Berbagai pihak mungkin terheran-heran dengan buruknya komunikasi antar pejabat Istana yang seolah tidak terkoordinasi dengan baik. Lantas, mungkinkah Istana tengah menerapkan konsep contingency ala filsuf neo-pragmatisme Amerika Serikat (AS) Richard Rorty dalam gaya komunikasinya?
PinterPolitik.com
“Freedom is the recognition of contingency” – Richard Rorty, filsuf neo-pragmatisme asal Amerika Serikat
Beberapa waktu yang lalu, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menyampaikan hal yang cukup mengejutkan. Bagaimana tidak, alih-alih kita mendengar pembelaan atas buruknya komunikasi Istana, khususnya terkait pandemi virus Corona (Covid-19), Moeldoko justru mengakui bahwa terdapat pembantu presiden yang tidak dapat memilah informasi untuk disampaikan. Singkat kata, mantan Panglima TNI tersebut mengakui bahwa komunikasi Istana memang tidaklah baik.
Terbaru, kita tentu telah melihat pernyataan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang menekankan bahwa pekerja di bawah 45 tahun belum diperbolehkan untuk masuk ke kantor. Bahkan Ketua Umum Partai Golkar tersebut menegaskan bahwa itu bukanlah kebijakan resmi pemerintah.
Menariknya, sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengeluarkan surat edaran agar karyawan BUMN yang berusia 45 tahun ke bawah untuk kembali masuk ke kantor. Tidak hanya bertentangan dengan Erick, pernyataan Airlangga juga terlihat bertentangan dengan Ketua Gugus Tugas Covid-19 Doni Monardo yang menyebutkan kelompok usia 45 tahun ke bawah dapat kembali beraktivitas.
Tentunya, melihat pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan tersebut seolah memberi kesan bahwa para pejabat terkait tidak mengindahkan pernyataan terbuka Moeldoko yang menyinggung perihal tidak baiknya komunikasi Istana terkait Covid-19. Seperti yang disebutkan oleh mantan Panglima TNI tersebut, hal tersebut telah membuat masyarakat menilai pernyataan Istana tidak konsisten dan terlihat “mencla-mencle”.
Padahal, di tengah kondisi pandemi Covid-19, masyarakat tentunya membutuhkan arahan informasi yang jelas agar benar-benar mengetahui kondisi yang tengah terjadi. Namun, dengan adanya komunikasi yang buruk tersebut, mungkinkah Istana tengah mempertontonkan gaya komunikasi ala post-truth?
Ketika nasihat Pak @GeneralMoeldoko alias @Dr_Moeldoko nggak didengarkan menteri lain. Duh. 🙃 #infografis #pinterpolitik #politik #moeldokohttps://t.co/QezaAonFLT pic.twitter.com/hjA06cqJ61
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) May 19, 2020
Inkonsistensi dalam Komunikasi
Scott Dust dalam tulisannya The Coronavirus Pandemic: A True Test of Crisis Leadership menyebutkan setidaknya terdapat empat kriteria yang memperlihatkan apakah suatu pemimpin telah mengambil suatu kebijakan yang baik dalam menghadapi pandemi Covid-19 atau tidak.
Keempat kriteria tersebut adalah (1) mampu mengambil kebijakan secara cepat namun akurat; (2) dapat menjelaskan keadaan yang tidak menentu dengan jelas; (3) mampu menjelaskan garis besar kebijakan serta bagaimana rincian detailnya; dan (4) mampu memperbaiki kebijakan yang telah salah diambil sebelumnya.
Mengacu pada keempat kriteria tersebut, agaknya sulit bagi kita untuk menyebutkan bahwa pemerintah telah mengambil kebijakan dengan baik karena dua kriteria telah gagal untuk dilakukan. Yang utama, terlihat jelas bagaimana pemerintah tidak memenuhi kategori kedua, yakni inkonsistensi pernyataan antar pejabat berakibat pada masyarakat tidak dapat memahami keadaan dengan jelas.
Apalagi, data kasus yang tidak dibuka sepenuhnya, khususnya titik-titik mobilisasi pasien positif Covid-19, membuat masyarakat kesulitan untuk menentukan daerah mana yang harus dihindari agar tidak tertular Covid-19.
Kemudian pada kategori ketiga, inkonsistensi tersebut juga berakibat pada masyarakat yang tidak mengetahui arah kebijakan secara jelas. Terlebih lagi, dengan Najwa Shihab yang membocorkan rencana pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah membuat kesan bahwa pemerintah sepertinya tidak serius dalam menerapkan PSBB.
Pada titik ini, mungkin banyak dari kita sepakat untuk menyebutkan bahwa komunikasi yang inkonsistensi tersebut benar-benar adalah suatu hal yang buruk. Akan tetapi, jika kita melihat tulisan Magnus Fredriksson dan Josef Pallas yang berjudul Translated Inconsistency: Management Communication Under the Reign of Institutional Ambiguity, sepertinya terdapat sudut pandang lain yang dapat dipetik.
