Mengapa Jokowi dan Prabowo terlihat begitu sulit mencari calon wakil presiden yang mendampinginya di Pilpres 2019 nanti?
PinterPolitik.com
“Salah satu manfaat dari demokrasi yang berfungsi dengan baik adalah hak minoritas dan kekuasaan mayoritas.” ~ Noam Chomsky
[dropcap]P[/dropcap]erdebatan dan tebak-tebakan siapa calon wakil presiden Jokowi maupun Prabowo, masih berlanjut. Dalam sejarah pemilihan presiden, sepertinya baru periode ini saja para capresnya terlihat kesulitan mencari sosok pendamping yang cocok. Bahkan tak jarang, menciptakan silang pendapat dan perseteruan.
Belum lagi aksi saling menunggu dan saling intip yang dilakukan masing-masing kubu, seakan sosok cawapres yang dipilih merupakan kunci utama untuk meraih kemenangan. Padahal dalam Pilpres 2014 lalu, penentuan cawapres tidak banyak menyita waktu karena dipilih berdasarkan kesepakatan koalisi partai politik.
Lalu mengapa Jokowi masih enggan mengumumkan nama cawapresnya, padahal waktu pendaftaran kandidat capres dan cawapres tinggal menghitung jam saja? Begitu juga dengan Prabowo, setelah mendapatkan rekomendasi dari para ulama dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai alternatif cawapresnya, mengapa masih belum juga menentukan pilihan?
Sulitnya para capres dalam menentukan cawapres, menurut Pengamat Senior LIPI Siti Zuhro, tak lain akibat adanya interupsi politik yang terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017 lalu. Zuhro menilai, memori akan adanya aksi massa Islam yang berjilid-jilid, memberi dampak yang pada akhirnya mengunci pilihan para capres.
Pendapat sama juga dikatakan Pengamat Politik Boni Hargens. Menurutnya kebangkitan Islam politik menimbulkan keinginan masyarakat untuk memiliki pemimpin muslim yang intelek dan berwawasan. Dan karena baik Jokowi maupun Prabowo berasal dari partai nasionalis, maka keduanya membutuhkan sosok religius sebagai pendampingnya.
Padahal untuk mendapatkan seorang negarawan yang intelek, berwawasan, dan juga religius, bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi kebanyakan figur cendikiawan religius dan dihormati masyarakat, kerap berada di luar parpol. Kalau pun ada, figur tersebut juga harus mampu diterima oleh semua parpol yang berkoalisi mengusungnya.
Jadi pertanyaannya, mengapa figur cawapres yang religius seakan begitu dipaksakan?
Dampak Pilkada DKI Jakarta
“Yang melingkupi kejahatan demokrasi adalah tirani mayoritas.” ~ Lord Acton
Turunnya jutaan massa Islam, baik di aksi bela Islam 411 maupun 212, memang menyimpan memori dengan kesan berbeda. Bagi umat Islam, aksi itu merupakan bukti eratnya persaudaraan. Namun di mata politikus, tak lebih sebagai tekanan maupun ancaman yang harus diantisipasi agar tidak terjadi lagi di Pilpres 2019 nanti.
Meski banyak pengamat yakin kalau apa yang terjadi pada Pilkada 2017 lalu sulit diaplikasikan kembali di Pilpres nanti, namun tuntutan masyarakat akan adanya pemimpin yang lebih religius dan direstui ulama, menurut Zuhro, menjadikan pertimbangan bagi para capres sebagai salah satu faktor untuk meraih kemenangan.
Gerakan massa di aksi bela Islam lalu misalnya, sebenarnya dipicu oleh rasa solidaritas yang sangat tinggi di antara umat Muslim, namun kemudian ditunggangi kepentingan politik partai tertentu. Kekuatan massa yang dipolitisasi tersebut, timbul begitu saja akibat adanya pemicu amarah dan musuh bersama di mata umat Islam.
Namun bagi Filsuf Jerman Jurgen Habermas, aksi itu juga tak lepas dari adanya pengaruh revitalisasi keagamaan yang cenderung fundamentalis. Munculnya revitalisasi agama ini, lanjutnya, bukan hanya terjadi di Indonesia saja, tapi juga di negara-negara Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika, India, serta Amerika Serikat.
TGB kritik Amien Rais…
PILIHAN POLITIK TIDAK BERKAITAN DENGAN KEIMANAN SESEORANG!!
Wawancara eksklusif TGB “sikap politik”
“Gempa Lombok” “PA 212” #PesonaHBDI2018 #AHY2019 #RaboatBaremaJokowi #bijakpakaiskm #TAKDIRLONCENGCINTAEPS33 Muhammadiyah Prabowohttps://t.co/nw9cl6d06l— Sabeena (@SabeenaSepti) July 30, 2018
Kebangkitan kekuatan politik masyarakat berbasis agama ini, diistilahkan oleh Habermas sebagai masyarakat post-sekular atau era baru setelah berlalunya tekanan sekularisme yang diberlakukan negara. Atau sederhananya, aksi tersebut merupakan luapan keinginan masyarakat untuk masuknya kembali unsur agama ke dalam politik.
