Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat untuk membawa Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) ke Rapat Paripurna untuk disahkan. Pemerintah mengatakan bahwa RUU ini akan memperkuat pertahanan Indonesia. Lalu, benarkah demikian?
PinterPolitik.com
RUU PSDN merupakan gabungan dari tiga RUU dan satu UU, yaitu RUU Bela Negara, RUU Komponen Cadangan, RUU Komponen Pendukung serta UU Mobilisasi dan Demobilisasi.
RUU ini merupakan inisiatif dari Kementerian Pertahanan (Kemhan) yang berhasil mendapatkan persetujuan DPR untuk memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional tahun 2018.
Dari banyaknya poin yang ada dalam RUU ini, dua poin yang paling banyak disoroti adalah pembentukan Komponen Cadangan (Komcad) dan Mobilisasi. Pertanyaannya adalah perlukah RUU ini disahkan?
Mempersiapkan Rakyat
Dalam RUU PSDN, Komcad didefinisikan sebagai “Sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan Komponen Utama (TNI)”.
Sumber daya nasional ini terdiri atas empat unsur, yaitu warga negara, sumber daya alam (SDA), sumber daya buatan (SDB), serta sarana dan prasarana nasional.
Perlu digarisbawahi bahwa unsur warga negara dalam Komcad tidak bersifat wajib. Dengan kata lain, Komcad ini tidak sama dengan Wajib Militer.
Unsur warga negara dalam Komcad berasal dari masyarakat yang secara sukarela mendaftarkan diri sebagai anggota Komcad.
Jika dinyatakan lolos tahapan seleksi, maka masyarakat tersebut akan menjalani pelatihan dasar kemiliteran selama tiga bulan.
Ketika sedang tidak menjalani masa pelatihan ataupun dimobilisasi, Komcad kembali menjadi masyarakat sipil dan berkerja di bidangnya masing-masing.
Masyarakat yang dilantik sebagai Komcad akan menerima beberapa hak, seperti mendapatkan uang saku selama masa pelatihan dan tunjangan operasi jika sewaktu-waktu dimobilisasi untuk membantu TNI.
Bentuk-bentuk Komcad ini juga dilakukan oleh negara lain.
Ada Inggris misalnya yang memiliki pasukan cadangan untuk tiap angkatannya. Kemudian ada Spanyol yang memiliki Reservistas Voluntarios alias sukarela cadangan.
Ada juga Amerika Serikat (AS) yang 45 persen militernya berasal dari unsur Komcad.
Secara garis besar, bentuk Komcad di negara-negara ini pun sama.
Adanya masyarakat sipil yang secara sukarela mengikuti pelatihan militer dalam jangka waktu tertentu untuk kemudian sewaktu-waktu dapat dimobilisasi menjadi tentara jika negara membutuhkan.
Namun, pembentukan Komcad atau RUU PSDN secara keseluruhan tidak lepas dari kritikan.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, yang terdiri dari beberapa LSM seperti Imparsial dan Amnesti Internasional, meminta agar pemerintah menunda pembahsan RUU PSDN karena lima alasan.
Pertama, Koalisi menilai RUU PSDN terlalu luas dan tiga regulasi yang coba digabungkan seharusnya diatur secara terpisah.
Kedua, RUU PSDN dinilai tidak mengadopsi HAM karena unsur Komcad berupa SDA dan SDB yang bukan milik negara bisa diambil untuk kepentingan militer tanpa adanya kesukarelaan dari pemiliknya.
Ketiga, adanya permasalahan pembiayaan di luar APBN yang memperumit pengawasan anggaran dan berpotensi disalahgunakan. Keempat RUU PSDN cenderung militerisik dan dapat dinilai sebagai bentuk militerisasi sipil.
Kelima, RUU PSDN dinilai tidak mendesak untuk disahkan salah satunya karena TNI sendiri masih memerlukan banyak perbaikan.
Tidak Tepat Sasaran?
Pemerintah dan DPR mengatakan RUU PSDN akan menambah kekuatan Indonesia sekaligus bentuk perwujudan dari sistem “pertahanan semesta”.
Pertahanan semesta merupakan jenis pertahanan yang melibatkan
seluruh rakyat dan segenap sumber daya nasional, sarana dan prasarana
nasional, serta seluruh wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan.
Khusus mengenai Komcad, Ketua Komisi I Abdul Kharis Almasyhari juga mengatakan bahwa ketika negara membutuhkan, Komcad akan pegang senjata bersama tentara.
Sementara Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Andika Perkasa, pernah mengatakan bahwa Komcad diperlukan karena jumlah prajurit TNI dinilai masih kurang dan adanya keterbatasan anggaran pertahanan.
Namun, pandangan dibutuhkannya penambahan jumlah kekuatan melalui Komcad nampaknya tidak sesuai dengan keadaan saat ini, yaitu TNI yang mengalami kelebihan alias surplus prajurit.
