“Malah bagus kan,” komentar Presiden Jokowi, soal banyaknya jenderal di lingkarannya.
PinterPolitik.com
[dropcap]I[/dropcap]stana negara kini semakin berbintang. Bukan bintang yang kerap disematkan pada hotel-hotel mewah, tetapi karena para penghuninya. Lingkaran istana kini semakin gemerlap karena dihuni oleh para purnawirawan jenderal dengan bintang berbaris rapi di pundak mereka. Para jenderal tersebut, kini mengisi banyak tempat di pemerintahan Jokowi.
‘Hobi’ baru Presiden Jokowi yang mengumpulkan jenderal di lingkarannya ini, kian nampak pada reshuffle Kabinet Kerja yang keempat. Pada kocok ulang kabinet tersebut, Jokowi memasukkan nama Agum Gumelar dan Moeldoko dijajaran orang terdekatnya.
Masuknya kedua nama tersebut menambah daftar panjang jenderal yang mengisi posisi yang disediakan pemerintahan Jokowi. Sebelumnya, beberapa nama perwira tinggi TNI juga sudah terlebih dahulu berada di lingkaran istana. Posisi yang diemban prajurit-prajurit elit tersebut tersebar di kabinet, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), hingga lembaga non-struktrural seperti Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila dan Kepala Staf Kepresidenan.
Merapatnya sejumlah nama tenar eks militer ke lingkaran istana merupakan langkah yang menarik. Disinyalir ini adalah strategi baru ala Jokowi menjelang Pemilu 2019.
Gemerlap Bintang Lingkar Istana
Sejak awal, Jokowi sudah mendapat banyak dukungan dari bekas perwira tinggi militer. Di masa kampanye, beberapa nama elit sudah merapat ke kubunya. Nama-nama seperti AM. Hendropriyono dan Luhut Binsar Panjaitan sudah terlebih dahulu terlibat dalam kampanye Jokowi. Hal ini belum termasuk perwira tinggi yang berasal dari parpol seperti Wiranto (Hanura) dan Sutiyoso (PKPI).
Setelah jabatan presiden berhasil direngkuh, nama-nama perwira elit kemudian masuk ke dalam struktur pemerintahan. Nama-nama tersebut tersebar di beberapa posisi mulai dari menteri, Wantimpres, hingga lembaga non-struktural lain.
Nama eks petinggi militer yang tergolong paling awal masuk ke Kabinet Kerja adalah Ryamizard Ryacudu. Ia menjabat sebagai Menteri Pertahanan di Kabinet Kerja. Karir militer Ryamizard cukup moncer, ia pensiun sebagai jenderal dengan jabatan terakhir Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Selain Ryamizard, Luhut Panjaitan juga tergolong awal masuk ke lingkar kekuasaan. Semasa dinas militer, jabatan terakhirnya adalah Komandan Pendidikan dan Latihan TNI AD. Di awal, ia menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Pada reshuffle pertama, posisinya digeser ke Menko Polhukam. Pada reshuffle berikutnya, ia menduduki jabatan Menko Kemaritiman.
Nama Wiranto juga akhirnya masuk ke jajaran menteri Kabinet Kerja. Sebagai jenderal, posisi tertinggi yang pernah ia raih adalah Panglima ABRI era Soeharto. Di Kabinet Kerja, ia didapuk menjadi Menkopolhukam menggantikan Luhut Panjaitan.
Di luar kabinet, Jokowi juga mengumpulkan eks petinggi militer di Wantimpres. Ada nama Subagyo Hadi Siswoyo (HS) di posisi tersebut. Jabatan tertingginya di militer adalah KSAD dengan pangkat jenderal. Terdapat pula politisi PKPI, Yusuf Kartanegara. Karir militernya mencapai puncak dengan pangkat Letnan Jenderal.
Masuknya Jenderal Purnawirawan Agum Gumelar sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presiden sangat berarti bagi konsolidasi politik Presiden Jokowi. Agum adalah Ketua umum DPP Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI/Polri (Pepabri) dan mantan Komandan Kopassus (1994 – 1996)
— Rustam Ibrahim (@RustamIbrahim) January 18, 2018
Belakangan, pos militer di wantimpres kembali bertambah. Agum Gumelar masuk ke jajaran penasihat presiden tersebut menggantikan almarhum KH. Hasyim Muzadi. Semasa dinas, ia pernah menjadi Danjen Kopassus dan Pangdam Wirabuana.
