Ramai diprediksi akan menjadi menteri di kabinet baru Presiden Jokowi, nyatanya banyak pihak harus kecewa karena Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok justru hanya ditempatkan sebagai Komisaris Utama Pertamina. Akan tetapi, baru-baru ini Waketum Partai Gerindra Arief Poyuono menilai tahun depan Ahok akan menjadi menteri, utamanya jika Presiden Jokowi melakukan reshuffle besar-besaran. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
Pengumuman kabinet baru Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah lama berlalu. Namun, di balik susunan nama-nama besar yang terpilih, terbersit berbagai kekecewaan dari sejumlah pihak terkait susunan nama yang dipilih sang presiden. Salah satu yang kecewa tentu saja adalah barisan Ahokers – sebutan untuk mereka yang menjadi pendukung mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Ahok sendiri memang telah banyak mendapat berbagai simpati dan penghormatan karena kinerjanya yang dinilai baik ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Simpati ini kemudian bertambah besar, khususnya di kalangan Ahokers selepas sosok kontroversial ini terlibat dalam kasus penistaan agama yang sempat membuatnya mendekam di balik jeruji besi.
Statusnya sebagai mantan narapidana lantas membuat berbagai pihak – bahkan Ahok sendiri – untuk menyebut bahwa karier politiknya telah selesai. Atas hal ini, mantan Bupati Belitung Timur ini juga turut mengomentari isu dan menyebut peluangnya untuk menjadi menteri di kabinet Presiden Jokowi adalah hal yang tidak mungkin terjadi.
Jawaban Ahok memang sangat beralasan. Pasalnya, dalam kasus penistaan agama yang menjeratnya, ia diancam pidana 5 tahun penjara, di mana dalam Pasal 22 Ayat 2 huruf f Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, disebutkan bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi menteri adalah: “Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”.
Karena terbentur dengan pasal tersebut, beberapa Pakar Hukum Tata Negara seperti Refly Harun turut berkomentar bahwa Ahok memang tidak dapat diangkat untuk menjadi menteri. Akan tetapi, Pakar Hukum Tata Negara lainnya, seperti Zainal Arifin Mochtar menyebutkan bahwa masalah tersebut sebenarnya masih penuh perdebatan.
Pandangan yang berseberangan dengan Refly misalnya disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Asep Warlan Yusuf yang justru menyebut bahwa UU Kementerian tidaklah rigid dan persoalan pengangkatan menteri sepenuhnya adalah hak prerogatif dari presiden. Dengan demikian, menurut Asep, persoalan diangkatnya Ahok menjadi menteri lebih pada persoalan etika publik.
Tegas Asep, publik akan mempertanyakan integritas moral presiden apabila mengangkat seorang mantan narapidana untuk menjadi menteri. Sehingga, publik pun akan bertanya-tanya, apakah memang tidak terdapat nama lain sehingga harus Ahok yang harus diangkat?
Ahok sendiri juga mengutarakan hal serupa bahwa dirinya yang telah banyak membuat gaduh publik merupakan pertanda dari akhir karier politiknya.
Akan tetapi, di tengah keputusasaan tersebut, Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra, Arief Poyuono justru memprediksi bahwa tahun depan, Ahok akan menjadi menteri. Menurut Arief, akan terjadi reshuffle kabinet besar-besaran karena banyak menteri yang tidak dapat memenuhi capaian target yang telah ditetapkan oleh Presiden Jokowi di tahun 2020 mendatang.
Dalam penilaian Arief, ditunjuknya Ahok menjadi Komisaris Utama (Komut) Pertamina hanyalah “batu loncatan” untuk diangkat sebagai menteri di kemudian hari.
Prediksi Arief tersebut tentu melahirkan pertanyaan terkait apakah Presiden Jokowi berani untuk menabrak UU Kementerian dan menggadai etika terhadap publik jika nantinya benar-benar mengangkat Ahok sebagai menteri?
Beranikah Jokowi Tabrak UU Kementerian?
Lebih cepat dari prediksi Arief, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo (Bamsoet) bahkan memprediksi reshuffle kabinet akan terjadi dalam waktu enam bulan ke depan.
Jika merujuk pada riwayat pemerintahan Presiden Jokowi di periode pertama, reshuffle pertama memang dilakukan ketika kabinet baru berusia sekitar 10 bulan sejak diumumkan kepada publik, tepatnya pada Agustus 2015.
Akan tetapi, seperti pertanyaan sebelumnya, apakah Presiden Jokowi berani untuk menabrak UU Kementerian dan menggadai etika terhadap publik dengan memasukkan tokoh seperti Ahok ke dalam kabinet?
Jika diperhatikan, sebenarnya Presiden Jokowi bisa disebut juga telah menabrak Pasal 23 huruf c UU Kementerian bahwa menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: “Pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)”. Pasalnya, ada tiga menterinya menjabat sebagai ketua umum (ketum) partai politik (parpol).
Ketiganya adalah Ketum Gerindra Prabowo Subianto, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketum PPP Suharso Monoarfo.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik, disebutkan bahwa parpol yang lolos di parlemen akan menerima bantuan dana dari negara berdasarkan jumlah suara yang didapatkan.
