Melalui cuitannya, SBY mengatakan kalau dirinya dikritik mengenai masalah BBM oleh Jokowi. Apa penyebab Jokowi serang SBY?
PinterPolitik.com
“Melakukan perbandingan adalah sifat alami manusia. Singkatnya, diperbandingkan artinya dimanusiakan.” ~ Todd Landman
[dropcap]M[/dropcap]erasa mendapat kritikan mengenai kebijakan subsidi BBM selama pemerintahannya, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta pada para mantan menteri, pejabat di era pemerintahannya, kader, dan konstituennya untuk tetap sabar. Namun pernyataan presiden keenam RI tersebut, malah mengundang reaksi.
Permintaan ‘tetap sabar’ SBY tersebut malah memicu reaksi, salah satunya dari Kadiv Advokasi dan Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean yang secara emosional mengatakan kalau Jokowi gagal memenuhi janjinya. Wakil Ketua Gerindra Fadli Zon juga tak mau kalah dengan mencela Jokowi berusaha bersembunyi dari kegagalannya dengan membandingkan dengan pemerintahan lalu.
Sebenarnya, andai saja Ketua Umum Demokrat tersebut tidak mengeluhkan kritikan Jokowi melalui media sosial andalannya, twitter, bisa jadi apa yang dikatakan Jokowi saat menghadiri Penutupan Workshop Nasional Anggota DPRD PPP Nasional tersebut, tidak akan memancing polemik.
Pak Jokowi intinya mengkritik & menyalahkan kebijakan subsidi utk rakyat & kebijakan harga BBM, yg berlaku di era pemerintahan saya. *SBY*
— S. B. Yudhoyono (@SBYudhoyono) May 15, 2018
Pada acara yang berlangsung di Jakarta, Selasa (15/5), tersebut, Jokowi mengatakan kalau kebijakan satu harga yang diterapkan Pemerintah bisa berjalan walau subsidi BBM telah dicabut. Ia juga mempertanyakan subsidi BBM pada pemerintahan lalu yang mencapai Rp 340 triliun, namun tidak bisa menerapkan kebijakan satu harga.
Alih-alih membela dirinya dan menegur Jokowi, berkat cuitan SBY, apa yang dinyatakan oleh Jokowi di acara tersebut malah semakin menyebar dan mendapatkan perhatian publik. Efeknya tentu beragam, bisa menuai kecaman seperti yang dilakukan Ferdinand, atau masyarakat malah makin tersadar dengan pernyataan Jokowi tersebut.
Walau cuitan-nya ini bisa berakibat blunder terhadap SBY sendiri, namun mengapa Jokowi mengeluarkan pernyataan yang terkesan menyerang pendahulunya tersebut? Benarkah Jokowi memang ingin menjatuhkan citra baik pemerintahan ayah dari Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ini, atau ada maksud lain di balik itu?
Kebijakan Populis BBM
“Bukanlah soal kekayaan ataupun kemegahan; kesejahteraan dan kenyamanan yang memberikan Anda kebahagiaan.” ~ Thomas Jefferson
Sebelum adanya kebijakan BBM satu harga, mendapatkan satu liter bensin di Long Apari – sebuah desa di hulu Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, membutuhkan upaya yang sangat panjang. Bila warga Jakarta masih bisa membeli bensin Rp 6000/liter, di desa tersebut harganya bisa mencapai Rp 15.000/liter atau lebih.
Belum lagi bila distribusi BBM mengalami hambatan, bensin bisa tiba-tiba menjadi barang yang sangat langka. Terkadang, warga harus rela mengantri seharian atau bahkan menunggu berhari-hari untuk mendapatkannya. Akibatnya, mobilitas warga menjadi lumpuh, begitu juga dengan pergerakan ekonomi di wilayah tersebut.
Jadi tak heran bila kebijakan Jokowi dengan memberlakukan satu harga BBM dari Sabang hingga Merauke, mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat – terutama yang berada di wilayah pelosok dan terpencil layaknya Long Apari. Apalagi kebijakan satu harga ini, juga berimbas pada turunnya harga-harga kebutuhan pokok yang sebelumnya bisa berkali-kali lipat dari harga di Jawa – terutama di wilayah Indonesia Timur.
Bagi masyarakat di kota-kota besar, terutama di Jawa, kebijakan Jokowi ini mungkin tidak dirasakan sebagai berkah. Terutama karena Jokowi pun mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan pemberian subsidi BBM, kecuali solar, minyak tanah, dan minyak penugasan. Efeknya, harga bensin pun naik turun, karena mengikuti fluktuasi harga minyak dunia.
Di Papua, salah satu titik BBM satu harga berada di Ilaga. Ini pendapat Kabag Umum Setda Kabupaten Puncak, Ilaga, Firom M Balinal.
Monggo Pak @SBYudhoyono ini berkat subsidi bbm di cabut loh.
Jangan baper lg ya pak, klo baper silahkan #SBYJelaskan #2019TetapJokowi pic.twitter.com/SPtbT6SuTg
— Capres Abadi (@P3nj3l4j4h) May 16, 2018
Bagi masyarakat kota dan Jawa – termasuk para pengusaha, bisa jadi kebijakan tersebut bukan kebijakan yang populer karena memberatkan kantong mereka. Tapi bagi masyarakat pedesaan dan di wilayah terpencil, peningkatan harga tersebut bukan masalah dibandingkan harga awal BBM yang harus mereka beli bertahun-tahun sebelumnya.
