Kepemimpinan Komnas HAM periode 2012-2017 selalu jadi sorotan. Pelanggaran kode etik sampai kinerja yang buruk melengkapi catatan negatif mereka. Pelantikan jajaran komisioner yang baru beberapa hari yang lalu (14/11) membawa tuntuntan reformasi yang mendalam.
PinterPolitik.com
Susunan Komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM mengalami perombakan, dari yang berjumlah 13 orang pada periode 2012-2017, dikurangi menjadi 11 orang, lalu menjadi 7 orang pada periode 2017-2022. Pengurangan ini berasal dari gagasan efektivitas komisioner, terutama merefleksikan inefisiensi kinerja pada periode sebelumnya.
Pada Selasa, (14/11) kemarin, anggota komisioner Komnas HAM yang baru mengadakan jumpa pers di kantor Komnas HAM. Mereka adalah 7 orang yang telah diusulkan maupun mengajukan diri dan lolos verifikasi di DPR serta mengalahkan 23 nama lainnya, melalui proses panjang sejak bulan April 2017. Dalam proses pemilihannya, Fraksi PKS dan Nasdem juga sempat memberi catatan kepada Sandrayati Moniaga, petahana dari kepengurusan komisioner sebelumnya.
Rapat Paripurna DPR Tetapkan 7 Anggota Komnas HAM https://t.co/NeqdcGeZu6
— Kompas.com (@kompascom) October 17, 2017
Sandrayati yang dulu menjabat Komisioner Subkomisi Pengkajian dan Penelitian, dinilai sempat tersandung korupsi anggaran. Isu tersebut kemudian ditepis olehnya selama proses penyaringan. Akan tetapi, Fraksi PKS khususnya tetap memberi catatan sebagai reminder tentang Sandrayati. Di pengurusan yang baru, Sandrayati kemudian naik jabatan menjadi Wakil Ketua Bidang Eksternal.
Ketujuh komisioner baru tersebut dinilai telah melalui proses seleksi yang obyektif dan profesional. Mereka berjanji akan membawa angin segar dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM. Sebagai permulaan, mereka akan mengusut 9 kasus pelanggaran HAM masa lalu. Namun, mereka belum mau membuka kasus mana yang akan diusut terlebih dahulu.
Yang jelas, mereka menyebut bahwa kasus yang diusut akan dimulai dari kasus yang paling disorot oleh publik.
Kritik Membangun Transisi Komisioner
Hujan kritik menerpa kepengurusan Komnas HAM periode lalu. Banyak pihak menilai, kerja Komnas HAM lima tahun terakhir cenderung buruk, diduga karena instabilitas kepemimpinan di internal komisi. Bahkan, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah sempat mengusulkan agar Komnas HAM dibubarkan saja.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Totok Yuliyanto menyebutkan, sejak di level Undang-Undang, peran Komnas HAM sendiri tidak diatur dengan jelas. Alokasi anggaran pun menjadi keluhan yang kerap terdengar dari meja para komisioner ini.
Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) bahkan mengatakan, bahwa periode komisioner sebelumnya adalah yang terburuk sepanjang berdirinya Komnas HAM sejak 1993. Pasalnya, rotasi ketua dilakukan hanya satu tahun sekali, bukan 2,5 tahun sekali seperti aturan sebelumnya.
Rotasi kepemimpinan yang mencapai lima kali dalam lima tahun itu kemudian tidak berjalan efektif terhadap penanganan kasus. KontraS menyebut, perpindahan berkas kasus dan prioritas penanganan kasus berubah-ubah setiap kali ada rotasi ketua.
Jangankan kasus besar, banyak kasus yang kecil pun tidak dapat terselesaikan. Hal ini terlihat dari laporan pada laman resmi Komnas HAM yang menunjukkan tidak adanya kasus HAM yang telah diselesaikan selama periode ini.
Ya, tak ada satu pun kasus yang pernah diselesaikan Komnas HAM, dari ribuan laporan pelanggaran HAM, yang berat maupun ringan, yang lama maupun baru. Di media, publik hanya dapat melihat peran Komnas HAM sebatas sebagai komentator, pengimbau, atau pemberi arahan semata.
Bahkan, KontraS mengritik keras banyak pengaduan yang diarahkan ke Komnas HAM, justru dioper ke KontraS. Lah, yang didanai dan bertanggung jawab kepada negara siapa?
Kontras Sebut Komnas HAM 2012-2017 Punya Kinerja Terburuk https://t.co/sufaoSRjZ0 pic.twitter.com/As90pDEGJG
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) July 14, 2017
Jimly Asshiddiqie, Ketua Panitia Seleksi Calon Anggota Komisioner mengatakan, selama ini perpecahan selalu terjadi di internal komisioner. Silang pendapat hingga kasus-kasus kode etik juga banyak terlihat pada periode sebelumnya.
Yang paling kentara adalah sikap Natalius Pigai, salah satu komisioner Komnas HAM yang sering berseberangan dengan Imdadun Rahmat, Ketua Komnas HAM sebelumnya, maupun berbeda dengan sikap Komnas HAM secara umum. Terlebih, Pigai adalah sosok yang cukup banyak berbicara dan sering diundang wawancara oleh media-media massa, sementara kerjanya di Komnas HAM terkesan minimalis dan tidak jelas.
