Ada indikasi bahwa Jokowi akan menghadapi serbuan jenderal Polri di 2019. Langkah Jokowi mengumpulkan jenderal TNI di lingkarannya bisa menjadi kekuatan menangkal kondisi tersebut.
PinterPolitik.com
[dropcap]J[/dropcap]okowi sepertinya tidak silau dengan gemerlap bintang para jenderal. Ini nampak dari langkahnya mengumpulkan jenderal-jenderal di lingkaran kekuasaannya. Menariknya, ia seolah memiliki pola khusus dalam memilih bintang. Jenderal-jenderal yang ia ambil sebagai orang dekat, kebanyakan berasal dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) khususnya Angkatan Darat (AD).
Kegemaran Jokowi mengumpulkan jenderal di lingkaran kekuasaannya memang nampak jelas. Baik di jajaran menteri atau posisi kelembagaan lain, ada saja pos khusus yang diberikan oleh orang nomor satu di Indonesia tersebut.
Langkah Jokowi mengumpulkan eks petinggi-petinggi militer, dapat diartikan sebagai strategi jelang Pilpres 2019. Sejauh ini, calon kuat yang diprediksi akan bersaing dengan sang petahana berasal dari kalangan militer. Nama Prabowo Subianto dan Gatot Nurmantyo tengah dibicarakan untuk menjadi lawan tanding Jokowi di 2019.
Selain sebagai strategi melawan jenderal TNI, langkah Jokowi ini juga bisa menjadi isyarat dari strategi lainnya. Jika melihat dari polanya, bisa saja ini merupakan strategi untuk melawan jenderal dari kesatuan lain, yaitu Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Persiapan Ditinggal PDIP?
Dukungan para jenderal TNI memang krusial bagi Jokowi. Hal ini dikarenakan ada indikasi bahwa ia belum mendapat dukungan penuh dari partai pengusungnya saat ini: PDIP. Meski menjadi pengusung utama di Pilpres 2014 lalu, hingga kini PDIP justru belum menyatakan secara terang akan mendukung kembali pria asal Solo tersebut di 2019.
Dengan menggalang dukungan dari para jenderal, Jokowi dapat menunjukkan bahwa ia sedang membangun kekuatannya sendiri. Ia kini bisa menunjukkan, bahwa ia tidak perlu sepenuhnya bergantung pada PDIP sebagai basis massa utama.
Dukungan yang ia dapatkan dari para eks petinggi militer ini, dapat melepaskan label petugas partai yang selama ini ditempelkan padanya. Langkah ini pun dapat menjadi penanda bahwa Jokowi sudah tidak mau lagi berada di bawah tekanan partai pengusungnya tersebut.
Para eks petinggi militer di sisi Jokowi ini, memiliki modal politik yang dapat dikatakan mentereng. Sebagai purnawirawan, mereka tentu memiliki kemampuan kepemimpinan yang mumpuni. Mereka terbiasa memimpin prajurit dengan jumlah tidak sedikit. Para eks perwira tinggi ini juga mempunyai kepiawaian dalam memobilisasi massa, memproduksi isu, serta melakukan aktivitas intelejen yang bermanfaat di masa pemilihan.
Modal para jenderal ini juga bersumber dari jejaring yang mereka miliki. Beberapa jenderal disinyalir masih memiliki pengaruh kuat di angkatan mereka. Meski tentara tidak dapat memilih, mengonsolidasikan kekuatan militer penting jika harus menghadapi ancaman keamanan saat Pemilu.
Para petinggi militer di lingkaran Jokowi juga memiliki jejaring kuat dengan purnawirawan lainnya. Basis massa ini dapat memberi keuntungan tersendiri baginya.
Perwira berbintang yang berada di kubu Jokowi sendiri berasal dari beberapa partai politik. Dari Partai Golkar misalnya, ada Luhut Binsar Pandjaitan. Dukungan Partai Hanura diprediksi aman, karena ada ada Wiranto di Kabinet Kerja, Subagyo Hadi Siswoyo di Wantimpres, dan Moeldoko di Kepala Staf Kepresidenan. Jokowi juga masih menyimpan nama AM. Hendropriyono dan Yusuf Kartanegara dari PKPI.
Melalui dukungan para jenderal tersebut, Jokowi kini tidak perlu takut jika PDIP benar-benar pergi meninggalkannya. Ia sudah memiliki kekuatan lain yang tidak kalah solid dan kuat, yaitu para purnawirawan jenderal.
PDIP sendiri bukannya tidak memiliki kekuatan bintang. Jika Jokowi mengandalkan kebintangan TNI, PDIP disinyalir lebih dekat dengan kekuatan bintang Polri.
PDIP Partainya Polisi?
PDIP kerap diidentikkan sebagai partainya polisi. Ada banyak jejak yang menunjukkan bahwa partai berlogo banteng tersebut memiliki riwayat dengan kesatuan yang bermarkas di Trunojoyo tersebut. Umumnya, kedekatan ini terlacak dari hubungan antara Megawati Soekarnoputri dengan Polri.
Megawati dan PDIP memang belakangan menolak anggapan tersebut. Akan tetapi ada beberapa riwayat yang dapat menyulitkan PDIP melepas citra sebagai partai polisi.