Dengan kata lain, karena Gerindra, Golkar, dan PPP adalah parpol yang lolos ke parlemen dan menerima bantuan dana dari negara yang dianggarkan dalam APBN, otomatis penunjukan ketiga sosok tersebut sebagai menteri telah menabrak atau melanggar pasal 23 huruf c UU Kementerian.
Menanggapi polemik menteri yang melakukan rangkap jabatan sebagai ketum parpol, Presiden Jokowi telah menyebutkan bahwa hal itu tidak menjadi masalah asalkan sang menteri dapat membagi waktu.
Menimbang pada hal tersebut, sebenarnya bisa-bisa saja Presiden Jokowi mengangkat Ahok menjadi menteri. Apalagi, pengangkatan menteri sepenuhnya adalah hak prerogatif dari presiden.
Persoalannya tinggal apakah Presiden Jokowi akan berani untuk menabrak etika publik jika mengangkat Ahok yang merupakan mantan narapidana utuk menjadi menteri?
Terlebih lagi, pengangkatan tersebut mestilah mendapat penolakan dari berbagai pihak, seperti kelompok Persaudaraan Alumni (PA) 212 yang memang secara terbuka menunjukkan ketidaksukaan terhadap Ahok. Imbasnya, putusan pengangkatan Ahok menjadi menteri besar kemungkinan akan menjadi preseden atas aksi demo ataupun ketidakstabilan politik.
Hal ini senada dengan pernyataan terbaru dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian yang menyebut politik nasional telah stabil setelah kubu 01 (Jokowi-Ma’ruf Amin) dan kubu 02 (Prabowo-Sandiaga Uno) bergabung pasca Pilpres 2019. Artinya, persoalan yang paling mungkin akan mengganjal dan harus diatasi tentu saja adalah kelompok oposisi yang masih tersisa ini.
Kepercayaan dalam Politik
Tak dipungkiri bahwa jika wacana Ahok menjadi menteri terwujud setelah reshuffle terjadi pada tahun 2020, maka hal yang akan disorot adalah mengenai hubungan antara Jokowi dan mantan wakilnya itu. Pasalnya, hal tersebut menunjukkan pertaruhan Jokowi mendobrak etika publik dan aturan hukum demi tokoh tertentu, yang secara persepsi publik juga cukup dianggap kontroversial.
Dalam rational choice theory atau teori pilihan rasional, disebutkan bahwa individu mestilah akan memilih putusan atau tindakan yang sejalan dengan preferensi personal atau dirinya. Dengan kata lain, dalam konteks ini Presiden Jokowi mestilah mempertimbangkan putusan yang sekiranya merupakan preferensi personalnya.
Preferensi personal tersebut tentulah sangat kompleks, terlebih lagi Presiden Jokowi adalah pemimpin tertinggi negara yang harus mempertimbangkan berbagai macam faktor. Akan tetapi, seperti apa yang disebutkan oleh ahli politik dari Swedia, Bo Rothstein bahwa faktor kepercayaan adalah variabel psikologis yang spesial.
Artinya, pilihan terhadap Ahok nantinya besar kemungkinan akan ditentukan berdasarkan variabel kepercayaan tersebut.
Belum lama ini, Waketum Gerindra, Fadli Zon mengomentari penunjukan Ahok sebagai Komut Pertamina yang disebutnya dilatarbelakangi karena hubungannya dengan Presiden Jokowi sebagai pertemanan sejati.
Pun begitu dengan budayawan dan seniman Sudjiwo Tedjo yang menyebut terdapat peran Jokowi di balik penunjukkan Ahok sebagai Komut Pertamina. Ia menyebut mungkin Presiden Jokowi memiliki sejarah hubungan dengan Ahok yang tidak diketahui oleh publik.
Pada Mei 2018 lalu, Ahok pun pernah menjawab bahwa Presiden Jokowi adalah sahabatnya ketika ditanya tentang siapa sosok yang dianggapnya sebagai sahabat. Presiden Jokowi juga disebut Ahok pasti akan menjawab namanya ketika ditanya pertanyaan yang sama.
Hubungan Presiden Jokowi dan Ahok sendiri memang diketahui publik sudah terjalin sejak keduanya maju dalam Pilgub DKI Jakarta pada 2012 lalu.
Pada akhirnya, jika benar terjadi reshuffle di kemudian hari seperti pernyataan Arief dan Bamsoet, mungkin saja Ahok akan diangkat sebagai menteri oleh Presiden Jokowi. Apalagi Ahok adalah sosok pekerja keras yang tentu merupakan kriteria ideal dari Jokowi.
Lalu terkait UU Kementerian, bisa-bisa saja hal tersebut ditabrak menimbang pemilihan menteri adalah sepenuhnya hak prerogatif dari presiden.
Terakhir, persoalan etika terhadap publik, besar kemungkinan Presiden Jokowi akan merujuk pada preferensi kedekatan hubungannya dengan Ahok yang disebut oleh berbagai pihak sebagai sahabat. Oleh karenanya, etika terhadap publik kemungkinan besar akan digadai oleh presiden outsider tersebut. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.