Site icon PinterPolitik.com

Kominfo Buat Indonesia Makin Mundur?

Kominfo Buat Indonesia Makin Mundur

Menkominfo Johnny G. Plate (Foto: Goodnewsfromindonesia)

Aturan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) jadi sorotan masyarakat. Akankah ini berdampak pada perkembangan teknologi di Indonesia?


PinterPolitik.com

Aturan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang diterapkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) belakangan ini berhasil mencuri perhatian publik. 

Bagaimana tidak, aturan kontroversial tersebut sempat memblokir sejumlah platform game online yang sering digunakan orang, seperti Steam, Origin, dan Epic Games. Lebih beratnya lagi, aturan PSE juga ikut memblokir aplikasi pembayaran Paypal, yang umumnya digunakan sebagai alat pembayaran utama bagi para pekerja tetap dan freelance yang kantornya berada di luar negeri.

Yang tidak kalah menariknya, Kominfo justru tidak langsung memblokir sejumlah situs judi online, contohnya seperti Domino Qiu Qiu. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Ditjen Aptika) Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan situs judi online tersebut lolos blokir karena pihaknya menganggap itu hanya permainan kartu domino biasa, bukan judi.

Beberapa pengamat sontak mengkritisi hal itu, termasuk juga Youtuber Deddy Corbuzier yang melempar sindiran bahwa mungkin para pemilik situs judi tersebut adalah orang-orang kuat, sehingga pemerintah enggan memblokir mereka.

Meski pada akhirnya Domino Qiu Qiu dan beberapa tempat judi online lainnya sudah diblokir, respons yang diucapkan Semuel tentu tetap akan membekas di benak masyarakat Indonesia. Tidak akan ada yang lupa bahwa situs yang jelas-jelas mempraktikkan aksi melawan hukum pernah dianggap hanya sebagai permainan biasa oleh Kominfo.

Karena itu, tidak sedikit bahkan yang sampai bertanya-tanya, apakah dalam penerapan PSE ini Kominfo memang sudah benar-benar meneliti situs yang akan mereka blokir? Atau justru pemblokiran ini tidak dilandaskan riset yang faktual, dan hanya merupakan suatu agenda politik?

Mengapa hal seperti ini bisa terjadi pada Kominfo?

Ada Masalah Tenaga Ahli?

Ketika kita ingin bicara tentang kebijakan yang kurang tepat sasaran atau justru hasilkan masalah baru, maka kita juga perlu menyoroti aspek tenaga ahli pengkajiannya. Dalam masyarakat, sepertinya sudah jadi rahasia umum bahwa terdapat suatu stigma buruk terhadap ketersediaan sumber daya manusia (SDM) di bidang digital.

Well, pandangan demikian sepertinya memang ada benarnya. Timothy Astandu dalam tulisannya Same old issues slow Indonesia’s digital economy, mengatakan bahwa permasalahan tenaga kerja digital Indonesia memiliki satu hambatan besar, yakni kita kekurangan tenaga ahli di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). 

Hal ini menyebabkan banyak kantor, termasuk pemerintahan, saat ini kesulitan mencari ahli-ahli di Informasi dan Teknologi (IT). Sebagai akibatnya, selain harus mencari tenaga ahli asing, kantor-kantor juga sering kali menerima orang yang latar pendidikannya tidak sesuai. 

Ditambah lagi, Indonesia memang kekurangan jumlah perguruan tinggi yang menyediakan lulusan TIK. Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo Usman Kansong mengatakan bahwa hanya 20% dari total 4.000 kampus di Indonesia yang memiliki program studi TIK. Menurutnya, hal ini membuat talent gap sekitar 400.000-500.000 orang per tahun dari total 9 juta tenaga ahli IT yang saat ini dibutuhkan Indonesia.

Karena itu, tidak heran bila Kominfo juga menderita permasalahan yang serupa. Dan pada akhirnya, kebijakan yang ditelurkan hanyalah sebagai upaya untuk mengontrol, bukan untuk berkolaborasi dan mengembangkan teknologi bersama dengan para perusahaan teknologi besar (big tech). 

Hal itu disoroti oleh Jamie Condliffe dalam tulisannya We Might Be Regulating the Web Too Fast. Condliffe menilai bahwa sekarang banyak negara di dunia telah memasuki fase hyper-regulation terhadap dunia digital. Maksudnya adalah, negara-negara di dunia saat ini telah berbondong-bondong membatasi kekuatan yang dimiliki para big tech, bukan berkolaborasi dengan mereka.

Perkembangan teknologi telah membuktikan bahwa internet ternyata memiliki kekuatan yang begitu besar, misalnya seperti akumulasi data penduduk melalui big data. Karena itu, pemerintah dari seluruh dunia merasa ada dorongan untuk mencegah para big tech tersebut menjadi kekuatan yang dapat menyaingi legitimasi pemerintah. 