Bersamaan dengan masuknya nama Agum Gumelar, ada pula nama Moeldoko yang mengisi jabatan Kepala Staf Kepresidenan. Moeldoko mencapai puncak karir militernya dengan menjadi Panglima TNI di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi.
Di badan baru bentukan Jokowi yaitu UKP-PIP, ada pula porsi untuk eks petinggi militer. Di sana ada nama mantan Panglima ABRI dan Wapres, Try Sutrisno. Selain itu, satu kursi juga diberikan kepada mantan Danjen Kopassus Wisnu Bawa Tenaya.
Sempat pula ada nama Sutiyoso di posisi Kepala Badan Intelejen Negara (BIN). Meski begitu, penyandang pangkat Letnan Jenderal tersebut posisinya harus digantikan oleh Budi Gunawan.
Strategi Lawan Jenderal Lain
Langkah Jokowi mengumpulkan eks petinggi-petinggi militer bisa dilihat sebagai sebuah strategi jelang 2019. Jika melihat konstelasi politik terkini, jika Jokowi kembali melaju di Pilpres 2019, kemungkinan besar ia akan berhadapan dengan jenderal lain di surat suara.
Barisan oposisi Jokowi yang digawangi Gerindra dan PKS diduga masih menyimpan asa untuk mengantar Prabowo Subianto ke kursi RI-1. Meski takluk dari Jokowi di Pilpres 2014, Ketua Umum Partai Gerindra tersebut tidak kehilangan daya magnetnya.
Jika melihat kondisi terkini, nama eks Danjen Kopassus ini memang kerap berada satu tempat di bawah Jokowi di berbagai survei. Melihat kondisi tersebut, Prabowo diprediksi tetap menjadi salah pesaing utama bagi Jokowi.
Kita jadikan pemilihan Gubernur & Wakil Gubernur ini mjd modal awal perubahan di Indonesia. Menangkan calon kepala daerah #PilihanPrabowo, setelah itu 2019 kita rebut kemenangan nasional dgn mengantarkan pak @prabowo mjd Presiden RI! Salam #IndonesiaRaya. https://t.co/61FcBO7mRy
— Partai Gerindra (@Gerindra) January 10, 2018
Di luar nama Prabowo, ada pula kemungkinan Jokowi akan berhadapan dengan Gatot Nurmantyo. Nama Gatot memang santer diberitakan akan terjun ke dunia politik pasca memasuki masa pensiun. Beberapa partai mempertimbangkan nama Panglima TNI ini untuk menjadi pesaing Jokowi.
Belakangan ini Gatot tampak kian dekat dengan parpol terutama dari kalangan oposisi. Ia pernah menghadiri acara yang dihelat oleh PKS. Akhir-akhir ini menguat pula isyarat Gerindra mempertimbangkan Gatot diusung sebagai capres.
Strategi Jokowi untuk mengumpulkan jenderal di lingkarannya dapat dipahami sebagai menyeimbangkan kekuatan dengan lawan tandingnya. Berasal dari sipil, Jokowi membutuhkan dukungan militer untuk melawan kandidat lain dengan latar belakang prajurit.
Ketua Fraksi PKS Bapak @JazuliJuwaini dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menuju tempat acara FGD Pancasila dan Integrasi Bangsa pic.twitter.com/dP8QGCfisC
— Fraksi PKS DPR RI (@FPKSDPRRI) September 27, 2017
Para jenderal di belakang Jokowi dapat menjadi lawan setara bagi Prabowo atau Gatot. Jokowi dapat memperoleh keuntungan dengan membentuk citra dekat dengan tentara. Selain itu, jejaring dari petinggi militer juga dapat membantu Jokowi di Pilpres 2019.
Selain mempersiapkan diri untuk melawan kedua nama tersebut, strategi Jokowi untuk mengumpulkan jenderal di lingkarannya tersebut bisa juga diartikan sebagai langkah antisipasi. Hal ini terkait dengan belum merapatnya jenderal yang lain yaitu SBY.
