melakukan kerja sama ekonomi yang terkait sumber daya alam, seperti air bersih dengan Yordania dan gas ke Mesir yang bernilai US$ 15 miliar.
Baca Juga: Israel-Palestina: Faksionalisme dan Regionalisme
Tahun 2020 lalu, beberapa negara Arab telah melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Negara tersebut adalah UEA, Bahrain, Sudan dan Maroko.
Negara yang vokal mengecam kekerasan Israel di Masjid Al-Aqsa, yakni Turki, juga menyuarakan normalisasi dengan Israel. Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan pernah mengatakan ingin hubungan yang lebih baik dengan Israel pada Desember 2002.
Turki memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan Israel. Nilai perdagangan kedua negara jauh lebih besar dari total perdagangan Turki dengan negara Islam keseluruhan.
Pada 2014, volume perdagangan kedua negara naik 30 persen atau senilai US$ 5,5 miliar dan terus meningkat. Israel merupakan salah satu negara eksportir terbesar kesepuluh untuk Turki. Turki juga memiliki kerja sama bilateral di bidang kepolisian, kebudayaan, pertanian, ilmu pengetahuan dan intelijen.
Serupa dengan Turki, Indonesia juga memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan Israel. Dalam 5 tahun terakhir, barang yang diimpor dari Israel mencapai Rp 4,9 triliun. Barang yang diimpor biasanya berupa mesin, alat telekomunikasi dan senjata.
Bisnis Militer di Jalur Gaza
Tidak hanya soal kerja sama ekonomi antar negara, konflik di jalur Gaza yang berkepanjangan juga dinilai melibatkan bisnis senjata antar kelompok yang bertikai. Pasalnya, konflik di jalur Gaza tentu bisa membawa keuntungan ekonomi dari hasil transaksi jual beli senjata.
Hamas, disebut mendapatkan sokongan dana dari beberapa negara untuk membeli senjata. Qatar memberikan bantuan sebesar US 1,8 miliar. Hamas juga mendapatkan bantuan persenjataan berupa roket dari Iran, di mana Iran biasanya mengimpor persenjatannya dari Rusia, Tiongkok dan Korea Utara.
Israel merupakan negara terbesar kedelapan yang melakukan ekspor peralatan militer di dunia. Israel juga melakukan jual-beli senjata ke beberapa negara, yakni Amerika Serikat (AS), Jerman, Italia, Britania Raya, dan Kanada.
AS merupakan partner terbesar Israel dalam impor senjata. Sebanyak 70 persen senjata Israel berasal dari AS. Kerja sama keduanya sudah terjadi sejak tahun 1961. AS juga memberikan bantuan dana luar negeri untuk Israel dalam membeli senjata. Bantuan tersebut sebesar US$ 3,8 miliar atau setara dengan 20 persen budget militer Israel. Dengan dana tersebut, AS mengharuskan Israel untuk kembali membeli alutsista dari AS.
Baca Juga: Israel-Palestina: Buah Kegagalan Trump?
Lamanya konflik di jalur Gaza sekiranya menguntungkan beberapa pihak yang menjalankan bisnis senjata dengan pihak yang berkonflik di jalur Gaza. Mungkin salah satu faktor konflik Gaza belum mencapai titik terang karena adanya kepentingan bisnis militer di jalur Gaza. Tapi, tentu saja spekulasi tersebut perlu dikaji lebih dalam lagi.
Pada kesimpulannya, konflik Israel-Palestina masih harus menempuh jalan yang panjang untuk mencapai perdamaian. Solusi two-state solution yang digadang sebagai solusi terbaik dengan menawarkan kedua negara hidup saling berdampingan masih dianggap utopis. Dukungan terhadap Palestina juga sulit diberikan oleh negara Arab dan negara Islam lainnya lantaran kuatnya diplomasi ekonomi dan teknologi Israel. (R66)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.