Ya, berdasarkan data pada tahun 2017, TNI mengalami surplus 141 Perwira Tinggi dan 790 Perwira Menengah dan ribuan prajurit di level Bintara dan Tamtama.
Ribuan prajurit ini kemudian tidak mendapatkan jabatan alias non-job dan harus menunggu, bahkan hingga tiga tahun, untuk mendapat jabatan baru.
Tidak berhenti di situ, fenomena surplus prajuirt ini juga berpotensi memberatkan anggaran pertahan yang akan lebih banyak digunakan untuk belanja pegawai dibanding untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit, modernisasi, riset, ataupun pengembangan senjata.
Oleh sebab itu, patut dipertanyakan mengapa pemerintah dan DPR ingin membentuk Komcad ketika TNI saja masih kelebihan prajurit.
Di sisi lain, Komcad dengan segala hak yang dijanjikannya, dapat menjadi salah satu solusi bagi permasalahan surplus prajurit TNI.
Hal ini bisa dilakukan jika Komcad menjadi wadah sekaligus golden handshake alias kompensasi bagi prajurit TNI yang memilih untuk pensiun dini.
Jika hal ini terjadi, kedua pihak akan diuntungkan.
Surplus prajurit dapat dikurangi dan pemerintah mendapatkan unsur Komcad berupa ex-TNI yang sudah memiliki pelatihan dan pengalaman dasar militer selama masih aktif berdinas.
Sementara, ex-TNI yang bergabung di Komcad akan mendapat penghasilan tambahan dan skill atau kemampuannya yang sudah diasah bertahun-tahun di militer tidak akan hilang begitu saja meskipun ia banting stir ke kehidupan sipil.
Pengaruh Komcad terhadap surplus prajurit nampaknya juga berhubungan dengan pernyataan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, yang pernah mengatakan bahwa TNI akan mengurangi 30 persen personilya jika Komcad sudah terbentuk.
Kemudian, selain surplus prajurit, permasalahan seputar Komcad juga dapat muncul dalam hal kompetisi sang Komcad.
Menurut Richard Weitz, Direktur Pusat Analisa Politik-Militer dari Hudson Institute, ada beberapa pertimbangan yang harus dipikirkan negara ketika membentuk Komcad.
Salah satu pertimbangan adalah sampai sejauh mana Komcad akan dilatih, bagaimana hubungan Komcad nanti dengan tentara reguler atau profesional, dan ancaman seperti apa yang nantinya menjadi tanggung jawab Komcad.
Pada dasarnya, akan sangat sulit bagi Komcad sebagai pihak sipil yang hanya berlatih dalam jangka waktu tertentu, untuk menyamai kemampuan tentara profesional seperti TNI yang memang berprofesi penuh sebagai tentara.
Oleh sebab itu, Weitz juga memperingatkan dapat munculnya stigma bahwa Komcad adalah prajurit kelas dua, baik dari segi pelatihan, persenjataan, ataupun perlengkapan.
Beberapa pengamat pertahanan seperti Connie Rahakundini Bakrie dan Kusnanto Anggoro berpendapat bahwa TNI masih memiliki kelemahan dalam menghadapi perang modern.
Selain itu, keduanya juga beranggapan bahwa ancaman yang akan dihadapi Indonesia lebih kepada ancaman yang bersifat informasi dan teknologi.
Lalu apakah Komcad bisa menutupi kelemahan dan menghadapi ancaman perang modern?
Mengapa TNI mengembangkan struktur baru di Indonesia timur?
Menurut @EvanLaksmana paling tidak ada 3 alasan: ancaman keamanan-pertahanan, kontrol Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) III, dan persoalan surplus perwira.https://t.co/zamCqnQih6 via @pinterpolitik #politikhankam
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa Komcad akan mendapatkan pelatihan dasar selama tiga bulan.
Masa pelatihan ini jelas di bawah masa pelatihan prajurit TNI di mana untuk tingkat kepangkatan terendah saja, yaitu Tamtama, memakan waktu lima bulan.
Oleh sebab itu, jika TNI saja yang masa pelatihannya jauh lebih panjang masih dianggap belum dapat menghadapi perang modern, bagaimana dengan Komcad yang pelatihannya di bawah TNI?
Terakhir, keputusan Menhan dan DPR untuk mendorong RUU PSDN bisa jadi berbeda dengan pandangan Jokowi mengenai pertahanan Indonesia di mana saat Pilpres 2019, sang presiden mengklaim bahwa dalam 20 tahun ke depan tidak ada negara yang akan menginvasi Indonesia.
Dengan kondisi TNI yang masih kerepotan dengan jumlah prajurit yang terlalu banyak serta anggaran pertahanan yang terbatas, ada baiknya pemerintah mengkaji kembali pembentukan Komcad.
Menarik untuk dipantau lebih lanjut lagi apakah RUU PSDN benar-benar akan memperkuat pertahanan Indonesia atau malah membebankan Indonesia. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.