Jejak kedekatan antara Polri dengan PDIP dapat dilihat, misalnya, melalui salah satu kader seniornya, Sidarto Danusubroto. Semasa berkarir di Polri, pangkat terakhir di pundaknya adalah bintang dua atau Irjen. Sidarto dekat dengan Megawati karena ia adalah ajudan terakhir Presiden Soekarno.
IPW: Polisi Maju Di Pilkada Lewat PDIP, Apa Karena Faktor Budi Gunawan? #Pilkada https://t.co/La9sWLNDMc
— RMOL.CO (@rmolco) December 21, 2017
Pasca pensiun dari Polri, Sidarto memutuskan untuk terjun ke dunia politik. Pada Pemilu 1999, ia berhasil menjadi anggota DPR dari PDIP. Kepercayaan Megawati dan PDIP padanya, membuat ia didaulat sebagai pengganti Taufik Kiemas di posisi Ketua MPR.
Selain melalui Sidarto Danusubroto, kedekatan antara PDIP dengan Polri juga dapat dilihat dari mantan Kapolri Da’i Bachtiar. Da’i Bachtiar merupakan Kapolri di masa Megawati menjabat sebagai presiden. Beberapa orang menduga karirnya melesat karena peran Megawati.
Secara khusus, Da’i juga disebut-sebut telah bergabung menjadi kader PDIP. Ada suatu momen di mana Megawati mengakui Da’i sebagai kader PDIP melalui pidatonya. Mantan Kapolri ini juga kerap hadir di beberapa agenda kampanye PDIP.
Relasi lain antara PDIP dengan jenderal Polri adalah melalui Kepala BIN, Budi Gunawan. Mantan Wakapolri ini memang dikenal memiliki kedekatan dengan Megawati. Jauh sebelum menjadi jenderal polisi bintang empat, ia pernah menjadi ajudan bagi Megawati saat menjadi presiden.
Kedekatan antara PDIP dengan Budi Gunawan nampak saat namanya dimajukan sebagai calon tunggal Kapolri pada tahun 2015. PDIP termasuk fraksi yang paling vokal mendorong mantan Wakapolri tersebut menjadi orang nomor satu di Polri.
PDIP kala itu nampak ngotot memberi jabatan untuk Budi Gunawan. Dan setelah gagal menjadi Kapolri, PDIP juga mengusulkan Budi Gunawan menjadi Kepala BIN. Kali ini Budi Gunawan berhasil meraih jabatan di pemerintahan Jokowi. Ia dilantik menjadi Kepala BIN nyaris tanpa gangguan.
Jika melihat kondisi terkini, kedekatan PDIP dengan jenderal Polri juga nampak dari arena Pilkada 2018. Partai yang identik dengan warna merah ini, kerap merekrut jenderal-jenderal Polri untuk menjadi calon gubernur di beberapa provinsi.
Di Pilgub Jabar, PDIP memasangkan mantan Kapolda Jabar Anton Charliyan dengan kadernya, TB Hasanudin. Untuk Pilgub Maluku, eks Komandan Korps Brimob Murad Ismail menjadi pilihan partai banteng. Terdapat pula nama Safarudin yang melaju menjadi calon wakil gubernur di Pilgub Kaltim.
Antisipasi Lawan Jenderal Polri
Melihat kondisi tersebut, langkah Jokowi merekrut jenderal-jenderal TNI ke lingkarannya juga bisa menjadi bentuk antisipasi melawan serbuan PDIP dan jenderal-jenderal Polri. Hal ini terutama jika PDIP akhirnya benar-benar tidak mendukung kembali Jokowi di 2019.
Kedekatan PDIP dengan perwira-perwira tinggi Polri, diprediksi akan menyulitkan Jokowi di 2019. Perwira-perwira elit polisi ini tergolong memiliki kekuatan yang mumpuni untuk menyokong partai banteng. Pengalaman mereka dalam mengatur massa, membangun jejaring, dan melakukan operasi intelejen dapat menjadi ganjalan bagi Jokowi.
Untuk mengimbangi kekuatan tersebut, Jokowi membutuhkan kekuatan lain. Oleh karena itu, langkahnya merekrut eks petinggi militer adalah langkah yang rasional. Jenderal TNI di kubu Jokowi dapat menjadi lawan setara bagi jenderal Polri di sisi berlawanan.
Secara khusus, ada potensi pula Jokowi harus menghadapi eks petinggi Polri di 2019 nanti. Berdasarkan survei Poltracking, nama Budi Gunawan termasuk sebagai kandidat capres atau cawapres yang diperhitungkan. Nama Kepala BIN tersebut bertengger di posisi 10 besar survei capres dan cawapres versi Poltracking.
Melihat riwayat antara PDIP dan Budi Gunawan, bukan tidak mungkin namanya akan menjadi capres atau cawapres yang diusung partai berhaluan nasionalis tersebut. Jika hal ini terjadi, maka barisan eks petinggi militer di sisi Jokowi akan menjadi lawan seimbang bagi jenderal polisi bintang empat tersebut.
Jokowi sepertinya sudah cukup siap jika harus menghadapi serbuan jenderal dari Polri. Kekuatan jenderal TNI yang dihimpunnya dapat menjadi modal yang memadai. Apakah perang jenderal akan benar-benar terjadi di 2019? Kita lihat saja nanti. (H33)