Sebaliknya, walaupun kebijakan ini sangat menguntungkan masyarakat, namun bagi Pertamina – sebagai BUMN yang menangani urusan ini, tentu menjadi sangat memberatkan. Fakta ini diungkap oleh Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Noviandri yang mengatakan kalau penyaluran BBM satu harga membuat Pertamina menanggung biaya distribusi mencapai Rp 1 triliun.
Penjelasan akan kebijakan pro rakyatnya inilah yang kemungkinan ingin disampaikan oleh Jokowi dalam acara tersebut, namun entah mengapa, Jokowi menggunakan pernyataan yang menyerang pemerintahan sebelumnya. Apalagi membawa-bawa besarnya anggaran subsidi BBM yang dikeluarkan. Tak heran bila SBY jadi merasa gerah.
Secara obyektif, sebenarnya kebijakan pemberian subsidi BBM yang dikeluarkan pemerintahan SBY, juga dilakukan oleh pemerintahan presiden sebelumnya. Sebut saja salah satunya Megawati Soekarnoputri. Jumlah anggaran yang dikeluarkan pun cukup besar, namun juga sama-sama tidak mampu membuat kebijakan satu harga layaknya Jokowi. Jadi, apa maksud Jokowi sebenarnya? Apa memang ia sengaja menyerang SBY?
BBM dan Strategi Terselubung Jokowi
“Melakukan perbandingan adalah sikap yang sangat konyol, karena setiap orang adalah unik dan tidak bisa dibanding-bandingkan.” ~ Rajneesh
Pemikiran Rohaniawan mistis India di atas, bisa jadi sama dengan pandangan Fadli Zon terkait pernyataan Jokowi yang membandingkan kesuksesan kebijakan satu harga BBM dengan kebijakan subsidi BBM di pemerintahan lalu. Seperti kata Rajneesh, setiap pemimpin tentu memiliki kebijakan yang ia anggap baik sendiri-sendiri.
Dalam hal ini, berdasarkan perspektif politik liberalisme klasik yang diungkapkan oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nation, mengatakan kalau sesungguhnya setiap individu itu memiliki keuntungannya sendiri (self interest). Begitupun dengan keputusan seorang presiden, tentu penganggaran subsidi tersebut atas pertimbangan kepentingannya saat itu.
Namun sebenarnya, di tahun 2014, SBY sendiri pernah mengakui kalau subsidi BBM yang dianggarkan pemerintahannya memang masih belum mencapai sasaran. Pernyataan ini, pernah ia lontarkan dalam pidato pengantar RUU Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2015 beserta Nota Keuangannya dihadapan anggota DPR-MPR.
Oleh karena itu, ada kemungkinan Jokowi melakukan perbandingan tersebut hanya demi kepentingan meningkatkan citra baik pemerintahannya semata. Apa yang dilakukan mantan Walikota Solo ini, menurut Erving Goffman biasa dilakukan oleh para kepala negara saat tengah melakukan kampanye, yaitu berupaya membuat masyarakat terkesan.
Dengan menggunakan teknik Impression Management (manajemen impresi), Jokowi sengaja menggunakan teori perbandingan (comparation theory) melalui keberhasilannya dengan cara bagaimana presiden sebelumnya menyelesaikan masalah yang sama, namun mengalami kegagalan.
Selain itu, Jokowi juga berusaha memberikan pembenaran akan kebijakannya menarik subsidi BBM untuk disalurkan ke sektor pembangunan infrastruktur. Di sisi lain, pernyataan Jokowi yang menyerang SBY dengan mempertanyakan besaran subsidi BBM tersebut, apa mungkin memang disengaja untuk mendapatkan perhatian dari Ketua Umum Demokrat tersebut?
Isu mengenai niatan Partai Demokrat untuk membentuk poros ketiga – yang notabene akan membuat posisi Jokowi sebagai petahana menjadi terancam, bisa saja merupakan “maksud terselubung” mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut sengaja menyerang SBY. Meminjam ucapan Albert Camus yang mengatakan seorang teman juga bisa berkhianat, Jokowi kelihatannya tengah menilai di mana posisi SBY sebenarnya.
Dalam strategi permainan catur, Jokowi tengah memainkan taktik “membuat kalap lawan” yang bisa menghasilkan efek tidak terukur. Kalau menurut pecatur Rusia Vladimir Kramnik, langkah ini disebut no man’s land, yaitu Jokowi melangkah ke area kosong untuk mengukur posisi langkah lawan sebenarnya.
Bagi seorang pecatur handal, langkah ini bisa menciptakan kondisi yang tak terduga. Posisi lawan yang telah kalap dan kebingungan, akan membuat langkahnya menjadi lebih mudah diterka. Nah, berdasarkan reaksi kader Demokrat dan SBY, kira-kira bagaimana penilaian Jokowi terhadap Partai Mercy ini di Pilpres nanti? Akankah langkah diam SBY selama ini akan terbaca juga oleh Jokowi? (R24)