Selain menjabat sebagai salah satu komisioner Komnas HAM, Pigai juga disinyalir terlibat dalam politik praktis dan kerap berseberangan dengan pemerintahan Jokowi, walaupun hal ini tidak nampak secara frontal selama ia menjabat sebagai komisioner. Sikap kontranya semakin terlihat ketika ia bergabung dengan Timnas Penagih Janji Jokowi, selepas jabatannya di Komnas HAM.
Jelas kondisi yang seperti ini menghambat kinerja Komnas HAM secara keseluruhan.
Memang, apabila dilihat dari kondisi pemilihannya, kondusivitas lebih dapat tercapai, ketimbang pemilihan 2012 yang gaduh dan penuh kepentingan politik. Para komisioner terpilih pun memiliki rekam jejak yang baik, dan cenderung bersih dari kepentingan politik.
Sebagian dari mereka adalah akademisi yang fokus dalam dunia pendidikan dan merupakan aktivis HAM. Sebagian yang lain juga aktif di organisasi non-pemerintah (NGO) dalam negeri maupun luar negeri, sehingga diharapkan bersih dari kepentingan politik parsial.
Harapannya, orang-orang baru ini dapat membawa Komnas HAM menjadi lebih baik dan tidak lagi berpolitik atau melanggar kode etik, serta fokus mengurus penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM secara profesional.
Terhambat Kekuasaan Militer
Upaya Komnas HAM maupun LSM-LSM kompatriotnya, dalam menangani kasus-kasus HAM besar selalu terhambat akibat adanya kepentingan penguasa. Rezim yang ditengarai masih banyak didukung oleh purnawirawan militer di belakangnya, cenderung tertutup dan menghindar dari utang penuntasan kasus HAM.
Nampaknya, kerja Komnas HAM selama ini terhambat oleh adanya orang dalam di pemerintahan Jokowi sendiri. Diduga, ada pihak-pihak seperti politisi senior, terutama yang berafiliasi dengan rezim Orde Baru yang terus menghambat penyelidikan kasus-kasus HAM berat.
Wiranto merupakan salah satu orang yang disebut oleh komisioner periode sebelumnya, Muhammad Nukhoirin sebagai aktor yang paling memperlambat proses penyelidikan pelanggaran HAM berat lama, utamanya kasus 1965-1966 dan 1998. Sejak Wiranto menjabat Menkopolhukam, Komnas HAM menjadi berjarak dengan kabinet.
Hal ini sedikit berbeda ketika Menkopolhukam masih dijabat oleh Edhy Purdjianto maupun Luhut Panjaitan. Indikasi non-kooperatif Wiranto pun terlihat, misalnya ketika ia abai terhadap belasan ribu mantan pejuang Timor Timur yang pernah ia kenal dahulu.
Wiranto pun kerap vokal mendorong upaya rekonsiliasi. Hal ini memperkuat tudingan ‘cuci tangan’ terhadapnya, terutama dalam perannya di kasus besar seperti kerusuhan 1998. Padahal, dorongan dari LSM seperti dan KontraS dan PBHI kencang mengharapkan agar upaya pengadilan didahulukan, ketimbang rekonsiliasi.
Belum lagi, apabila melihat kondisi saat ini, banyak kasus HAM yang terjadi akibat absennya negara, terutama dalam kasus yang melibatkan Ormas atau kelompok tertentu. Faktanya, beberapa pihak menyebut Ormas-ormas – misalnya Front Pembela Islam (FPI) – justru dilindungi oleh militer, karena menjalankan ‘tugas-tugas kotor’ mereka.
Jangankan pelanggaran HAM berat seperti Penembakan Misterius, Pembantaian Tanjung Priok, Santa Cruz, hingga DOM Aceh. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh ormas kepada masyarakat saja diabaikan terus, kok. Apalagi kasus-kasus besar?
Mau dibawa kemana penegakan HAM bangsa ini?
Remedial Joko Widodo
Komnas HAM diberi rapot merah dalam tiga tahun terakhir, begitu juga imbasnya kepada Jokowi. Capaian dan penerimaan yang terus positif terhadap pemerintahan Jokowi dinodai rapot merah penuntasan kasus HAM.
Banyak yang menilai, Jokowi belum memiliki keberanian maupun keseriusan untuk membongkar kasus-kasus HAM ini. Padahal, persoalan HAM adalah salah satu janji kampanye Jokowi di 2014. Masalahnya, orang dalam di pemerintahan, maupun dukungan penuh purnawirawan TNI, menjadikan Jokowi tersandera. Jokowi jadi tak bisa terlalu ‘mengutak-atik’ kalangan militer dengan membuka kasus HAM lama.
Salah satu komisioner baru Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menyebut, harus ada political will yang besar dari Jokowi untuk dapat berkomitmen bersama Komnas HAM menyelesaikan luka lama bangsa. Benar, kita harus berdamai dengan sejarah untuk melangkah maju.
Tapi, masalah sebenarnya bukan pada political will, melainkan political capital Jokowi, yang rasa-rasanya belum cukup kuat untuk membongkar kasus-kasus HAM berat sekaligus.
Jadi, pelan-pelan dulu, ya. (R17)