Yang lebih parahnya, kekuatan tersebut malah dicoba dialihkan sedemikian rupa agar eksklusif menjadi milik negara saja. Eksploitasi teknologi menjadi watchdog atau pemantau ranah pribadi masyarakat menjadi salah satunya.

Karena pandangan demikian, alhasil, negara-negara sekarang cenderung menghasilkan kebijakan-kebijakan digital berjangka pendek yang berpotensi mencederai potensi jangka panjang perkembangan teknologi itu sendiri.

Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam risetnya berjudul Regulatory Reform and Innovation menilai bahwa regulasi pemerintah kerap kali menghambat alur perkembangan teknologi dan inovasi manusia. 

Regulasi memiliki kekuatan untuk mendistorsi pilihan teknologi seperti apa yang perlu dikembangkan dan dieksplorasi. Dan walau tidak spesifik melarang penggunaan suatu teknologi, regulasi yang membatasi keleluasaan para pengembang teknologi juga dapat menciptakan hambatan inovasi dengan meningkatkan ketidakpastian dan menjebaknya dengan sistem birokrasi yang rumit.

Salah satu contohnya adalah pelarangan penggunaan teknologi supersonik untuk jet komersial. Karena jet Concorde dijadikan sebagai simbol taboo penggunaan jet supersonik dalam aktivitas sipil, kita tidak akan pernah mengalami penerbangan super cepat – kecuali jika menjadi pilot jet tempur.

Hal demikian juga bisa terjadi dalam aturan PSE Kominfo. Melalui aturan ini, teknologi internet mengalami peyorasi, ia hanya dimaknai sebagai potensi kekuatan politik belaka. Padahal, pengembangan big data juga sangat berguna untuk berbagai aspek, seperti untuk keperluan medis, pemetaan lahan, dan bisnis.

Lantas, bagaimana dampak panjang dari kebijakan seperti PSE ini?

Kita Hidup di Era Kemunduran Teknologi?

CEO sekaligus pendiri Tesla, Elon Musk, pernah membuat opini yang sangat menarik tentang perkembangan teknologi. Ia membantah pendapat mayoritas orang yang menilai perkembangan teknologi sebagai sesuatu yang terjadi secara natural. 

Menurutnya, hal yang terjadi justru sebaliknya, perkembangan teknologi tidak akan terjadi tanpa kemerdekaan manusia untuk melakukan inovasi. 

Musk mencontohkannya dengan perkembangan teknologi antariksa. Ketika tahun 1969, umat manusia mampu mendaratkan dirinya di Bulan. Akan tetapi, sejak akhir era Perang Dingin kita tidak pernah lagi mengirim manusia ke bulan. 

Lalu, Amerika Serikat (AS) juga mampu menggunakan pesawat ulang alik untuk menempatkan manusia di orbit rendah Bumi. Namun, setelah tahun 2011, negara itu tidak lagi menggunakan wahana antariksa yang bisa digunakan secara berulang-ulang, hanya menggunakan wahana sekali pakai seperti roket. 

Dan terakhir, orang Mesir yang tadinya sanggup menciptakan bangunan megah seperti piramida ribuan tahun yang lalu, saat ini, tidak ada dari mereka yang ingat bagaimana menciptakan piramida yang terbuat dari sekian ratus batuan besar yang beratnya sampai berton-ton.

Penulis asal AS, Jeremy Jenkins dalam serial bukunya Left Behind menyebut fenomena seperti ini dengan istilah technological regression atau kemunduran teknologi. Konsep ini berlaku sebagai antitesis dari teori dataisme yang ditulis Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus

Dataisme ini merupakan pandangan yang melihat bahwa teknologi-lah yang mengarahkan manusia, karena teknologi, menurut Yuval, telah berperan layaknya tuhan, di mana data dan algoritme menjadi sesuatu yang nilainya paling tinggi dalam kehidupan modern. Namun, berkaca dari catatan sejarah yang sempat diungkapkan di atas, kita sepertinya bisa mengatakan bahwa hal tersebut tidak akan terjadi.

Kita sepertinya kerap melupakan bahwa kemajuan manusia tidak terjadi secara tiba-tiba, ada ambisi luar biasa untuk terus mengembangkan diri di balik tembok yang membatasi kemampuan manusia untuk berbuat lebih. Tanpa ambisi yang serupa, keajaiban teknologi yang baru tidak akan tercapai.

Manusia telah berulang kali menjebak dirinya agar tidak mengembangkan teknologi yang super canggih. PSE Kominfo tidak lain hanya menjadi bukti nyata bahwa saat ini, di negara ini, perkembangan teknologi hanya dipandang sebagai potensi kekuatan.

Dan pada akhirnya, bisa saja apa yang dilakukan pemerintah dalam membatasi eksplorasi dan inovasi teknologi menjadi alasan kenapa Indonesia akan tetap tertinggal dari negara lain. (D74)

Exit mobile version