Sejauh ini SBY memang belum menunjukkan posisi spesifik ke kubu mana ia akan berlabuh. Sempat ada isyarat bahwa ia tengah mendekat ke lingkaran Jokowi. Meski begitu, belum ada sikap resmi dari jenderal bintang empat tersebut.
Mencari Sokongan Eks Petinggi TNI
Ada yang menarik dari profil jenderal-jenderal yang berada di lingkaran kekuasaan Jokowi. Sebagian besar nama yang direkrut adalah perwira-perwira tinggi yang berasal dari Angkatan Darat. Diduga ini adalah bagian dari strategi sang RI-1.
Beredar kabar bahwa hubungan orang nomor satu di negeri ini tengah tidak terlalu akur dengan TNI Angkatan Darat (AD). Beberapa orang menyebut ada kesan berjarak antara Presiden dengan salah satu angkatan perang tersebut.
Disinyalir, langkah Jokowi mendekatkan diri dengan para purnawirawan tersebut untuk meredam gejolak dengan TNI AD. Hal ini terutama berkaitan dengan penunjukan Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Moeldoko disebut-sebut masih diperhitungkan oleh Angkatan Darat saat ini.
Secara khusus, menegangnya hubungan antara Jokowi dengan Angkatan Darat disinyalir memiliki kaitan dengan Gatot Nurmantyo. Dalam konteks ini, Moeldoko cukup memiliki kedekatan dengan Gatot. Moeldoko dapat menjadi peredam bagi TNI AD dan juga Gatot yang berpotensi merapat ke kubu oposisi.
Moeldoko dan nama-nama petinggi TNI AD lainnya dapat menjadi kartu truf Jokowi untuk melawan Gatot. Memperbaiki hubungan dan jejaring dengan TNI AD dapat menjadi langkah untuk membantu menjegal Gatot di 2019.
Fenomena lain yang nampak dari kumpulan tentara di lingkaran Jokowi adalah banyak dari mereka yang berpengalaman di pasukan elit Kopassus. Beberapa nama tidak hanya berpengalaman di pasukan elit tersebut tetapi juga pernah menjadi Danjen Kopassus. Hal ini memiliki kesamaan dengan calon lawan Jokowi yaitu Prabowo.
Nama-nama eks Danjen Kopassus yang merapat ke Jokowi adalah Subagyo HS, Agum Gumelar, dan Wisnu Bawa Tenaya. Di luar itu, ada pula Luhut Panjaitan yang kenyang pengalaman di pasukan elit TNI AD tersebut.
Dengan dukungan sejumlah jenderal di lingkungan Istana plus jaminan dukungan Golkar yg sdh di tangn serta Kaum Nahdiyin, @jokowi berada pada posisi di atas angin dlm Pilpres 2019
— tamrintomagola (@tamrintomagola) January 22, 2018
Fenomena menarik lainnya adalah beberapa nama jenderal yang memiliki posisi di pemerintahan Jokowi pernah menjadi anggota Dewan Kehormatan Perwira (DKP). DKP ini pernah melakukan pemeriksaan terhadap Prabowo Subianto.
Sejauh ini nama-nama yang berhasil direkrut adalah Subagyo HS, Agum Gumelar, dan Yusuf Kartanegara. Daftar ini akan semakin lengkap jika SBY mau merapat ke kubu Jokowi.
Berkumpulnya jenderal eks Kopassus dan DKP ini dapat menjadi kartu truf Jokowi untuk menghadapi Prabowo. Petinggi-petinggi militer tersebut dapat memberikan strategi khusus bagi Jokowi untuk menghadapi Prabowo. Jika perlu, mereka bisa saja mengungkap fakta kelam Prabowo sebagai kampanye investigatif.
Langkah Jokowi mengumpulkan eks petinggi militer memang tergolong cerdik. Untuk membentuk lapangan bertanding yang setara, maka ia kumpulkan para jenderal untuk melawan jenderal yang lain. Apakah strategi ini akan berhasil? Kita lihat di 2019 nanti! (H33)