Paska reformasi, bangkitnya era post-sekular sebenarnya sudah mulai terlihat saat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjabat sebagai presiden. Berdasarkan sejarah, naiknya pendiri PKB itu menjadi orang nomor satu republik ini, tak lepas dari peran Amien Rais sebagai pemimpin poros tengah yang terdiri dari partai-partai Muslim.
Hanya saja, Amien yang kala itu menjabat sebagai Ketua MPR, juga merupakan orang yang melengserkan Gus Dur dan membuat era post-sekular kembali terpendam. Kini, melalui Persaudaraan Alumni 212 yang ‘kebetulan’ Amien menjabat sebagai Ketua Dewan Penasihatnya, gerakan post-sekular sepertinya ingin kembali dibangkitkan.
Terlebih, saat ini Amien juga mendapatkan sekutu yang cukup kuat yaitu dukungan massa Front Pembela Islam (FPI) dan para loyalis PKS yang terkenal militan di jalanan. Berdasarkan penjabaran ini, tak mengherankan pula bila Rizieq Shihab dan Amien sempat menuturkan adanya wacana Koalisi Keumatan yang terdiri dari partai-partai Islam.
Pengaruh Komunitarianisme
“Meski kehendak mayoritas dalam semua kasus hampir selalu menang, tapi akan lebih tepat bila masuk akal.” ~ Thomas Jefferson
Berdasarkan adanya tekanan dari kekuasaan massa Islam, seperti yang diterangkan di atas. Tak heran bila Jokowi yang kerap dicitrakan sebagai Presiden yang tidak Islami, harus berhati-hati dalam mencari cawapresnya, dan disarankan untuk lebih mempertimbangkan tokoh-tokoh religius sebagai pendampingnya.
Banyak yang memprediksi, bila nantinya Jokowi memilih figur cawapres dari unsur nasionalis, sangat mungkin pilihannya tersebut membuat porsi kemenangannya merosot. Di sisi lain, tanpa ada dukungan figur religius juga akan menjadikan Jokowi target empuk bagi kelompok PA 212 yang selama ini selalu berseberangan dengan dirinya.
Pada kubu Prabowo sendiri, awalnya penentuan cawapres dianggap bukan permasalahan, mengingat sebelumnya hanya ada dua parpol yang mendukung, yaitu PKS dan PAN. Namun saat Demokrat ikut bergabung, serta adanya rekomendasi cawapres dari GNPF Ulama, posisi Prabowo pun tak kalah peliknya dengan Jokowi.
Saat ini, posisi Prabowo bisa jadi jauh lebih terjepit dibanding Jokowi yang proses koordinasi dengan koalisi parpolnya sudah berlangsung sejak lama. Mengapa? Sebab Ketua Umum Gerindra tersebut, secara tidak langsung memiliki beban kesepakatan tak terikat dengan para pendukungnya di PA 212, untuk mengakomodir aspirasi mereka.
Yg satu bingung cawapres
Yg satu belum punya capres, tp udah pengin ganti presidenSelucu itukah indonesia ..
Semoga semuanya bisa menjaga kebaikan dan kedamaian di Nusantara#TuhanMahaAsyik
— Frenki S (@frey_schTz) August 2, 2018
Walau beberapa survei memperlihatkan elektabilitasnya membaik, namun mantan Danjen Kopassus ini tentu juga menginginkan cawapres yang tak hanya diterima pihak PA 212, tapi juga seluruh rakyat. Itulah mengapa ia sempat melirik AHY, namun pilihan itu tentu sulit diterima PKS maupun PA 212. Rumit bukan?
Tekanan kekuatan massa Islam yang secara tak langsung membebani Jokowi dan Prabowo dalam memilih cawapres, menurut Habermas, sebenarnya merupakan efek adanya komunitarianisme atau kelompok solidaritas bersama yang bernafsu mendorong agama terlampau jauh masuk ke pusat lingkaran politik kekuasaan.
Sebagai Ahli Sosiologi, Habermas sendiri sebenarnya tidak setuju dengan adanya gerakan komunitarianisme. Sebab meski sifat gerakannya konstitusional dan demokratis, namun sepak terjangnya dapat memberikan gangguan dalam sistem demokrasi, termasuk membangkitkan kembali tirani dan dominasi kelompok religius sebagai warga mayoritas.
Faktanya, kekuatan massa yang dipolitisir tersebut saja telah mampu membuat para capres tidak bisa bebas menentukan cawapresnya. Padahal seperti yang dikatakan oleh Ahli Linguistik Noam Chomsky di awal tulisan, kepemimpinan negara, bukan hanya ditujukan untuk kepentingan kelompok mayoritas semata, tapi juga seluruh masyarakat negeri ini yang memiliki ratusan suku dan beragam agama. (R24)