Duh, perasaan sebelumnya ada menteri yang bilang soal pelonggaran PSBB deh? 🤔 #infografis #PSBB #politik #pinterpolitik https://t.co/QezaAonFLT pic.twitter.com/NM8HVFRzjJ
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) May 19, 2020
Menurut Fredriksson dan Pallas, alih-alih dilihat sebagai penghalang semata, inkonsisteni dalam komunikasi juga dapat dimaknai sebagai sesuatu yang konstruktif karena dapat merangsang perubahan dan pengembangan. Konteks yang dimaksud di sini adalah, inkonsistensi yang terjadi dapat menjadi semacam refleksi agar pihak-pihak terkait dapat melakukan pembenahan yang mungkin tidak akan pernah dipikirkan atau dilakukan apabila komunikasi selalu berjalan dengan baik.
Mengacu pada pernyataan Moeldoko, pemerintah sepertinya telah menyadari bagaimana kurang baiknya komunikasi yang dipertontonkan oleh Istana. Seperti yang disebutkan oleh Fredriksson dan Pallas, jika inkonsistensi tersebut dapat dikelola secara bijak, tidak menutup kemungkinan itu akan menjadi preseden atas perubahan positif yang akan terjadi ke depannya.
Contingency Richard Rorty
Tidak hanya dapat dimaknai sebagai suatu konstruksi positif, inkonsistensi pernyataan Istana juga dapat kita maknai secara lebih mendalam melalui konsep contingency (kontijensi) yang dipopulerkan oleh filsuf neo-pragmatisme asal Amerika Serikat (AS) Richard Rorty.
Dalam bukunya Contingency, Irony and Solidarity, Rorty yang merangkum sejarah dan diskursus ilmu pengetahuan mengemukakan simpulan menarik bahwa suatu hal yang disebut dengan kebenaran tidaklah berada pada suatu titik yang stabil, final, dan absolut. Menurutnya, kebenaran dapat digantikan begitu saja dengan sesuatu yang baru, apabila itu dirasa atau dirasionalisasi sesuai dengan pola masyarakat yang sedang berlangsung.
Alasan Rorty dalam menyebutkan keberanan tidaklah final atau bersifat kontijensi adalah, karena semua argumentasi atau proposisi manusia tentang kebenaran dikonstruksikan melalui bahasa. Kebenaran yang yakini pada dasarnya merupakan konstruksi bahasa yang diamini secara kolektif. Dengan demikian, kontijensi bahasa membuatnya tidak akan pernah berada pada suatu kondisi final, karena bahasa akan terus berkembang dan bertransformasi.
Dalam tulisannya, Rorty membawa pembacanya untuk meninggalkan gagasan filsafat modern dan abad pertengahan yang masih percaya pada kebenaran atau bahasa yang telah final. Pada level tertentu, kita dapat memahami bahwa Rorty tidak ingin melihat manusia menjadi fanatik atas bahasa yang dikonstruksikannya sendiri.
Mungkin nggak sih Pak @jokowi diundang juga ke podcastnya Deddy Corbuzier? Banyak TV bangkrut dah gara2 Om Deddy. Uppps. #politik #infigrafis #politik #pinterpolitik https://t.co/mb0O3CUabK pic.twitter.com/eNI80arWGs
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) May 22, 2020
Atas pandangannya tentang kontijensi bahasa atau kontijensi kebenaran, pemikiran Rorty kemudian kerap dipahami sebagai salah satu pondasi bagi gagasan post-truth. Eduardo Mendieta dalam tulisannya Rorty and Post-Post-Truth misalnya, ia menjelaskan bagaimana penjelasan Rorty atas pengejaran kebenaran yang sia-sia begitu sesuai dengan konsep post-truth yang dipahami sebagai keadaan di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada menarik emosi dan kepercayaan pribadi.
Bertolak pada gagasan kontijensi Rorty, alih-alih memahami saling silang pendapat antar pejabat Istana hanya sebagai persoalan koordinasi yang buruk semata, kita mungkin dapat memahami bahwa para pejabat tersebut telah menerapkan gagasan kontijensi Rorty, yang mana secara normatif dipahami pernyataan mereka memiliki derajat kebenarannya tersendiri.
Mungkin kita dapat berspekulasi bahwa para pejabat Istana adalah pembaca Rorty, sehingga alih-alih menetapkan suatu kebijakan yang final, mereka lebih memilih untuk membiarkan setiap pernyataan yang ada untuk keluar agar tercipta dialektika yang nantinya dapat terbangun. Seperti dalam kutipan pernyataan Rorty di awal tulisan, “kebebasan adalah pengakuan atas kontijensi”.
Mengacu pada Mendieta, dialektika pernyataan antar pejabat tersebut, boleh jadi telah membentuk keadaan post-truth, di mana masyarakat telah kebingunan untuk memilah mana pernyataan yang dapat dipercayai atau tidak.
Akan tetapi, tentunya kita berharap, daripada para pejabat Istana tersebut menerapkan konsep kontijensi bahasa, alangkah baiknya mereka melirik kembali gagasan filsafat modern yang masih meyakini finalitas bahasa agar kebijakan yang lugas dapat ditelurkan sehingga tidak membingungkan masyarakat nantinya. Itulah harapan kita semua. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.